DISKURSUS FESTIVAL SANTET, HANYA SEBUAH SENSASI SAJA

DISKURSUS FESTIVAL SANTET DI BANYUWANGI
Mochammad Rifai*
Akhir-akhir ini medsos diramaikan oleh wacana ‘festival dukun santet’. Pandangan pro-kontra pun tak terhindarkan. Menarikkah untuk dijadikan opsi dalam deretan agenda fesitval? Kalau menurut saya akan menjadi mata kegiatan yang menarik. Apalagi kalau dibarengi dengan penampilan ‘santet on the spot’ yang aktraktif. Dipastikan akan banyak pengunjung antara yang ingin tahu, dan mereka yang memang ada bakat dalam urusan ‘keparanormalan’ dan jenis-jenis klenik. Bagian lain budaya di nusantara ini hampir semua suku memiliki cerita-cerita ‘sakti, klenik’, magic dan sejenis. Memang bangsa kita ini punya ‘bakat’ animis yang kuat. Anak-anak kita akan lebih menarik disuguhi cerita-cerita khayal, tentang kejadian-kejadian ghaib daipada cerita nalar suksesnya manusia mendarat ke bulan, manusia robot atau kecanggihan pesawat tempur andalan Pentagon dan Warswa Rusia.
Jujur Banyuwangi konon sebagai daerah yang begitu populer di luar kota sebagai gudang klenik, shamanism (perdukunan). Sampai hari ini orang familier dengan cerita ‘sabuk mangir’, ‘watuk Gambiran’, ‘jengges atau tenung’ Singojuruh, dll. Hampir merata kampung-kampung di Banyuwangi memiliki keunggulan dan khazanah dengan santet, sihir. Kabarnya ada macam-macam sihir itu; ada yang soft seperti jenis sihir untuk pengasihan (terkenal mantera; Aji Jarang Goyang) penglaris, pengobatan (suwuk), junjung drajat untuk mendapat pangkat/jabatan, sampai dengan jenis santet paling menakutkan pesanan untuk melukai, membunuh karir, menutup jodoh, membuat gila dan yang paling sadis pada pelampiasan dendam penyiksaan (kembang amben=sakit bertahun-tahun di atas tempat tidur) sampai mati.
Secara antropologis ‘santet’ dan cerita-cerita dunia ghaib, di tanah Jawa khususnya, tidak terlepas dari tradisi, adat-istiadat dan pandangan (mindset) sebagai cari cara mencari solusi atas keterbatasan logika dan emosional yang magis dari keyakinan kekuatan ghaib di luar nalar manusia. Menarik bagi kalangan tertentu untuk asyik membahas hal-hal yang secara akademik tidak masuk.
Persoalan yang muncul dari ide atau wacana tentang ‘festival dukun santet atau festival santet’ yang konon ‘branding’-nya Banyuwangi akan digelar diungkap lagi ke permukaan sekalipun dikemas dalam bentuk tontonan, hiburan, perlu pertimbangan banyak faktor. Kembali ke semangat awal visi dan misi pembangunan di Banyuwangi lewat festival.
1. Festival tidak semata-mata orientasi yang diharapkan membawa multi efek dalam hal ekonomi.
2. Festival mengandung unsur edukasi bahkan sebagai lab. sosial budaya bagi sekolah-sekolah.
3. Festival juga untuk ajang silaturahim antara masyarakat dengan pemerintah.
4. Festival untuk mengangkat martabat budaya lokal menjadi budaya bernilai jual nasional.
5. Festival sebagai tongkat estafet tradisi dan budaya lokal antargenerasi.
6. Festival juga untuk hiburan masyarakat, inovasi seni, bersumber dari budaya lokal.
7. Festival untuk menguatkan citra kaya budaya yang unik di Jawa Timur.
8. Festival untuk juga menggeser nilai ‘negatif’ dari anggapan sebagai kota aneka santet menjadi kota wisata yang menarik.
9. Festival diharapkan mendorong semangat masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi membangun Banyuwangi yang membanggakan, mensejahterakan. Membangun karakter masyarakat ‘sense of belonging’ lewat pertunjukkan-pertunjukkan.
10. Dsb.
Ide nyleneh dari pikiran ‘nakal’ itu, yakin bisa menjadi hal menarik, bahkan bisa menjadi viral. Nah sekarang, ide atau wacana untuk mengangkat tema festival yang fenomenal, paradoksal kembali ke ‘zaman gelap’ itu seberapa besar nilai keuntungannya? Dan seberapa fatal jika kegiatan nekat itu dilaksanakan? Pragmatis memang pertanyaan itu, tetapi perlu dihitung sebab kita masih menanggung perjalanan generasi pengganti yang harus sanggup cerdas beradaptasi dengan teknologi, berkarakter arif terhadap nilai lokal yang sarat seni, religi, berbudaya yang humanis. Kolaborasi seni-budaya dengan teknologi akan melahirkan kecanggihan yang arif. Canggih namun tetap Banyuwangi, tetap Indonesia. Menurut saya sekalipun wacana itu menarik, tetapi tidak tepat untuk digelar abad ini. Mungkin 300 tahun lagi saat manusia sedang muak dengan teknologi dan dampaknya, akan ada kerinduan untuk kembali ke pemikiran-pemikiran klasik produk ‘zaman gelap’ dari masyarakat pendukung animisme, dinamisme. Tidak menutup kemungkinan nanti akan muncul semacam gerakan renaisance dan romantisisme Jawa, khas Banyuwangi.
*Kepala SMA Negeri Glenmore, juga pemerhati sosial budaya lokal.