Penulis : Mas Supriyanto Martosuwito.
Respon TNI terhadap gelagat memecah persatuan bangsa layak diapresiasi. Nampaknya setelah kecolongan di bandara Soetta, kini TNI – khususnya Pangdm Jaya – tak mau dipermalukan lagi. Atau Pangdam akan hilang jabatan seperti Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jabar.
Saya kira intelejen sudah mencium gelagat yang lebih masif. Bahwa “refolusi akhlak” yang didengungkan itu hanya kedok untuk merebut kekuasaan.
Patut dicurigai bahwa ada banyak elite lokal yang menumpang isu itu. Khususnya kubu Cendana dan pengusaha dan dan mantan penguasa yang diuntungkan oleh rezim sebelumnya. Akumulasi kekecewaan karena tidak kebagian posisi – kehilangan jabatan dan pengungkapan berbagai kasus yang melibatkan mereka. Juga pundi pundi dari bisnis gaya mafia yang hilang.
WAJAH WAJAH yang hadir dalam acara Maulid Nabi dan resepsi pernikahan di Petambuaran – Jakarta Pusat, beberapa hari lalu – menunjukkan siapa saja yang menyuntik energi sang Imam cabul itu punya nyali lebih. Karena backing-nya kuat dan massanya militan.
Afif Fuad Saidi, sorang kolumnis di media Islam moderat Cyber Waroom PP GP Ansor, menandai bahwa tanda tanda “Arab Spring” sudah nampak di sini. Dia menyebut tiga cirinya.
“Arab Spirng” adalah gelombang musim semi politik di jazirah Arab yang awalnya menjatuhan rezim korup di Tunisia namun pada akhirnya merembet dan meluluh lantakkan negara. Dimulai dari Tunisia, Libya, Yaman dan Suriah.
Target berikutnya adalah Indonesia. Dan kini tengah diupayakan.
Negara negara muslim di Timur Tengah itu sudah hancur luluh dan jadi negara gagal akibat gerakan propaganda kaum radikalis yang mengatasnamakan revolusi.
Penjaja revolusi menjanjikan seribu janji manis, khilafah Islam, keadilan, perdamaian, kesejahteraan. Surga. Namun yang terjadi kebalikannya, perang sipil berkobar, sling bunuh sesama, negara hancur dan menyiskan penyesalan. Neraka dunia.
Gerakan yang dimotori oleh kelompok ‘radikal’ tersebut, sudah nampak di sini. Sudah siaga.
Mereka akan melakukan apa yang dilakukan oleh idola mereka di jazirah Arab sana untuk menghancurkan negeri. Massa pendukung mereka adalah orang orang yang kalah – gagal dalam hidup – kurang pendidikan dan korban hasutan politik berkedok agama.
Mimpi khilafah Islamiyah di Suriah, Irak, dan Libya menyebabkan gelombang pengungsian ke Eropa.
Ikhwanul Muslimin yang memenangkan pemilu di Mesir dan Tunisia harus kecewa karena negara-negara tersebut luluh-lantah akibat kekacauan.
Dan kini mencuci otak generasi muda di sini melalui dakwah tarbiyah PKS. Hampir semua kebiajakan pemerintah ditentang PKS. Meniru Mesir.
Keberhasilan kelompok radikal menghancurkan jazirah Arab menjadi semangat jejaring mereka di Eropa, Afrika, Asia, Australia, bahkan kini sampai ke Indonesia.
Inilah tiga tandanya, kata Afif Fuad Saidi :
PERTAMA, politisasi agama.
Sedang gencar dikobarkan. Gerakan mereka mengatasnamakan “umat” dan “Tuhan”, gerakan mereka seolah membela “agama” dan umat Islam, serta menjadikan simbol-simbol Islam sebagai basis gerakan mereka. Di Damaskus, mereka menggunakan Masjid Jami’ Umawi sebagai markas demonstran,
Sedangkan di Indonesia, pengajian pengajian dan mimbar masjid – khususnya pada khutbah Jumat – mereka gunakan untuk propaganda kebencian pada pemerintah. Jika Yusuf Al Qardlawi pimpinan Ikhwanul Muslimin pernah menyerukan “Jumat al-Ghadab” atau “Jumat kemarahan”, itu yang sudah dipraktikkan di Indonesia.
KEDUA, melakukan pembunuhan karakter pada ulama.
Khususnya ulama yang menjadi lawan politik dan gerakan mereka. Ulama yang pro pemerintah, pro kebangsaan dan NKRI mereka tuding “penjilat istana”
Di Danaskus – Syeikh Sa’id Ramadhan al-Buthi, ulama besar yang karyanya bertebaran di perpustakaan kampus Islam dunia, wafat di masjid al-Iman Damaskus saat pengajian tafsirnya berlangsung. Al-Buthy dan 45 orang lainnya harus terbunuh hanya karena berbeda pandangan politiknya.
Al-Buthi juga dianggap “penjilat istana” dan dianggap sebagai pengikut Syiah – padahal Al-Buthi adalah ulama Aswaja, ceramah dan karyanya getol menyuarakan Aswaja : ashul sunah wa jama’ah – hanya karena pandangan kebangsaannya, beliau harus terbunuh.
Lalu, bagaimana di Indonesia? Kurang lebih sama, para ulama dibunuh karakternya, Prof. Quraish Shyihab adalah salah satunya. Mereka menuduhnya sebagai seorang syiah, Kiai Mustafa Bisri dituduh liberal, begitu juga Kiai Said Agil Siradj, dituduh Syiah dan liberal, yang berseberangan pandangan politiknya dihabisi, difitnah, ingat kasus TGB Zainul Madji?
Tokoh yang awalnya mereka puja, karena pandangan politiknya berubah, mereka memfitnahnya sedemikian rupa.
Sebaliknya mereka memanggungkan ustadz abal-abal yang lebih menghibur. Atau enteng mencaci maki.
KETIGA propaganda anti pemerintah.
Mereka melakukan agitasi dan seruan ketidakpercayaan pada pemerintah dan istana.
Di Suriah, Basyar al-Assad dituduh Syiah, dituduh kafir dan membantai kaum sunni. Sedangkan di Indonesia, Jokowi dituduh anak PKI, keluarganya dituduh sebagai Kristen, antejlk China. Polanya sama.
Mereka juga menggugat ketidak-percayaan pada sistem dan pelaksana negara. Mereka menawarkan “Teko ajaib” bernama khilafah islamiyah sebagai solusi dari sistem demokrasi.
Masalah apa pun yang ada di Indonesia, solusinya adalah Khilafah Islamiyah, dengan melemahkan sistem dan pelaksana negara di Indonesia.
Di Suriah ada jargon tertentu yang selalu diteriakkan, seperti “al-sha’b yurid isqat al-nizam” (rakyat menghendaki rezim turun) dan “irhal ya Basyar” (turunlah Presiden Basyar), di Indonesia juga sama, apa pun demonya, intinya tetap “turunkan Presiden Jokowi”.
Polanya sangat mirip, jika tidak boleh dikatakan sama.
Suriah saat ini luluh lantak karena membiarkan dan terlena pada gerakan ‘radikal’ tersebut. Jangan sampai di Indonesia terjadi seperti Suriah.
Semoga TNI dan Polri – khususnya Polda Metro Jaya dan Pangdam Jaya – tidak kecolongan lagi.
Mari bersama lawan propaganda mereka.
Sing waras ojo ngalah!
Yang waras jangan ngalah. ***