Masihkah Seni Tradisi Agutta di Tapal Kuda

 

: ngablak siang Mashuri Alhamdulillah.

Agutta merupakan permainan khas imigran dari Madura yang mukim di Tapal Kuda Jawa Timur, bersubkultur Pandalungan, terutama di wilayah bekas Karesidenan Besuki. Permainan ini sangat unik dan bernuansa tradisi lisan, meski kini sudah sangat jarang ditemui. Bahkan, ada yang mengatakan sudah punah. Dari permainan ini dapat diketahui bahwa nenek moyang kita itu demikian karib dengan alam. Mereka memiliki cara tersendiri sekedar istirah dari keseharian dan semakin memperkokoh ikatan sosial.

Pada tahun 1983, tim inventarisasi permainan rakyat Jawa Timur masih dapat menemukannya di Desa Badean, Bondowoso. Karena sudah 37 tahun, keberadaannya kini sulit dilacak. Zaman sudah berganti. Banyak generasi kini melupakannya sebagai permainan jadul dan ditelan zaman. Untunglah, ada pihak yang masih peduli dan melakukan semacam revitalisasi, meskipun kurang kontinyu.

Agutta berasal dari bahasa Madura yang berarti kesibukan gerak dan keriuhan. Permainan dilakukan dengan alat penumbuk padi dilakukan para petani sebagai intermesso dari kerja kesehariannya, juga sebagai ritual menyambut datangnya gerhana rembulan. Awalnya, permainan ini berasal, dari kegiatan para pekerja penumbuk padi. Mereka ibu-ibu yang sudah separuh umur atau lebih, yang berfisik kuat.

Alat permainan yang terpenting adalah “ronjangan” atau sejenis dengan lesung. Terbuat dari batang kayu yang keras. Alat penumbuknya berupa kayu setinggi sekitar dua meter atau lebih sedikit dengan garis tengah tujuh cm. Pada bagian yang harus dipegang dibuat agak mengecil sehingga jari-jari tangan cukup untuk melingkarinya. Bahan penumbuk ini pun dari kayu sejenis. Alat penumbuk itu yang disebut “gentong” atau antan. Biasanya tersedia lebih dari lima batang karena adakalanya untuk jenis-jenis lagu tertentu, ada satu pemain yang sekaligus memainkan dua “gentong” itu.

Di sebelah kanan dan kiri “ronjangan” diletakkan masing-masing sebongkah batu. Batu ini bakal dipukul-pukul dengan ujung lain dari gentong yang dipegang oleh pemain-pemainnya dan menghasilkan suatu irama musikal tertentu. Bersama dengan pukulan-pukulan pada ronjangan, pukulan di batu akan menghasilkan suatu ensamble yang rancak.

Pemainnya terdiri atas sekitar lima orang wanita yang masing-masing mempunyai tugas tertentu dalam memainkan “gentong”-nya pada “ronjangan”. Mereka juga menyanyi bersama atau kadangkala ada seorang yang khusus sebagai penyanyi tunggal. Namun, yang seorang ini pun kadang-kadang sambil memegang memainkan “gentong”-nya. Adapun orang yang harus memulai suatu permainan, tidaklah tetap, tergantung pada jenis lagu yang akan dibawakan.

Apabila sebuah lagu sudah diulang-ulang dan dianggap sudah cukup dinikmati, seseorang yang dianggap paling berpengaruh di antara mereka akan merubah pola pukulannya sedemikian rupa sehingga yang lain-lain merasakan bahwa tanda itu merupakan ajakan untuk menghentikan permainan atau mengubahnya dengan jenis lagu yang lain. Beberapa lagu rakyat Madura yang dibawakan merupakan lagu-lagu tradisional seperti Walang Kekek, Orkesan, Fajjar Laggu, Lir Saalir, Man Jauma, Cung-cung Kuncung Konce dan sebagainya.

Hanya saja, karena alat-alat penumbuk padi semakin modern dan serba mesin, dan “ronjangan” semakin langka, lama-kelamaan permainan Agutta berangsur hilang dari peredaran. Begitu pula dengan gerhana rembulan, kini tak lagi sakral karena pandangan orang telah jauh berubah. Orang semakin tahu bahwa ilmu pengetahuan telah menjawab sebab-sebab gerhana rembulan, dan bukan lagi ulah raksasa yang rakus menelannya. Dulu, bila ada gerhana rembulan, bulu kuduk orang-orang berdiri dan bersama-sama merapal doa suci. Kini, orang-orang tertawa-tawa dan sibuk selfi. Ups!

Demikianlah.

MA
On Siwalanpanji, 2021
Ilustrasi ramban Google. Wanita penjual sate tempo doeloe, 1937.