Sarasehan Seni-Budaya: Bima Suci dalam Perspektif Jalan Sunyi *Pembacaan Puisi Dipersembahkan Kepada Umbu Landu Paranggi

Di sela-sela pameran lukisan tunggal Anang Prasetyo ke-3 (tanggal 28 Maret sampai 11 April 2021) di Row Cafe Ngunut Tulungagung dilaksanakan pula sarasehan seni-budaya. Sarasehan tersebut mengangkat tema Bima Suci dalam Perspektif Jalan Sunyi bersama Dr. M. Teguh (wakil dekan FUAN UIN SATU Tulungagung), Ki Wawan Susetya (budayawan) dan Anang Prasetyo (pelukis dan guru Seni Budaya) dengan moderator Aris Setiawan. Dalam hal ini Anang Prasetyo bekerja sama dengan komunitas ForSabda (Forum Sarasehan Seni & Budaya) Tulungagung. Bagaimana jalannya sarasehan seni-budaya tersebut? Berikut laporan Husnu Mufid dari Menara Madinah.Com.

Sebelum sarasehan seni-budaya dimulai, sekitar jam 19.00 wib ada pembacaan tahlil untuk mendoakan almarhum Umbu Landu Paranggi yang meninggal di Bali tanggal 5 April 2021. Usai pembacaan tahlil dilanjutkan pembacaan puisi yang dipersembahkan kepada almarhum Umbu Landu Paranggi, guru budayawan Emha Ainun Nadjib. Umbu memang dikenal sebagai tokoh besar dalam jagad sastra terutama dalam puisi.

Di antara penyair Tulungagung yang membacakan puisi pada kesempatan itu antara lain Setio Hadi, Sugeng Lesung, Muslih, Thoriq dan Wawan Susetya. Mereka secara bergantian membacakan puisi untuk dipersembahkan kepada Umbu Landu Paranggi.

Setelah itu dilanjutkan sarasehan seni-budaya dengan tema Bima Suci dalam Perspektif Jalan Sunyi. Anang Prasetyo mengawalinya dengan mengisahkan perjalanannya dengan jalan kaki dari Tulungagung sampai Purworejo (Jawa Tengah) hingga menelorkan karya buku yang berjudul Laku Lampah (2017).  Dari proses pergulatan religius-spiritualnya itu Anang kemudian menyelenggarakan pameran lukisan tunggal hingga yang ke-3 di Row Cafe Ngunut serta menyelenggarakan sarasehan budaya pada Sabtu malam (tanggal 10 April).

Sementara itu budayawan Ki Wawan Susetya mengisahkan lakon Bima Suci (Dewa Ruci); bagaimana perjalanan religius-spiritual Bima dalam mencari Ngelmu Kasampurnan hingga bertemu dengan Dewa Ruci (guru sejatinya). Ada tiga tahap yang dilalui Bima dalam menggapai cita-citanya itu melalui gurunya Resi Durna.

Pertama, menjalani tapa brata di Gua Durangga yang berbentuk sumur tua yang gelap. Di sana ia diserang naga besar, tapi Bima dapat menumpasnya. Ternyata naga besar itu jelmaan Dewi Maheswari.

Kedua, menjalani tapa brata di puncak gunung Candradimuka. Dalam pada itu Bima diserang oleh dua orang raksasa, tapi ia dapat mengalahkannya. Ternyata dua orang raksasa itu jelmaan Bathara Bayu (Dewa Angin) dan Bathara Endra (Dewa Air).

Ketiga, mencari banyu perwita sari (banyu perwitadi) di dasar samudera. Bima ambyur ke dasar samudera, lalu diserang oleh naga besar. Setelah naga itu dibunuh, tak lama kemudian muncullah Dewa Ruci atau Ruci Bathara yang kemudian memberikan wejangan mengenai Ngelmu Kasampurnan kepada Bima. Dewa Ruci merupakan simbol dari guru sejati Bima. Usai memberikan wejangan, Dewa Ruci memerintahkan kepada Bima agar kembali ke negaranya (Ngamarta) untuk menjalankan tugasnya selaku ksatria, yakni memayu hayuning bawana (memelihara dan memakmurkan bumi seisinya).

Pemantik terakhir, Dr. M. Teguh menguraikan panjang lebar mengenai falsafah dari lakon Bima Suci (Dewa Ruci) hingga dilanjutkan lakon Bima Madeg Pandhita. Dalam lakon Bima Suci (Dewa Ruci) terdapat sari pati mengenai 4 strata spiritual, yakni syariat, thariqat, hakikat dan makrifat. Hal itu identik pula dengan yang disebutkan dalam Serat Wedhatama karya Sri Mangkunegara IV Surakarta mengenai sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa dan sembah rasa.

Dalam dua lakon wayang tersebut, menurut Dr. M. Teguh menggambarkan mengenai konsep spiritualitas manunggaling kawula Gusti melalui ittihad secara bottom up (dari bawah ke atas) seperti diilustrasikan dalam lakon Dewa Ruci (Bima Suci) ketika Bima Sena mencari ngelmu kasampurnan hingga bertemu dengan guru sejatinya Dewa Ruci. Sementara, bentuk spiritualitas manunggaling kawula Gusti melalui hulul (Kalenggahan) secara top down (dari atas ke bawah) seperti tercermin dalam lakon Bima Sena Madeg Pandhita.