(dibacakan oleh Nanda Puspitasari saat hari ibu)
Yang sendu di tepi jalan, adalah mawar yang telah layu karena debu jalanan.
Meneteskan air mata, meratapi waktu yang berlalu penuh dosa.
Sambil merakit sajak dari puing tangkai yang mengering, dan diletakkan di tepi jalan sunyi kerinduaannya,
ia berharap ampunan.
Tapi ketika senja telah dalam berlindung di balik bukit, dan gedung-gedung kota kian panjang melukis bayang,
bunga yang runtuh dari tangkainya itu, telah menepi dari riuh jalanan.
Dibawa kenangan tentang emaknya yang telah pergi karena rindu tak bertepi.
Di teras surau ia pandangi potret tua yang pengasih itu dengan duka dan penyesalan.
Katanya dalam do’a : ” Ya Allah, sungguh durhaka hidupku. Membiarkan orang yang begitu lugu, dan mencampakkan hidupnya dalam pedih perih. Kemana ia telah pergi ?”
Senja meredup azan memggema.
Bunga yang khusud itu tertidur di emper surau, mendekap erat potret tua, potret emaknya.
Seorang ustads dengan ramah membangunkannya.
“Hai, anak perawan ! Siapa gerangan dirimu ? Wajahmu khusud penuh debu. Bangunlah anak manis “!
Tapi kata hatinya ” Ya Allah, jika ternyata tidurku lebih indah dan menenteramkan, maka jangan bangunkan aku lagi !”
Ia tertatih meninggalkan emperan itu. Memandangi ibu ibu berkerudung, mengenang masa lalunya……
” Ya Allah…….! Bisik hatinya menangis.
Kediri, 22 Desember 2020.