
: Catatan Ramban oleh Mashuri Alhamdulillah.
Masa lalu Besuki, Situbondo, Jawa Timur, demikian moncer dan populer di ujung timur Jawa. Sayangnya, tidak banyak yang tahu bagaimana kawasan tersebut bermula. Benarkah penamaan kota ini terilhami oleh nama Dewa Basuki, dewa yang berwujud ular raksasa dan penguasa bawah tanah dalam cerita pewayangan? Mari kita telusuri bersama.
Memang, ada yang mengira Besuki dari kata Basuki karena kemiripan bunyinya. Namun, berdasarkan penelusuran, nama Besuki baru dikenal ketika sekelompok pendatang dari sebuah desa di Pamekasan Madura mencari penghidupan di tanah rantau di Jawa. Mereka menetap secara berkelompok untuk menata hidup. Dua tokoh utamanya, yaitu Wirobroto dan anaknya Wirodipuro, yang lebih dikenal dengan sebutan Pate Alos, yang hingga kini namanya harum semerbak bak kesturi di Besuki dan sekitarnya.
Dinamakan Besuki, karena kawasan itu sulit ditembus musuh. Hal itu terkait dengan lika-liku perjalanan Wirobroto dan Wirodipuro ketika membuka hutan menjadi dusun baru, lalu membuat pemukiman, kemudian meningkat menjadi kademangan, dan berubah menjadi sebuah pusat pemerintahan yang adil, makmur, dan mashur. Perjuangan hidup para pendatang ini sangat tangguh dan layak menjadi pelajaran siapa saja.
Kisah asal-usul ini tercatat dalam naskah kuno “Babad Besuki” dan telah menjadi tradisi lisan masyarakat Besuki. Berikut ini sedikit cuplikannya yang merekam jejak tokoh awal Besuki, siasat, strategi politik dan ketangguhan mereka mengunduh kabar dari langit. Tentu saja juga dikompilasi dengan tradisi cangkeman.
WIROBROTO
Raden Abdurrahman, begitulah nama mudanya. Nama tuanya adalah Wirobroto. Karena jasa dan kenekatannya, Besuki berdiri dan menjadi sebuah hunian hingga kini. Pada awalnya, ia membuka hutan belantara di Desa Demung dan menetap di sana. Desa Demung berada di sebelah timur Besuki kini.
Wirobroto berasal dari Desa Tanjung, Pademawu, Pamekasan. Darah yang mengalir di tubuhnya bukanlah darah sembarangan. Ia berdarah biru. Meski demikian, ia termasuk jenis seorang Madura, yang kokoh dan tak kenal lelah.
Ia adalah putra Raden Abdullah Surowikromo, seorang bangsawan keturunan raja Mataram yang menyingkir dari hiruk-pikuk istana dan menetap di sebuah dusun yang sunyi di Tanjung Djambul, Pademawu. Sebagai bukti, bahwa ia adalah bangsawan Mataram, hingga kini, makamnya di Desa Tanjung Djambul disebut dengan Asta Mataram. Tidak diketahui alasan pasti Surowikromo menyingkir dari istana. Yang jelas, ia menetap di Tanjung Djambul dan beranak-pinak di sana. Kemungkinan besar karena untuk menghindari konflik perebutan kekuasaan.
Adapun alasan Wirodipuro pergi ke kawasan tapal kuda Jawa, karena Desa Tanjung pada waktu itu sedang dilanda paceklik, kesulitan air dan tidak ada yang bisa ditanam di sawah. Agar hidup terus berlangsung, ia pun merantau, membuka lahan untuk pertanian di tanah baru.
Dengan tekad baja, ia pun menyeberangi Selat Madura dan mendarat di Desa Demung. Hingga kini, pendaratan pertamanya itu menjadi situs tersendiri, disebut Bujuk Se Pacar. Bujuk adalah sebutan orang Madura pada semacam petilasan atau makam yang dikeramatkan. Waktu itu, ia datang seorang diri, lalu membuka lahan pertanian di sana. Begitu panen usai, ia membawa hasil panennya ke Pamekasan.
Tak berapa lama, ia pun kembali ke Jawa dengan membawa putranya bernama Raden Kasim yang baru berusia 9 tahun. Isterinya tetap di Tanjung Pademawu. Sang isteri melepas anak dan suaminya dengan derai air mata. Berdua dengan puteranya, Wirobroto bertani. Setelah masa panen, ia pun kembali ke Pademawu untuk membawa hasil pertanian yang melimpah. Setelah itulah, ia berani memboyong isterinya, Nyai Wirobroto. Bahkan, ia juga disertai 20 kepala keluarga dari Tanjung untuk hijrah ke Demung karena merasa apa yang telah dilakukan Wirobroto memberi hasil yang jauh dari ketika mereka masih tetap bertani di Tanjung.
Setelah menetap di Demung, Wirobroto pun menjadi pemimpin mereka. Lambat laun, penduduknya bertambah karena ada warga lain yang menyusul mereka. Jumlah penduduk meningkat cukup tajam. Tempat itu pun ramai dan mulai dikenal oleh banyak kalangan. Wirobroto dianggap sebagai pemimpin dan dituakan oleh masyarakat setempat karena kesalehan dan kesaktiannya. Bahkan, sisa-sisanya masih bisa dijumpai hingga kini di Desa Demung. Di sana terdapat sebidang tanah, yang terdapat sebongkah batu mendatar, yang dipercaya sebagai tempat shalat atau langgar Kiai Wirobroto, dalam bahasa Madura disebut Langger. Lokasi itu disebut dengan Bujuk Palanggeren. Selama ini, tempat ini menjadi lokasi selamatan desa atau sedekah bumi.
Namun, ada yang tidak disadari oleh Wirobroto bahwa tempat tersebut berada di bawah kekuasaan Tumenggung Sentong, sebuah daerah di Bondowoso, yang merupakan bawahan dari Kerajaan Blambangan. Hal ini sempat memantik sebuah persoalan meskipun kemudian berhasil diselesaikan dengan cantik. Karena kedekatan Wirobroto dengan Tuhan, ia diberi petunjuk untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Sahdan, suatu hari, ketika Wirobroto sedang bekerja di sawah, ia kedatangan seorang pertapa dari Gunung Ringgit, mengaku bernama Pangeran Kelir, alias Pangeran Kaleran. Sang Pangeran datang dengan menunggang kuda putih. Sebagaimana pertapa, sosoknya tua, bicaranya jernih dan berwibawa. Ia menyapa Wirobroto dan memberi petunjuk pada Wirobroto yang kelak menjadikan anak- cucunya menjadi penguasa di daerah Besuki dan Bondowoso.
“Aku datang dari Gunung Ringgit. Khusus datang ke sini untuk menemuimu,” kata pertapa tua itu.
“Daerah yang kamu tempati ini adalah daerah kekuasaan Tumenggung Sentong. Kelak bila daerahmu ini menjadi desa, kamu jangan ikut Sentong, lebih baik kamu ikut Banger. Hal itu akan membawa kebahagiaan padamu dan anak cucumu. Sebab kelak Sentong akan dikalahkan oleh musuhnya dengan bantuan anakmu. Begitu pula dengan Lumajang, Watu Ulo dan Nusa Barong,” kata si pertapa, dengan lebih detail.
Wirobroto mendengarkan dengan seksama. Ia merasa dibangunkan dari tidur panjang, bahwa di sekitarnya ternyata berbeda dengan ketika ia masih di Tanjung yang kondisinya jauh dari gemuruh perebutan kekuasaan. Setelah itu, Pangeran Kelir pun pergi dengan menunggang kuda putihnya dan lenyap ke dalam hutan.
Nubuat dari sosok misterius tersebut, ternyata menuai bukti. Tidak seberapa lama, Tumenggung Sentong mencium adanya penduduk Madura yang mendiami dan menguasai kawasan yang masih di bawah kekuasaannya. Tumenggung Sentong pun mengirim utusan berupa bala tentara untuk menundukkan Demung. Dengan mengikuti saran pertapa dari Gunung Ringgit, Wirobroto dan Wirodipuro pun bahu-membahu berjuang untuk mempertahankan desanya bersama-sama dengan warga Demung lainnya. Karena kebersamaan itu, penduduk Demung pun berhasil mengusir tentara Sentong.
Meski dituturkan lewat lisan, peristiwa tersebut masih tersisa hingga kini. Di Desa Demung, terdapat sebuah gunduk tanah yang dikeramatkan di tengah sawah. Disebut dengan ‘Bujuk Panyentrongan’. Bidang tanah itu diyakini sebagai tempat Wirobroto dan penduduk pendatang dari Madura mengintai pasukan Sentong yang akan menyerang mereka.
PATE ALOS
Tidak sah ketika berbicara asal-usul Besuki tanpa menelusuri jejak rekam Pate Alos. Sebutan itu memang kental dengan lidah Madura. Jika ditulis dalam bahasa Indonesia adalah Patih Halus. Sebuah sebutan penghargaan yang tersandang pada namanya berkat budi luhurnya yang halus dan santun. Tentu itu berbalik dengan jabatan yang pernah disandangnya sebagai patih, dan seabrek kesaktian yang dinisbatkan pada namanya. Ibarat pepatah, ia tidak hanya ibarat padi, semakin tua semakin menunjukkan bobotnya, sehingga tak pongah. Ia juga termasuk air tenang menghanyutkan. Dikenal pendiam dan tak banyak tingkah tapi mengandung kepintaran dan kadigdayan tanpa tading.
Nama lahirnya Raden Bagus Kasim. Kelak ketika sudah mendekati tua ia berganti nama tua Wirodipuro, sehingga kerap disebut Raden Bagus Kasim Wirodipuro. Semasa muda, ia seorang pencari ilmu yang tangguh. Ia sering tirakat di Gua Pajudan, Gunung Agung dan Pecarron, sehingga dikaruniai pribadi yang tangguh dan sakti mandraguna. Beberapa kisah kesaktiannya terekam jelas dan detail dalam dalam cerita tutur yang melimpah di Besuki. Pokoknya tokoh yang satu ini kelewat dahsyat untuk digambarkan dengan kata-kata.
Ia termasuk putera bungsu Wirobroto dari tiga bersaudara. Dua kakaknya adalah perempuan. Begitu menginjak dewasa, ia diantar ayahnya ke Tumenggung Joyolelono, penguasa Banger, untuk mengabdi dan belajar tata pemerintahan. Ia pun menjadi salah satu orang kepercayaan, bahkan menjadi putra angkat Tumenggung Joyolelono. Bahkan, ia diambil menantu dengan dinikahkan dengan putri kedua Joyolelono. Setelah beberapa tahun di Banger, ia pun kembali ke Demung untuk membantu ayahnya.
Suatu ketika, ia diminta menggantikan ayahnya sebagai penguasa Demung. Ia pun diberi gelar Wirodipuro oleh penguasa Banger bernama Tumenggung Joyolelono. Wirobroto kembali ke Desa Tanjung Pademawu, sedangkan Wirodipuro tetap memimpin Demung. Tidak lupa berpesan agar selalu mengirim hasil panen ke Tanjung. Wirobroto meninggal di Tanjung, dua tahun kemudian istrinya menyusul ke alam keabadian. Makamnya disebut dengan Bujuk Bandar dan dikeramatkan warga Tanjung dan sekitarnya.
DARI DEMUNG MENUJU BESUKI
Suatu hari, Tumenggung Joyolelono datang ke Demung untuk melihat perkembangan Demung. Sebagai penguasa Demung, Wirodipuro menyambutnya dengan baik. Selanjutnya, ia memberi gelar Wirodipuro sebagai demang. Ia juga memerintahkan agar Wirodipuro pindah dari Demung ke barat sungai, dan mendirikan kediamannya di sana. Sejak itulah, sekitar kediaman Wirodipuro diberi nama Besuki, artinya musuh yang akan menyerang akan kandas dan mendapat bencana.
“Mulai sekarang, tempatmu ini bernama Besuki, karena kamu dan ayahmu telah berhasil menyingkirkan pasukan musuh dari Sentong,” kata Tumenggung Joyolelono.
Rumah Wirodipuro terletak di sebelah utara Alun-alun Besuki. Masyarakat setempat menyebutnya dengan “Dalem Tengah”. Berupa pendopo, pringgitan, rumah induk, dan pawon atau dapur. Pengangkatan Wirodipuro sebagai demang dan pemberian nama tempat tersebut dengan Besuki terjadi pada hari Sabtu Legi, bertepatan dengan tanggal 12 Robiul Awal, tepat perayaan Maulud Nabi.
Sejak itu, Wirodipuro dikenal sebagai Demang Besuki. Karena ia dikenal sangat halus perangainya, ia dikenal dengan Ki Demang Alos. Beberapa aturan pun mulai dibuat. Penduduk Sentong dilarang menjual hasil panen dan hasil laut ke Besuki. Penduduk Sentong juga tidak boleh mencari ikan dan mengambil garam di pesisir Besuki.
Penguasa Sentong merasa tersinggung. Akhirnya pecah perang dengan Sentong. Wirodipuro berhasil menaklukan Sentong. Selanjutnya, ia berhasil menaklukkan beberapa kawasan lainnya yang masih di bawah Kerajaan Blambangan, di antaranya Panarukan.
Atas jasanya, ia diangkat sebagai Patih Besuki. Hal itu menunjukkan bahwa terjadi peningkatan status pada daerah Besuki. Selama menjadi patih, ia juga masih berperilaku halus, sopan dan santun, maka masyarakat menyebutnya sebagai Ki Patih Halus, yang sekarang disebut dengan Kiai Pate Alos. Hingga kini, masyarakat Besuki menyebut tokoh yang satu ini dengan Pate Alos.
PENAKLUKAN NUSA BARONG
Penaklukan Nusa Barong dan Watu Ulo, menyisakan kisah-kisah kesaktian Pate Alos. Kedua tempat itu pada waktu itu memiliki tata pemerintahan dan aturan hukum tersendiri. Penaklukan ini terjadi ketika Pate Alos menjadi Patih Besuki dengan panggilan karib Ki Patih Wirodipuro.
Dikisahkan, setelah penaklukan Blambangan usai dengan hasil gemilang, dengan jatuhnya Panarukan dan Sentong, Pate Alos pun selanjutnya menaklukan Nusa Barong yang menjadi basis bajak laut yang mengganggu ketentraman pelayaran di laut selatan Jawa. Saat itu, ikut pula Patih Bangil yang dikenal jago perang dan memiliki kesaktian luar biasa di barisan Patih Wirodipuro. Ia bernama asli Gagak Sengoro.
Pertempuran berlangsung luar biasa. Gagak Sengoro pamer keahlian bela dirinya pada Kiai Patih Alus dan sesumbar bahwa dirinya kebal senjata. Ia mengatakan, jika Kiai Pate Alos lelaki, hendaknya bisa meniru dirinya yang digdaya. Pada saat itulah Kiai Pate Alos mengeluarkan nujumnya: “Sudah sepantasnya Patih Bangil digdaya karena kau lama menjadi patih dan kekuasaanmu begitu luas. Tetapi dalam perang ini, adalah hari naasmu. Kau akan kalah, karena lawanmu lebih sakti darimu. Kekalahanmu akan semakin tragis, karena kepalamu akan dipenggal musuhmu..”
Pertempuran semakin sengit. Patih Bangil berada di baris terdepan. Tentara Nusa Barong yang terkenal nekat dan bersenjata lengkap pun semakin beringas. Pada sebuah momen, Patih Gagak Sengoro terluka pahanya. Ia pun terjungkal. Selanjutnya seorang pasukan Nusa Barong berhasil memenggal kepalanya. Untunglah, seorang anak buahnya berhasil merebut kepalanya kembali, lalu disatukan dengan badannya untuk dibawa ke Bangil dan dimakamkan.
Selanjutnya, Pate Alos yang menjadi pemimpin perang. Perang berlangsung dengan sengit. Dengan kesaktiannya ia mampu menaklukan pemimpin Nusa Barong yang dikenal sangar dan sakti. Nusa Barong akhirnya bertekuk lutut. Selanjutnya, penundukkan wilayah pun merembet ke Klatakan dan Watu Ulo, yang pada masa itu memang memiliki kekuatan yang diperhitungkan. Setelah itu, ia kembali ke Besuki dengan damai.
Selanjutnya, Pate Alos menjalani hidupnya dengan tenang. Perangaianya yang halus dan santun disukai segenap rakyat jelata. Dalam pergaulan, ia tidak membeda-bedakan strata sosial. Ketika Pate Alos wafat pada usia tua, masyarakat Besuki merasa demikian kehilangan. Tak heran, hingga kini, makamnya di Kauman Barat (Kampung Arab), Desa Besuki, masih dikeramatkan dan dihargai karena keteladanan hidupnya yang memukau. Di sisi lain, karena kerja keras, keihlasan dan pantang menyerah yang dicerminkan dalam perjuangan Wirobroto dan Pate Alos, keturunan mereka menjadi orang-orang besar di kawasan tapal kuda dan sekitarnya.
Gitu sajah.
MA
On Siwalanpanji, 2020
Ilustrasi jepretan sendiri (1) Pak Dirman, pembaca naskah kuno dari Demung Besuki, (2) Makam Pate Alos sebelum renovasi (2010), (3) Masjid Agung Besuki, dan (4) Makam Tumenggung Joyolelono di Probolinggo.