Ijma’ sebagai sumber hukum islam

Oleh : Dini eka safitri

Sebagai sebuah ajaran, islam memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan agama lain yang ada di dunia ini. Sumber hukum dalam islam yaitu Al-Qur’an, Hadist, Ijma’, Qiyas. Yang kebanyakan memberikan kontribusi bagi umat islam. Dimana keberadaan ijma’ sebagai sumber hukum islam, menjadi penting bahkan kekuatan hujjahnya satu tingkat dibawah Al-Qur’an dan Hadist. Dalil-dalil yang ada pada ijma’ wajib dipatuhi oleh semua umat islam jika tidak ada dalam Al-Qur’an, Hadist dan sunnnah. Ijma’ sebagaimana didefinisikan oleh sebagian besar ulama’ ushul adalah kesepakatan seluruh ulama’ mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa sesudah wafatnya Rasulullah SAW atas suatu hukum syara’ pada suatu kejadian (lihat Khalaf 1994 : 64).
Suatu hukum dapat ditetapkan berdasarkan ijma’, dan kehujjahannya dapat dipandang sah, apabila ijma’ telah memenuhi rukun-rukun, sebagai berikut :
Jika pada suatu masa tidak ada mujtahid sama sekali kecuali hanya satu, maka ijma’ tidak bias terlaksana secara hukum. Karena itu, tidak ada ijma’ pada zaman Rasulullah karena beliaulah satu-satunya mujtahid pada masa itu.
Adanya kesepakatan atas hukum syara’ dari para mujtahid umat islam terhadap kejadian pada saat tejadinya masalah tersebut tanpa memandang negeri, kebangsaan atau kelompok mereka. Maka apabila mujtahid Hijaz, Irak dan Mesir saja yang sepakat terhadap hukum syara’ yang terjadi maka kesepakatan yang khusus ini tidak dikatakan sebagai ijma’. karena, ijma’ hanya tercapai dalam kesepakatan menyeluruh saja.
Kesepakatan mujtahid yang tercapai dengan diiringi pendapat mereka masing-masing secara jelas mengenai suatu kejadian, baik ditampilkan secara individu (setelah pendapat-pendapatnya terkumpul tampak jelas melahirkan sebuah kesepakatan), atau menampilkan pendapat secara berkelompok, contoh : para mujtahid diseluruh dunia berkumpul setelah terjadinya suatu peristiwa, kemudian masalah tersebut dihadapkan kepada mereka, setelah terjadi tukar pendapat mereka sepakat terhadap satu hukum atas masalah tersebut.
Kesepakatan semua mujtahid itu dapat diwujudkan dalam suatu hukum, karena jika sebagian besar diantara mereka mengadakan kesepakatan, maka kesepakatan itu tidak bisa dikatakan ijma’, selama masih ada golongan yang berselisih. Karena selama masih ditemukan adanya perselisihan, maka kemungkinan benar disatu pihak dan salah dipihak yang lainnya.
Apabila rukun ijma’ telah terealisasikan, maka hukum yang telah disepakati tersebut menjadi undang- undang syara’ yang harus diikuti dan tidak boleh ditentang. Ini merupakan hujjah atau dalil dalam pembinaan hukum islam. Bagi mujtahid berikutnya tidak boleh menjadikan keputusan tersebut sebagai objek ijtihadnya, karena hukum yang telah ditetapkan mengenai suatu kejadian dengan ijma’ adalah hukum syara’ yang pasti, dan tidak ada jalan untuk menentang atau menghapusnya.
Menurut adat merealisasikan rukun-rukun ijam’ seperti yang telah diuraikan diatas, nampaknya ijma’ tersebut sulit untuk diwujudkan, karena tidak adanya ukuran, misalnya karena perbedaan bangsa atau marga. Artinya, jika ijma’ didefinisikan dengan “kesepakatan para mujtahid dalam setiap masa terhadap hukum syara’”. Maka ijma’ tersebut tidak akan terjadi, karena para mujtahid berdomisili di berbagai negara dan kota yang tidak mungkin semua dipertemukan dalam suatu tempat. Padahal mutlak diperlukan dalam mewujudkan ijma’, Ketetapan kata mufakat para mujtahidinsemuanya, pada suatu waktu atas satu hukum mengenai suatu peristiwa.
Ringkasanya, bahwa ijma’ tidak mungkin diwujudkan, maka harus disandarkan pada dalil. Dan bila dalil yang menjadi sandaran itu qoth’I, maka hal yang mustahil menurut adat jika dalil itu disebunyikan, karena bagi umat islam tidaklah tersembunyi bagi mereka dalil syar’I yang qoth’I sampai mereka memerlukan kembali kepada mujtahid.
Ijma’ karena dalil dzonni tidak bisa tidak, tentu menjadi objek pertentangan, tetapi jika yang dimaksud ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid terhadap hukum-hukum syara’ yang telah ditetapkan berdasarkan dalil nash yang qoth’I, maka hal itu mungkin terjadi bahkan dalam hal ini yang menjadi hujjah bukan ijma’ melainkan dalil-dalil nash yang qoth’i.
Adapun ijma’ secara realitas sekarang ini tidaklah terjadi yang ada hanyalah kesepakatan para ilmuwan atau hukum yang dihasilkan dari musyawarah jama’ah. Terlepas dari hal itu semua, maka pada hakekatnya benarlah pendapat ulama yang mengatakan, bahwa tidak ada ijma’ yang disepakati dan diterima oleh semua ulama, kecuali ijma’nya sahabat. Didalam mengomentari masalah-masalah yang dianggap telah terjadi ijma’, Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan “kami tidak melihat pertentangan ulama dalam masalah tersebut”. Artinya setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan yang mengungkapkan secara jelas tentang pendapatnya. Ijma’ termasuk kategori haqiqi, adalah ijma’ yang dijadikan hujjah syar’iyah menurut madzhab jumhur. Ijma’ mi termasuk pada kategori ijma’ I’tibari, karena seorang mujtahid yang diam belum tentu setuju. Sedangkan ulama hanafiyah menilai ijma’ sukuti adalah sebagai hujjah.
Bukti kehujjahan ijma’ adalah :
Dalam Al-Qur’an surat an-Nisa : 59 Allah memerintahkan taat kepada ulil amri. 1) ulil amri duniawi adalah para raja, pemimpin atau penguasa. 2) ulil amri agamawi adalah para mujtahid atau ahli fatwa agama.
Bahwasanya suatu hukum yang telah disepakati oleh pendapat semua mujtahid umat islam, pada hakikatnya hukum islam.

Sedangkan Khalaf menyatakan, bahwa pendapat yang saya anggap utama adalah pendapat jumhur.

BIODATA DIRI

Nama : Dini eka safitri
Tempat, tanggal lahir : Sidoarjo, 24 0ktober 2001
Jenis Kelamin : Wanita
Agama : Islam
Alamat : Ds. Jenggot Rt.05 Rw.03 Kec. Krembung, Kab. Sidoarjo
Institusi : UIN Sunan Ampel Surabaya
Pekerjaan : Mahasiswa
Prodi : Ekonomi Syariah
Semester : 3
Telepon : 081233830521
Nomer WA : 081233830521
Email : deka27081@gmail.com
Instagram : dini.ekasaf