MK Perlu Penjelasan Tafsir Terintegrasi di UU 11/2019 Agar Ada Kepastian Bagi Peneliti/Perekayasa dan Masa Depan Iptek-Inovasi

 

 

Jakarta-menaramadinah.com-Hari ini, Selasa, 21 September 2021, diadakan sidang pertama pengujian Undang-undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu dan Teknologi (UU Sisnas IPTEK) terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK) RI. Sidang nomor perkara 46/PUU-XIX/2021 yang didaftarkan pada 18 Agustus 2021 ini memiliki arti sangat penting bagi perjalanan ekosistem iptek dan inovasi di Indonesia ke depan.

Hari-hari ini, tanpa diketahui publik luas, pemerintah lewat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah membubarkan empat lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) bidang iptek, yakni BPPT, LIPI, Lapan, dan Batan. Per 1 September 2021, empat LPNK itu berubah jadi organisasi riset (OR) di bawah BRIN.

Ini adalah amanah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 33/2021 tentang BRIN (terbit 28 April 2021) yang kemudian direvisi jadi Perpres No. 78/2021 tentang BRIN (terbit 24 Agustus 2021). Perpres ini terbit sebagai amanah Pasal 48 (ayat 1) UU Sisnas Iptek. Pasal itu berbunyi: “(1) Untuk menjalankan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta Invensi dan Inovasi yang terintegrasi dibentuk badan riset dan inovasi nasional.”

Penjelasan Pasal 48 (1): “Yang dimaksud dengan “terintegrasi” adalah upaya mengarahkan dan menyinergikan antara lain dalam penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bidang Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Perrerapan untuk menghasilkan Invensi dan Inovasi sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional.”

Oleh pemerintah, “terintegrasi” dan “antara lain” itu dimaknai sebagai pembubaran dan diikuti peleburan. Bukan hanya 4 LPNK bidang iptek, tetapi juga 48 badan penelitian dan pengembangan (litbang) di 48 kementerian/lembaga (K/L). Peleburan diikuti dengan pengalihan tugas, fungsi, dan wewenang ke BRIN. Juga pengalihan pendanaan, pegawai, perlengkapan, aset, dokumen serta objek lain ke BRIN.

Kami meyakini, langkah ini bertentangan dengan pengaturan tentang kelembagaan BRIN secara keseluruhan yang ada di UU Sisnas Iptek. Dalam UU itu tidak ada amanah membubarkan lembaga, tapi BRIN diminta mengoordinasikan agar kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan (litbanjirap) harmonis, sinkron, dan menciptakan efisiensi dan efektivitas terhadap perencanaan, program dan keuangan iptek di masing lembaga-lembaga yang sudah ada.

Mengikuti logika itu, frasa yang “terintegrasi” seharusnya memiliki makna kordinasi, bukan peleburan. Hal ini juga diperkuat dengan alat bukti risalah persidangan RUU Sisnas Iptek, kesaksian-kesaksian, dan Nasakah Akademi UU a quo. Pendek kata, dari original intent sama sekali tidak ditemukan ihwal peleburan lembaga.

Kami meyakini, majelis hakim Mahkamah Konstitusi akan bekerja dengan sifat kenegarawannya yang akan melihat persoalan uji materi UU Sisnas Iptek ini dengan objektif, kejujuran hati nurani, rasa keadilan serta pandangan profesional selaku penjaga konstitusi yang memiliki marwah kemuliaan seorang hakim konstitusi.

Satu Penguji Materi Mundur

Semula, gugatan uji materi ini diajukan dua orang, yaitu Eko Noer Kristiyanto dan Heru Susetyo. Eko Noer adalah peneliti madya di Kementerian Hukum dan HAM, sedangkan Heru adalah anggota Dewan Riset Daerah DKI Jakarta dan peneliti di Lembaga Riset dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Lewat surat bertanggal 17 September 2021, Eko Noer mengundurkan diri sebagai penggugat.

Eko Noer mundur dengan alasan sudah mundur dan berhenti dari jabatan fungsional peneliti di Kemenhukmham. Juga hasil proses berpikir panjang bahwa dirinya merasa tidak perlui lagi menjadi pemohon uji materi UU Sisnas IPTEK. Dari peristiwa mundurnya Eko Noer ini, sekali lagi, menjadi salah satu bukti bahwa ada kegelisahan dan juga kekhawtirkan atas masa depan peneliti/perekayasa di Indonesia.

Sementara Heru Susetyo tetap berkomitmen memperjuangkan nasib kawan-kawan peneliti/perekayasa, yang saat ini lembaga atau institusinya telah dibubarkan akibat Perpres BRIN. Bukan hanya itu. Heru prihatin atas kemajuan iptek yang saat ini dipertaruhkan dalam satu wadah tunggal, yakni BRIN. Ini organisasi birokrasi superbody yang diyakini memiliki gerak yang kurang responsif dan lamban akibat besaran birokrasi administrasi pemerintahan dari pusat hingga daerah. Karena BRIN juga membawahi Badan Riset dan Inovasi Daerah.

Heru meyakini akan timbul berbagai model sistem brokrasi yang rumit karena ditangani satu lembaga hirarkis dari hulu hingga hilir, dari pusat hingga merentang ke daerah dengan fungsi pembentuk kebijakan, pengendalian, pelaksanaan, hingga pengawasan ada di satu tangan.

Banyak pengamat, organisasi maupun peneliti/perekayasa senior yang membandingkan dengan struktur organisasi di negara-negara lain. Bahkan negara sentralistik seperti Tiongkok dan Rusia, tak ada wadah tunggal. Selain memiliki lembaga holding investment bagi pembiayaan riset, juga tumbuh lembaga-lembaga riset milik negara sesuai kebutuhan dan juga lembaga kajian dan teknologi, serta litbangjirap.

Tentu kondisi ini merupakan hal yang wajar dan sangat alami. Karena karakter penelitian dan inovasi yang harus bebas dari intervensi apa pun, bersifat adaptif, tanggap, dan juga tidak birokratis.

Jakarta, 21 September 2021

Kuasa hukum

Dr. Wasis Susetio, SH., MH.

Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesesin, SH., MH.

Agus Susanto, SH.

 

Contact person:  0878 8223 0330 (Wasis Susetio)