Catatan Dwi Yanto.
Patut bangga, akhirnya, perlindungan perempuan dan anak semakin terkuatkan. Niat mulia tersebut perlu kita dukung namun narasi dan redaksi yang justru membuka celah ke arah perundungan perempuan dan anak perlu dievaluasi untuk menghindari kondisi suka sama suka –suka-suka gua. Frasa “tanpa persetujuan” bernegasi dengan frasa “atas persetujuan dengan keterpaksaan” sebagai konsekuensi atas kalimat bersyarat yang melahirkan “biduan-biduan” dadakan yang terpaksa melantunkan syair “sungguh terpaksa aku menyanyi//megharapkan tuan bermurah nilai”.
Kita patut mengapresisasi setiap upaya perlindungan perempuan dan anak. Pun demikian perlu lokus yang tidak menjastis di mana lokus dimaksud seolah merupakan kumpulan para cerdik cendekia brengsek. Pelabelan lokus dimaksud seolah sebuah pengukuhan bahwa hanya pada lokus dimaksudlah sarangnya cerdik cendekia brengsek. Perlu kearifan untuk mengubah bahwa ketentuan berlaku untuk semua lokus yang komprehensif dan general –berlaku 24 jam dan di mana pun lokus lingkungan urusan bidang terkelola baik tinggi, atas, pertama, dasar, dan pra, mukim maupun nonmukim. Prinsipnya berlaku pada semua niat dan kesempatan.
Niat mulia tersebut perlu kita apresiasi namun jangan ada jastis bahwa seolah pada lokus parsial dimaksudlah bersarang cerdik cendekia brengsek –bisa jadi hanya beberapa oknum semata.
Dibutuhkan jiwa besar untuk perbaikannya. Prinsip, tidak akan turun prestise dan gengsi bila berdiskusi dengan semua kalangan untuk meminta saran serta masukan terbaik ke arah perbaikan. Mengapa? Agar benar-benar menjadi permen rasa nano-nano (komprehensif dan general) pada semua lokus urusan bidang terkelola bukan permen rasa nona-nona (sempit dan parsial) pada lokus di mana nona-nona berkais ilmu.
(Saya pilih permen rasa nano-nano karena gurih-gurih enyoi bukan gurih-gurih enyoh.)
#inginsehat