Pembagian Warisan Dalam Islam (4) : Waktu Ideal Pembagian Warisan

Oleh : Achmad Syarifuddin

Dalam kaitannya dengan waktu pembagian warisan, banyak orang yang menyangka bahwa pembagian warisan dapat dilakukan kapan saja, atau menunda pembagiannya karena beberapa alasan, seperti karena masih ada salah satu orang tua yang masih hidup, adanya harapan nilai jual harta/aset yang lebih tinggi pada waktu yang akan datang, adanya salah satu ahli waris yang menempati rumah warisan dan belum mampu memiliki rumah sendiri, tidak membutuhkan harta warisan karena para ahli waris telah mapan secara ekonomi, atau permasalahan yang timbul di antara para ahli waris, ataupun menghormati pewaris yang baru saja dikuburkan dan berbagai alasan lainnya.

Lantas, muncul sebuah pertanyaan yang umum kita dengar, yaitu “kapan waktu yang ideal dalam pembagian waris?”

Tidak ada ketentuan yang pasti dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi mengenai waktu pembagian warisan, namun pembagian hendaklah dilakukan dengan segera dan terukur (immediate and measurable) serta sesuai dengan ketentuan syariat (syar’i), karena menyegerakan pembagian warisan merupakan salah satu bentuk kebaikan (al-khairāt) yang diperintahkan Allah, bukan tuntutan kondisi sesaat.

Makna Membagi Warisan Secara Segera dan Terukur

Pembagian warisan yang dilakukan dengan segera (immediate), bukan berarti dilakukan dengan terburu-buru, sehingga mengabaikan hak-hak orang lain selain ahli waris seperti utang, wasiat, dan lain sebagainya. Bukan juga berarti bersegera menjual atau membagi fisik harta/aset waris dengan terburu-buru.

Namun kesegeraan pembagian hendaknya dilakukan secara terukur (measurable), yang berarti bersegera dalam memenuhi unsur kesiapan dalam berbagai aspek, seperti aspek psikologi para ahli waris maupun aspek akurasi dan kelengkapan (accurate and complete) data atau informasi yang berkaitan dengan pewaris, ahli waris, dan harta/aset waris yang selaras dengan petunjuk syariat (syar’i).

Dengan demikian, pembagian warisan tidak terikat dengan ketentuan waktu seperti sehari atau dua hari, sepekan atau dua pekan, sebulan atau dua bulan dan seterusnya setelah kematian pewaris.

Sebagai contoh, apabila seorang pewaris yang sah meninggalkan satu unit rumah dan sejumlah perhiasan, maka upaya ideal yang hendaknya dilakukan ahli waris adalah menginventarisasi seluruh harta/aset tersebut, dan mengauditnya dari berbagai aspek, seperti aspek halal haram (syar’i), legalitas hukum (legal standing), historis kepemilikan (harta bawaan, bersama, atau perolehan) secara transparan untuk menghindari konflik internal para ahli waris yang mungkin akan muncul di kemudian hari.

Kemudian, menaksir nilai harta/aset tersebut dan menguranginya untuk biaya perawatan jenazah kecuali ada pihak yang menanggungnya, pembayaran utang baik utang kepada Allah dan kepada manusia, termasuk menyelesaikan piutang dan wasiat pewaris, serta pemberian/ihsan kepada kerabat selain ahli waris yang berhak, anak yatim, dan orang miskin yang hadir saat pembagian warisan.

Selanjutnya, menentukan jatah bagian para ahli waris dengan target para ahli waris mengetahui hak jatah bagian masing-masing ahli waris dari harta waris yang dilakukan oleh seseorang yang berkompeten dalam Hukum Waris Islam, meskipun fisik harta/aset waris belum terbagi.

Secara umum, apabila terjadi kematian maka saudara laki-laki atau perempuan tertua dalam sebuah keluarga memimpin dalam proses pengurusan harta/aset peninggalan hingga selesai kasus waris.

Meskipun demikian, hendaknya bersikap bijaksana dan menjadi pengayom bagi para ahli waris lainnya, melibatkan para ahli waris lainnya dalam mengambil keputusan, serta tidak bersikap arogan dalam memperlakukan para ahli waris maupun keluarga ahli waris. Karena pembagian waris bukan hanya berkaitan dengan syariat maupun akidah, namun berkaitan juga dengan akhlak.

Menurut seorang pakar Faraid, Ahmad Bisyri Syakur, bahwa poin penting kesulitan dalam pembagian waris keluarga bukanlah hitungan ataupun penetapan ahli waris, namun terletak pada pribadi para ahli waris yang cenderung ingin mendapatkan bagian yang lebih banyak.

Maka “kunci” untuk keluar dari problem tersebut adalah mengendalikan dan menjinakkan hawa nafsu, agar pembagian dapat terlaksana dengan benar, adil, dan membawa berkah bagi semua ahli waris.

Alasan Keharusan Membagi Waris Dengan Segera

Kenapa pembagian warisan harus dilakukan dengan segera (immediate)?

Menurut seorang pakar Faraid, M. Abduh Yazid, terdapat beberapa alasan yang menjadi jawaban pertanyaan tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, menghindari perubahan harta/aset yang memang karakternya dinamis. Seperti penyusutan nilai aset karena inflasi atau kebijakan pemerintah yang tidak mendukung, atau bahkan kerusakan dan hilangnya aset karena bencana alam atau yang lainnya.

Kedua, menghindarkan diri dari memakan harta hak milik orang lain. Oleh karena harta/aset waris belum terbagi secara sah sehingga belum menjadi hak milik sepenuhnya masing-masing ahli waris.

Seperti sebuah unit rumah yang dikelola oleh pihak atau ahli waris tertentu, sedangkan ahli waris lainnya tidak mendapat atau menikmati hasil atau keuntungan dari pengelolaan tersebut.

Padahal sekecil apapun hasil atau keuntungan yang dihasilkan oleh harta/aset waris berhak mendapatkan dan merasakannya sesuai jatah bagian yang ditetapkan dalam syariat.

Ketiga, menghindari “fitnah harta” dan buruk sangka ahli waris. Harta/aset peninggalan berpotensi menjadi fitnah (ujian dan cobaan) bagi para ahli waris sekaligus berpotensi menimbulkan buruk sangka ketika terdapat ahli waris yang bertindak mengendalikan harta orang tua, sehingga berakibat pada perpecahan atau konflik keluarga, maupun terputusnya tali silaturahmi antar keluarga yang hal tersebut merupakan dosa besar yang berakibat negatif, diantaranya turunnya laknat Allah, tertolaknya doa, terhalangnya dari masuk Surga.

Keempat, keadaan dan kebutuhan para ahli waris yang berbeda-beda. Diantara para ahli waris ada yang berada pada kondisi yang memaksa untuk segera memperoleh jatah bagian warisannya, seperti ada yang memerlukan biaya pengobatan, biaya bersekolah, biaya hidup keseharian, belum mempunyai penghasilan, dan lain sebagainya.

Dalam kondisi sedemikian, menunda-nunda dalam pembagian warisan merupakan kezaliman. Namun, apabila berdasarkan persetujuan para ahli waris, maka pembagian warisan diperbolehkan ditunda untuk sementara. Wallahu a’lam bishawab.

Referensi:
Alisy, Muhammad bin Ahmad. Manhul Jalil Syarh Mukhtashar Khalil. Juz IX, Cet. I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1404 H/1984 M).
Bisyri Syakur, Ahmad. Motivasi Waris Islam (Semarang: Java Sinergi, t.th.)
Hudaya, Hendra. Fiqih Waris; Mudah & Praktis (Jakarta: Gema Insani, 2018)
Masykuri, Saifuddin. Ilmu Faraidl (Pembagian Harta Warisan) Perbandingan 4 Madzhab (Kediri: Santri Salaf Press, 2016)
Nashirin, Abdul Malik Imam dan Aminul Yaqin, ‘Ilm Farāid (Ponorogo: Darussalam Press, 2019)
# Konsultan Hukum Waris Islam Al-Warith Indonesia & Pembaca Setia menara Madinah com#