75 TAHUN INDONESIA MERDEKA: MOMENTUM “MERDEKA BELAJAR?” SEBUAH REFLEKSI DAN CATATAN DUNIA PENDIDIKAN

Oleh :
H. Muhamad Nur Purnamasidi*

Kemerdekaan merupakan hak azasi setiap bangsa untuk bebas menentukan nasibnya terlepas dari belenggu penjajahan, baik fisik maupun non fisik. Segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dengan kemerdekaan sebagai hasil kristalisasi perasan keringat perjuangannya, suatu bangsa dapat mewujudkan kedaulatan secara politik, kemandirian dalam ekonomi serta mengangkat harkat dan martabatnya. Segala bentuk pengorbanan dengan tetesan darah dan nyawa para pejuang kemerdekaan untuk melepaskan dari segala macam bentuk penindasan. Hal tersebut tentu harus dimaknai serta diberikan apresiasi secara proporsional. Karena sebagaimana diungkapkan Bapak Proklamator sekaligus Presiden Pertama Indonesia Ir. Soekarno bahwa hanya bangsa yang besar yang dapat menghargai jasa para pahlawannya.
Pertanyaan kemudian, bagaimana bentuk dan cara menghargai jasa para pejuang kemerdekaan yang telah berhasil mengusir penjajah dari bumi pertiwi Indonesia? Bahwa kemerdekaan itu ibarat titik mula pembuka kotak pandora untuk kemudian menjadikan “ruh” semangat perjuangan para pahlawan itu dalam laku lampah yang berbeda, dengan tantangan dan hambatan yang tidak kalah beratnya. Yakni mengisi kemerdekaan dan mewujudkan apa yang di cita citakan para pendiri bangsa ini.
Sebagaimana termaktub dalam pembukaan Undang Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 bahwa salah satu tujuan kemerdekaan adalah mencedaskan kehidupan bangsa. Secara strategis dan penuh filosofis penjabaran untuk mewujudkan cita cita kemerdekaan itu pun telah secara nyata diinspirasikan dari lagu kebangsaan kita dalam lirik “Bangunlah jiwanya, bangunlah Badannya untuk Indonesia Raya.” Hal itu secara jelas bermakna bahwa yang didahulukan adalah membangun jiwa, membangun mental, membangun karakter manusia Indonesia seutuhnya dengan nilai dasar “gotong royong.” Karena itulah menjadi sangat relevan dan kembali menemukan elan vital juangnya ketika Presiden Jokowi menggelorakan revolusi mental dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Budaya patronase, mental inlander, “asal bapak senang,” masih mengurat, mengakar dalam alam bawah sadar kita sebagai bangsa.
Sejarah Panjang perjalanan bangsa ini sebagai bangsa yang besar dan disegani, maju dan berperadaban tinggi dapat kita tarik mundur era kerajaan Majapahit dengan “sumpah Palapa” nya dan kerajaan Palembang dengan kecanggihan “armada lautnya.” Dua prototipe itu, setidaknya dapat kita jadikan potret gambaran, tolak ukur sekaligus inspirasi bersama. Tidak hanya terkait dengan cakupan luas wilayah serta pengaruhnya ketika itu. Tetapi juga prestasi gemilang dalam kemajuan ilmu pengetahuan dengan dihasilkanya karya – karya mercusuar yang memberikan nilai bobot kualitas sebagai sebuah bangsa yang beradab dan menjunjung tinggi harkat dan martabatnya. Semua itu dapat terwujud karena semangat kejuangan yang tinggi, mental dan karakter kuat untuk Bersatu, bergotong royong dengan mengedepankan persatuan dan kesatuan.
Saat itu “Indonesia” menjadi salah satu rujukan bagi bangsa lain. Tidak sedikit bangsa dari berbagai belahan dunia yang terkagum dan kemudian berusaha datang langsung untuk belajar terkait dengan kunci kemajuan dan prestasi peradaban kita yang luar biasa. Proses inilah yang kemudian semakin memperkaya dan menyadarkan untuk menjadikan kemajemukan itu sebagai sebuah potensi kekuatan. Meski dalam proses selanjutnya, akibat penjajahan selama beratus tahun, mental dan karakter itu terkikis dan kemudian hancur lebur akibat politik devide et empera kolonial Belanda.
Sangat berbeda dengan imperialisme Inggris misalnya, mereka lebih “manusiawi” meski semangatnya sama sama menjajah. Bila Kolonial belanda menjajah secara politik, ekonomi bahkan budaya, serta berbagai bidang lainya. Tetapi lain halnya dengan imperialisme Inggris yang lebih lunak, berorientasi utama ‘tidak’ pada penjajahan politik, tetapi lebih kepada penguasaan ekonomi. Dengan demikian, Inggris sangat berkepentingan negara jajahannya maju secara ekonomi, sebagai bagian kepentingan besar ekonominya untuk mendapatkan bahan baku serta pangsa pasar hasil surpluss produksi industrinya. Ada korelasi positif dan tujuan symbiosis mutualismenya antara bangsa yang dijajah dengan yang terjajah.
Sangat berbeda jauh bahkan ibarat langit dengan bumi dimana Kolonial Belanda dengan misi totalitas dalam mengeruk keuntungan ekonomi, dan hegemoni politiknya serta menjalankan mission sacre (misi suci) penyebaran agama. Masih belum hilang ingatan kita bagaimana dahulu “politik etis” karya van Devender dijalankan. Demi dan atas nama untuk kesejahteraan rakyat, pemerintah Belanda merasa memiliki “hutang kehormatan” dengan program perbaikan sarana irigasi untuk pertanian. Juga program edukasi untuk menyiapkan dan mengisi jajaran birokrasi pemerintahan. Namun program itu hanya kedok, bungkus indah namun substansi atau isinya seperti tak ubahnya “minum racun.” Alih – alih untuk dan demi kesejahteraan rakyat, justru dengan program “menamam tebu di bibir” itu kesengsaran rakyat semakin menjadi. Ada monopoli dan pengharusan dari pemerintah Kolonial Belanda untuk menanam komoditas tertentu yang sedang laku keras di pasaran eropa dengan model tanam paksa dan kerja rodi. Eksploitasi tenaga kerja murah besar besaran terjadi, sementara minim, bahkan nyaris zero upah bagi masyarakat petani.
Hal yang sama dan tidak jauh berbeda pun demikian dengan program edukasi. Gagasan mulia untuk “mencerdaskan” ini pun tidak lebih dari sekedar janji manis, isapan jempol belaka. Bagaimana tidak, program itu hanya bisa dinikmati oleh “kasta tertinggi” yakni masyarakat Eropa sendiri. Sedangkan masyakakat kita hanya dari golongan bangsawan atau kaum ningrat, itupun hanya segelintir elit yang bisa menikmati. Dengan kata lain, system persekolahan pada zaman Hindia Belanda ini lebih berbasis kepada golongan penduduk sesuai dengan kasta (kelas), atau golongan. Implikasinya, lagi-lagi semakin memperlebar terjadinya jurang pemisah antara elit yang mulai tercerahkan dan masyarakat tetap dalam “tirani” kebodohan, serta jauh dari konsepsi pemerataan Pendidikan untuk semua.

Pendidikan yang Membebaskan: Belajar Merdeka atau Merdeka Belajar
Bahwa Pendidikan menurut Paulo Freire merupakan usaha untuk mengembalikan fungsi Pendidikan sebagai alat yang membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan ketertindasan. Pendidikan harus bermuara sebagai usaha yang sistematis, terstruktur dan terencana serta terukur sebagai ikhtiar untuk memanusiakan manusia (humanisasi). Tiga tema sentral lainya adalah Pendidikan hadap masalah (problem-posing education), konsientasi (guru dan murid sebagai subyek) dan dialog dengan refleksi dan aksi. Kritikan dan Pendidikan alternative yang ditawarkan Freire cukup menarik untuk menganalisis dan “mengonceki” atau mengupas permasalahan Pendidikan di Indonesia.
Filsafat Pendidikan yang ada di balik pemikiran Freire (asal Brasil) dan juga metodologi yang ditawarkan dinilai cukup relevan dengan problematika Pendidikan di negara kita. Salah satu kritik tajamnya adalah menolak keras system pendidikan gaya “Bank.” Dimana anak didik tidak dilihat sebagai yang dinamis dan punya kreasi, tetapi dilihat sebagai benda yang seperti wadah untuk menampung sejumlah rumusan/dalil pengetahuan.
Sementara itu, Soewardi Surjaningrat atau lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara juga menekankan apa yang disebutnya dengan “kemerdekaan dalam belajar.” Substansi dan nilai yang menjadi gagasan itu adalah bagaimana membentuk manusia (peserta didik) harus dimulai dari mengembangkan bakat, menggali potensi yang beragam. Dengan kata lain, sebagaimana yang dinyatakan Ki Priyo Dwiyarso bahwa tenaga didik atau guru harus mempertimbangkan apa yang dapat dikembangkan dari anak didik, jeli menelisik kebutuhanya, serta mana yang harus didorong, dan apa yang harus dikuatkan. Belajar merdeka itu berarti merdeka atas diri sendiri dalam mengembangkan seluas dan seoptimal mungkin terkait bakat dan minat. Pendidikan karakter dalam membangun bakat hendaknya menjadi prioritas pertama dan utama sebagai kunci dalam membangun setiap insan Pendidikan.
Bahwa dunia nyata mensyaratkan adanya kemampuan berkarya dan berkolaborasi akan menentukan kesuksesan anak didik. Setiap anak memiliki kebutuhan berbeda, tetapi keseragaman telah mengalahkan keberagaman potensi. Kita ingin setiap anak didik terinspirasi, tetapi guru tidak diberikan kepercayaan untuk berinovasi. Demikian ketika kita menangkap secara sederhana terkait konsepsi yang menjadi argumentasi mendasar merdeka belajar yang digagas Mas Nadhim Makarim sebagai Kemendikbud.
Terkait belajar merdeka ataukah merdeka belajar memiliki muara yang tidak jauh berbeda sebagai titik pijaknya. Bahkan sebangun yakni bagaimana mensinergikan dan mengabsorpsi (menyerap) keragaman potensi anak didik dan memberikan ruang inovasi serta kreativitas tenaga didik. Titik singgung ini menjadi penting untuk digarisbawahi agar tidak kemudian mempertentangkan dan bahkan menghadapkan vis a vis secara diametral terkait konsepsi Pendidikan tersebut.
Persoalan kemudian, muncul rumor bila konsep merdeka belajar ini mau dijadikan hak paten. Tentu hal ini patut kita sayangkan dan akan menimbulkan “kegaduhan” baru. Bagaimana tidak, bila nanti terwujud dikhawatirkan akan membawa implikasi negatif yang luas dan berdampak jangka Panjang. Salah satu kekhawatiran adalah ke depan Pendidikan tidak ubahnya laksana “komoditas” dimana ada golongan atau kelompok tertentu yang mendapatkan keuntungan, dan ini yang harus kita hindari bersama untuk tidak terjadi.
Situasi sekarang yang oleh Bapak Presiden Jokowi sering dinyatakan diperlukan langkah ekstraordinary sehingga meniscayakan dalam dunia Pendidikan pun diperlukan tidak sekedar langkah biasa. Tetapi lompatan strategis dan progresifitas dengan kecepatan serta kualitas yang tinggi. Kita semua tentu berharap merdeka belajar tidak sekedar konsep dengan kemasan baru, tetapi substansi/isi dan nilai konsep pendidikan yang ditawarkan tersebut sama dengan sebelumnya. Tetapi harus mencerminkan betul adanya orientasi baru, semangat baru yang berkesesuaian dengan kerangka filosofis yang menjadi pijakan dasarnya. Pelajar Pancasila sebagai perwujudan pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berlaku sesuai dengan nilai – nilai Pancasila.
75 Tahun Indonesia merdeka, refleksi dan proyeksi serta aksi nyata menjadi tumpuan dan harapan bersama ke arah yang lebih baik, terutama terkait dengan dunia Pendidikan kita. Terlebih dalam situasi pandemic covid 19 era new normal ini telah membuat perubahan struktur dunia Pendidikan dengan cepat dan berlangsung secara eskalatif. Di banyak negara mulai mengadaptasi berbagai perubahan ke dalam system Pendidikan mulai dari pra-sekolah hingga perguruan tinggi.
Peta Jalan Pendidikan tahun 2020-2035 telah dicanangkan. Ada baiknya kita melakukan Benchmarking (Perbandingan yang dijadikan tolok ukur/’patokan”) pada negara-negara yang dinilai berhasil mengadaptasi system Pendidikan untuk memenuhi kebutuhan perubahan di masa depan. Sebagaimana dimafhumi, negara “Kanguru” Australia menjadi garda terdepan keberhasilanya untuk Pendidikan anak usia dini, Finlandia untuk Pendidikan Dasar dan Menengah, Jerman untuk Pendidikan vokasi serta Korea Selatan untuk jenjang Pendidikan Tinggi. Sebagai epilog, Bahwa upaya membentuk sumber daya manusia unggul harus berorientasi ke masa depan dengan senantiasa beradaptasi dan memiliki proyeksi jauh ke depan terhadap perubahan serta dibutuhkan bangunan kerja sama, berkolaborasi dari semua pemangku kepentingan.
Dirgahayu 75 tahun Indonesia. Merdeka.

*) Penulis adalah Anggota DPR RI Komisi X, Fraksi Partai Golkar.