Ayam-Babi dalam Satu Kuali

Oleh : Fondra Prasetyo Utomo


Dunia yang saat ini telah memasuki era post-thruth, di mana globalisasi telah menjadi hal yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pertukaran informasi dari dunia yang jauh di ujung sana dapat ditemukan sekejap hanya melalui sistem jaringan internet. Imbasnya asimilasi kehidupan sosial dan budaya berlangsung begitu cepat. Hal ini terjadi di semua aspek, tidak terkecuali dalam dunia kuliner.
Penduduk Indonesia zaman dahulu bisa jadi belum pernah merasakan makan sushi ataupun cupcake khas belanda meskipun telah dijajah selama tiga setengah abad. Namun, hari ini di setiap daerah banyak dijumpai restoran yang khusus menyediakan makanan khas dari setiap negara. Baik dari negara-negara asia maupun makanan khas benua yang jauh di seberang sana, seperti Eropa, Timur Tengah, Amerika, dan Belahan dunia lainnya. Hal sebaliknya juga terjadi di negara lain, makanan seperti tempe, rendang, nasi goreng, nasi kuning, sate, dan banyak makanan lain yang sudah dapat dicicipi tidak hanya oleh lidah orang Indonesia saja.
Banyak juga para warga Indonesia yang merantau dan mejalankan bisnis kuliner di negara lain, mulai bisnis makanan kemasan, membuka tempat makan kecil-kecilan hingga restoran berkelas. Maksud dan tujuan membuka tempat makan khas Indonesia di luar sana bemacam-macam, Bisnis yang menjanjikan, karena tidak adanya pesaing, memperkenalkan makanan khas Indonesia dikancah internasional dan tentu memanjakan para perantau dari Indonesia yang rindu akan masakan dalam negeri. Terlebih lagi, dikutip dari sindonews, pada tahun 2015 Indomie mie instan kebanggaan pemuda Indonesia telah diekspor ke 100 negara, dan menjadi terfavorit di 60 negara diantaranya. Inilah bukti asimilasi kuliner yang terjadi saat ini.
Penduduk Indonesia yang suka sekali dengan isu agama, tentunya tidak akan mudah menerima masuknya makanan atau bahan makanan yang masuk dari negara lain. Indonesia yang mayoritas penganut Islam pasti akan benar-benar memilah impor khususnya di bidang makanan. Maka hadirlah MUI sebagai badan yang memiliki wewenang untuk memberi label halal. Meskipun begitu, faktanya MUI tidak memberikan label halal pada minuman seperti Soju khas Bandung dan Rootbeer, karena meskipun minuman tersebut benar-benar murni tanpa campuran alkohol atau bahan haram lainya, MUI tidak menghalalkan sebab minuman tersebut memiliki nama atau sebutan yang mengarah ke minuman haram. Lalu, bagaimana dengan restoran yang menyediakan daging babi sebagai salah satu menunya? Tentu saja umat muslim tidak akan memesan menu bertuliskan pork tersebut, tapi bagaimana dengan daging ayam atau daging sapi yang di masak dalam satu penggorengan dengan daging babi? Apakah boleh dimakan?
Dapat disepakati babi adalah binatang najis yang diharamkan untuk dimakan, sesuai dengan firma Allah Swt. dalam surah Al-Maidah ayat 3 yang memiliki arti Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi. Imam Nawawi memaparkan bahwa para ulama syafiiyah brsepakat dengan najis dan pengharaman seluruh bagian tubuh babi, penggunaan kata daging dalam ayat di atas dikarenakan bagian inilah yang paling penting dan paling berpotensial untuk untuk dijadikan bahan masakan.
Masuknya babi dalam kelompok najis yang disepakati oleh ulama walaupun telah disembelih sesuai dengan syariat, menunjukkan bahwa najis babi bersifat najis ain atau najis dzatnya. Maka dari itu, seluruh bagian tubuhnya baik bulu, kulit, tulang, dan bagian-bagian lainnya tetaplah najis walaupun telah disamak.
Terkait dengan alat-alat yang digunakan dalam memasak dan wadah untuk menyajikannya, para ulama Syafii mengatakan bahwa alat-alat tersebut haruslah dicuci sebanyak tujuh kali dan salah satunya dengan menggunakan tanah. Hal ini berdasarkan pada sabda Rasululloh Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Sucinya bejana kamu yang dijilat anjing adalah dengan cara mencucinya dengan tanah sebanyak tujuh kali dan yang pertama dengan tanah. Di sini daging babi disetarakan dengan anjing dikarenakan keadaan babi yang lebih buruk darinya.
Para ahli fiqih sepakat mengenai cara penyucian peralatan bekas babi dengan bekas anjing adalah sama, melalui peng-qiyas-an keduanya. Namun, ini merupakan qiyas yang lemah karena babi dalam ayat tersebut tidak disebutkan, padahal sudah ada babi pada masa hidup Rasululloh Saw. Karena alasan inilah sebagian ulama Syafii berpendapat bahwa babi tidaklah sama dengan anjing, sehingga cara mensucikannya cukup dengan sekali cuci dan tanpa tanah, sama seperti najis-najis lainnya.
Agama islam adalah agama rahmatan lil alamin yang tidak memaksakan suatu syariat kepada suatu kaum. Dengan bantuan akal yang diamanahkan Tuhan, manusia sebagai khalifah pengelola bumi diberikan kebebasan untuk menentukan pilihannya, termasuk dalam hal syariat. Umat islam boleh mengikuti syariat sebagian besar ulama Syafii yang mewajibkan pensucian tujuh kali dan salah satunya dengan menggunakan tanah, atau mengikuti sebagian lainnya dengan hanya dicuci menggunakan sabun seperti najis halnya mensucikan najis-najis lain. Satu hal yang tidak dapat diganggu gugat ialah seluruh bagian dari hewan babi adalah najis dan haram untuk dimakan.

Biodata Penulis

Nama : Fondra Prasetyo Utomo
Instusi : Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Setro Baru Utara 14 No.25, Dukuh Setro, Tambaksari, Surabaya
Nomor HP : 085802941411
Instagram : fondrajillien
Email : fondrajillien20@gmail.com