
Catatan Mochammad Rifai*
Ungkapan Bung Karno ‘Jangan Sekali-kali Melupa Sejarah’ yang kemudian populer dengan akronim ‘Jasmerah’ sudah menjadi jargon nasional.
Eh, ternyata ada sejarah yang dilupakan atau memang sengaja ada perekayasaan agar dilupakan.
Bukan suatu yang aneh bagi seorang sejarawan atau politisi karena sejarah itu (yang diajarkan di sekolah) produk politik penguasa, pastilah ditulis versi selera rezim.
Dalam teori penulisan sejarah disebut sejarah istana sentris. Sejarah yang ‘menyenangken’ penguasa yang sedang duduk di kursi istana.
Senyampang kita ada di depan pintu peringatan Hari Pahlawan 10 November tahun ini, saya mencoba untuk membuka mengingatkan lagi tentang peran-peran penting para ulama (kiai) dalam ikut serta memperjuangkan, mempertahankan kemerdekaan negara kesatuan republik yang kita cintai ini.
Bermula terinspirasi dari sambutan sahabat Ustadz Agus Sunyoto saat menghadiri bedah buku “Fatwa dan Resolusi Jihad” di Pondok Lirboyo, 3 November 2017, menyinggung soal bagaimana para ulama mengambil peran dalam beberapa sejarah perjuangan bangsa ini.
Dalam konstelasi sejarah nasional dari zaman prakemerdekaan sampai dengan zaman kemerdekaan nama-nama tokoh pahlawan nasional dari kalangan ulama sudah lazim dihafal banyak orang seperti; Pangeran Antasari, Pengeran Diponegoro, Tengku Umar, Tuangku Imam Bonjol, H. Samanhudi, HOS Cokroaminoto, K.H. Hasyim Asy’ari, dan yang baru diakui sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Ir. H. Joko Widodo, K.H. As’ad Syamsul Arifin, dll.
Berikut, dalam catatan sejarah nasional, komandan Divisi I TKR (Tentara Keamanan Rakyat, cikal bakan TNI) dijabat seorang kiai bernama Kolonel KH. Sam’un, pengasuh pesantren di Banten.
Komandan divisi III juga dipercayakan kepada kolonel KH. Arwiji Kartawinata dari Tasikmalaya. Berikut sampai pada tingkat resimen, masih dipimpin oleh kiai. Fakta, Resimen XVII dipimpin oleh Letnan Kolonel KH. Iskandar Idris.
Resimen VIII dipimpin Letnan Kolonel KH. Yunus Anis. Sampai tingkat paling bawah, di batalyon pun banyak dipercayakan kepada sosok kiai, satu di antaranya Komandan batalyon TKR Malang, dipimpin Mayor K.H. Iskandar Sulaiman, yang saat itu beliau menjabat Rais Suriyah NU Kabupaten Malang.
Ini dokumen arsip nasional masih tersimpan rapi di Badan Arsip Nasional dan dokumen sejarah TNI.
Sayang, dalam buku bacaan sejarah untuk siswa semua level, mungkin karena sudah cukup diwakili oleh para pahlawan nasional (kalangan muslim) yang lazim atau karena pertimbangan lain (utamanya: alasan selera rezim dan pendukungnya), tokoh-tokoh ulama (kiai dan santri) tidak sempat menjadi konten yang sepandan kecuali sekadar ‘penghias’ saja dalam pelajaran sejarah.
Tapi sejarah tidak akan pernah berbohong. Sejarah tetaplah sejarah. Fakta, ulama dan santri bagian dari yang turut mengukir berdirinya negeri tercinta ini. (aplous untuk ulama).
Jelas bukan perkara jabatan yang menarik beliau untuk menempati posisi itu. Di samping keyakinan yang kuat bahwa melawan penjajah adalah jihadul fi sabilillah, sekalipun belum ada gaji (bahasa santrinya bisaroh), beliau semangat dan ikhlas.
Dulu ada Lasykar Hizbullah terdiri atas santri-santri yang dipimpin oleh kiai, berjuang melawan tentara kolonial yang profesional.
Modal keyakinan dan motivasi religius yang kuat, meraka tanpa memikirkan dibayar berapa (waktu itu negara baru terbentuk, uang belum ‘usum’ seperti sekarang).
Di era yang sedang hiruk-pikuk urusan uang, masih ada yang bersanat (nyambung) dengan Lasykar Hizbullah yaitu arek-arek Banser. Mereka gagah-gagah layaknya tentara profesional yang selalu siap menerima perintah.
Mereka bertugas tanpa bezliet, alias tanpa bisaroh. Cukup disegani (sego=nasi) saja, mereka siap dan rela membantu masyarakat dan pemerintah (aplous untuk Banser yang segani).
Peristiwa pertempuran Surabaya 10 November, hal yang ‘aneh’ dalam sejarah. Peristiwa militer dalam pertempuran besar terjadi setelah perang dunia II selesai 15 Agustus 1945.
Tata kehidupan baru dunia tanpa perang sudah diteken semua kepala negara dalam naskah perdamaian dunia yang dipercayakan kepada UN/PBB. Makanya pasukan Inggris mau hadir ke Surabaya dalam rangka menerima serah terima tanah jajahan dari pemerintah kolonial Belanda ke Inggris, dengan perhitungan sudah ada perang.
Ternyata keliru perhitungan tentara Inggris atau terlalu yakin dengan sugesti Belanda. Ternyata rakyat Surabaya karena telah terprovokasi oleh berita bahwa kedatangan tentara Inggris hanyalah tipuan. Di belakang pasukan Inggris adalah NICA (semacam perangkat pemerintahan) yang nantinya mengoperasikan pemerintahan kolonial Belanda.
Sejak Bulan September kondisi Surabaya sudah siaga satu. Peristiwa penyobekan bendara Belanda, 19 September 1945, kehormatan Belanda dan sekutunya Inggris merasa terlecehkan.
Sejak itu arek-arek Suroboyo dan Jatim pada umumnya, tinggal tunggu momen. Peristiwa pertempuran terjadi di luar perintah pemerintah pusat.
Tanggal 26 -29 Oktober terjadi peperangan -sekalipun tidak dahsyat- di Surabaya. Ternyata peristiwa-peristiwa heroik di Surabaya itu sebagai akibat dari ‘Resolusi Jihad’ (dibacakan Jumat, 22 Oktober) ulama NU, K.H. Hasyim Asy’ari, Rais Aam PBNU waktu itu, dari pondok pesantren Tebu Ireng Jombang. (aplous untuk santri).
Fatwa Resolusi Jihad PBNU itu kemudian diabadikan sejak tahun 2015, tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional.
Pengaruh psikologis terhadap rakyat sehingga bisa menghilangkan akal sehat, tersugesti, melawan penjajah dengan peralatan seadanya karena berperang mengusir penjajah adalah jihad, surga jaminannya.
Pekik takbir di mana-mana. Rasa takut sudah tidak ada lagi. Seluruh pemuda penjuru Jatim bergerak merapat ke Surabaya ingin ikut serta mendarmabaktikan dirinya untuk bangsa dan agama.
Dikabarkan yang berjihad meledakkan tank milik tentara Inggris itu, pemuda asal Genteng, Banyuwangi. Dia pamit ke keluarga pergi ke Surabaya niat berjihad dan terpenuhi niatnya itu. Itu baru niat mati berjihat di jalan Allah, bukan bunuh diri niat berjihad di jalan Thamrin. (aplous untuk Pemuda Genteng).
Tentara Inggris sendiri sebenarnya sudah menyadari bahwa apa urusannya berperang melawan bangsa Indonesia.
Urusannya dia dengan Belanda. Tapi karena gengsi Jendralnya mati (Mallaby) di tangan pejuang yang tidak profesional itu, bertekad menghancurkan Surabaya.
Arek-arek Surabaya sudah hilang akal, nyali tinggi, keyakinan (jihad) kuat. Tidak layak disebut pertempuran, tapi sebuah ‘tawuran’ massal. Perang tanpa komandan, seperti gerakan partisipasi (bahasa santri ro’an). Hadirnya Bung Tomo itu spontanitas.
Beliau bukan dari kalangan militer, orang sipil berpengaruh yang ikut mengaransemen jalannya perang.
Perintah jihad diviralkan lewat siaran di masjid-masjid, langgar-langgar. Pekik takbir tak henti-hentinya sebagai pendorong semangat tanpa takut dan meluruskan niat. (aplous untuk kiai langgaran).
Arek-arek Surabaya ‘ngamuk’ dalam tawuran massal yang beringas tanpa takut menghadapi tentara profesional dengan senjata modern.
Tentu korban sangat luar biasa sekitar 16000 rakyat sipil termasuk santri. Sementara pihak pasukan kolonial 600-2000 tentara yang tewas.
Sampai sekarang kata ‘amuk’ di Inggris lazim digunakan sebagai istilah yang artinya tawur. (aplous untuk pemuda Surabaya).
Semua ada di arena pertempuran yang berlangsung tiga pekan itu. (aplous untuk pemuda Indonesia). Jangan hanya JASMERAH yang dihafalkan, JASHIJAU jangan dilupakan.
Apa itu Jashijau? Jangan Sekali-kali Melupakan Jasa Ulama. Faham? (aplous untuk saya dan yang sudi membaca kkkk).
Mochammad Rifai, Guru Sejarah, tugas tambahan Kepala SMA Negeri “Minhajuth Tulab” Glenmore, Banyuwangi.