Haruskah Guru Menghamba Kepada Murid?

Catatan Mochammad Rifai*

Kali kesekian Mas Menteri Nadiem membuat orang tercenggang. Sepintas judul artikel itu menganggu benak para pendidik, pasti. Masak guru harus menghamba kepada murid? Kalau kita mau cermati, sebenarnya tidak ada yang baru dari apa yang disampaikan oleh Mas Nadiem, Menteri Pendidikan Kebudayaan, Ristek ini.

Beliau yang fenomenal ini sebenarnya hanya mendaurulang paham klasik, menegaskan kembali tentang pandangan filosofis terdahulu. Ki Hajar Dewantara (KHD) sebagai Bapak Pendidikan Nasional yang pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional pertama di negara kita sudah mengajarkan tentang bagaimana mengelola layanan pendidikan itu idealnya.

Konsep merdeka belajar, merdeka sekolah, sekolah menyenangkan, model kurikulum student centered, authentic assesment, contextual teaching and learning, dst bukanlah barang baru di dunia pendidikan.

Pejabat-pejabat teras di kementerian pendidikan kita ini berusaha mengaktualisasi kembali paham-paham itu. Jujur saja karena dunia pendidikan sempat terganggu oleh pandangan rezim yang berkuasa di era Orde Baru.

Di era kuasa militer, dunia pendidikan yang tadinya berjalan menurut alur teori, kemudian terkooptasi oleh paham politik (yang linear dengan teori behaviorisme) yang bernuansa militer, sistem satu komando, dan terkondisi dalam suasana kedaruratan keamanan.

Sentralisasi kebijakan, informasi dan model-model yang mengutamakan keseragaman dalam layanan sekolah menyebabkan mandeknya semangat berinovasi. Pasca reformasi, berangsur-angsur kultur sekolah yang kaku, tinggi seremonial itu berkurang.

Paham pendidikan beralih ke teori konstruktivisme yang fleksibel. Sekalipun tidak mutlak, sekolah memiliki otonomi, ada kebebasan berkreasi-inovasi. Dan puncaknya ada di era Mas Menteri ini, di mana pendidikan dipaksakan untuk bisa mewujudkan sekolah merdeka dan memerdekakan, bukan lagi barak.

Dalam banyak hal pandangan KHD tentang Pendidikan cocok sepanjang zaman, karena hal menyentuh substansi kemanusiaan dalam layanan pendidikan di sekolah. Bakat dan kompetensi kodrati pada setiap diri anak, sifat-sfat dasar anak, kebutuhan belajar dan cara belajar setiap anak, dst tuntas dibahas KHD.

Kalau sekarang banyak ahli pendidikan berteori dengan dasar literasinya H.Gardner, tentang ‘multiples intelegent’ sebenarnya tidak jauh dari pandangan KHD. Bibit padi jangan dijadikan jagung, kata perumpamaan dari KHD, ketika menasihati guru. Jangan melawan kodrat, tidak akan berhasil dan hanya akan mendatangkan matapetaka bagi pribadi anak kelak.

Masih dalam tataran mewujudkan kebijakan merdeka belajar yang disampaikan oleh Mas Menteri, banyak para praktisi pendidikan hanya melihatnya dari sisi teknis layanan pendidikan seperti penerimaan siswa baru sistem zonasi, dihapusnya UN, mengembalikan guru pada tupoksi, dst.

Lebih dari itu, justru urgensinya mengembalikan sekolah sebagaimana yang dikonsepkan oleh KHD. Mengembalikan fungsi sekolah sebagai tempat memproses generasi penerus yang bermartabat, menempatkan manusia sebagai manusia yang kodrati, dan sekolah sebagai proses pemberadaban dengan ideologi-ideologi penyertaanya.

Unsur-unsur pendidikan pemberadaban di sekolah yang dikemas dalam kurikulum yang memuat setidaknya lima unsur pengembangan logika, Etika, Estika, Praktika dan kewarganegaraan. Sepanjang sejarah kurikulum sekolah tidak kurang dari itu muatan substansinya.

Pendidikan itu bentuk layanan sebagai tanggung jawab negara atas warganya. Dan guru, sebagai ASN, adalah abdi negara sekaligus abdi masyarakat. Seorang abdi, praktiknya ya harus menghamba. Mengamba kepada negara dan masyarakat. Bukan menghamba kepada pemerintah atau atasan, seperti yang lazim kita saksikan dari zaman ke zaman.

Di negara sana PNS atau ASN itu disebut dengan public servent, pelayan masyarakat. Jadi melayani anak di sekolah itu sama halnya dengan melayani masyarakat. Maka tidak berlebihan dan tidak salah jika Mas Menteri Nadiem menegaskan bahwa guru harus menghamba kepada murid karena cerminan dari moto ASN sebagai abdi masyarakat.

Menghamba bukan berarti menempatkan siswa sebagai yang lebih tinggi derajadnya, tetapi secara fungsional tupoksi guru adalah melayani kebutuhan anak sebagai peserta didik di sekolah.

Menghamba pada kepentingan dan yang menjadi kebutuhan siswa. Bukannya siswa harus mengikuti kebutuhan dan selera guru? Kalaulah yang terjadi seperti itu, kebutuhan dan selera guru yang harus diikuti oleh siswanya maka jelas akan banyak terjadi pelanggaran hak-hak anak sebagai peserta didik di sekolah itu.

Siswa tidak boleh jatuh sebagai objek dalam layanan pendidikan, melainkan harus ditempatkan sebagai subjek yang otonom dengan kodratinya.
Kemerdekaan adalah karunia Tuhan yang sangat mahal yang melekat pada diri manusia.

Kemerdekaan itu sumber kebahagiaan, awal dari membangun sebuah kebaikan apapun. Dan fungsi sekolah satu di antara yang paling urgen adalah sebagai tempat untuk proses pembebasan (emancipation), yang akan melahirkan jiwa-jiwa merdeka.

Sekolah yang memerdekaan itu tidak akan pernah terwujud jika guru masih menempatkan siswa sebagai objek yang di-design menurut paham dan seleranya. Sementara siswa butuh perhatian, pembimbingan, pencerahan, sampai nanti menjadi diri sendiri, pribadi yang utuh, apapun pekerjaan dan profesinya kelak. Kita harus menyadari bahwa posisi keberadaan anak lebih penting daripada posisi kita hari ini, karena zaman tidak berjalan mundur. Harus ikhlas.

Mochammad Rifai, Kepala SMA 1 Glenmore, Banyuwangi. Juga Pengasuh PP Minhajuth Tullab Krikilan Glenmore, Banyuwangi.