Oleh :
Mochamad Rifai
Genteng Banyuwangi
• Miris, melihat demo buruh karena butral.
• Miris, menyaksikan perayaan kelulusan anak-anak SMA/SMK, karena jauh dari harapan para stakeholder.
• Miris, melihat mahasiswa tawuran karena tidak menunjukkan ciri kelompok intelektual.
• Miris, memperhatikan persiapan dan pelaksanaan Pemilu karena mengorbankan ratusan nyawa dan dituding telah bertindak curang.
• Miris, mempelajari perkembangan ekonomi dan utang-utang negara karena mencapai ribuan triliun bisa menyebabkan hilangnya kedaulatan dan kemerdekaan.
• Miris, melihat gerakan beribu-ribu manusia berjubah berjalan-jalan di ibu kota karena berpotensi menganggu integritas kebangsaan.
• Miris, melihat rombongan ziarah Walisongo kerena begitu salah niat bisa menjadi musyrik.
• Miris, melihat KPK rajin tangkap tangan para tersangka pejabat kakap, karena betapa pejabat publik kita kronis moral korupsi.
• Miris, melihat perilaku politik para jenderal tidak kompak karena mengkhawatirkan terjadinya adu kekuatan pengaruh yang menyebabkan perang bintang.
• Miris, melihat acara TV karena banyak acara yang (kurang) tidak mengedukasi.
• Miris, melihat pengangguran kian menggunung karena mereka berpotensi menjadi masalah sosial yang kronis.
• Miris, melihat perusahaan asing mengeruk mineral bumi kita karena kekayaan kita dibawa kabur ke luar negeri para cukong, juga dicurigai ber-KKN dengan para elit kita.
• Miris, melihat kemiskinan yang tidak kunjung berkurang karena bisa menyebabkan timbulnya berbagai masalah sosial dan penyakit sosial.
• Miris, memperhatikan maraknya paham radikal karena menganggu ketenteraman dan keamanan negara.
• Miris, melihat gerakan KKB Papua karena mengesankan negara kita dalam ancaman diintegrasi.
• Miris, melihat merajalela penyelundupan narkoba karena merusak mentalitas dan membunuh bangsa secara perlahan.
• Miris… miris… dan miris.
Situasi bangsa ini kalau hanya dilihat dari sisi kemirisan, tak akan pernah selesai. Kemirisan akan hadir terus di benak kita. Rasa waswas akan semakin membuat kita tidak bisa tidur nyenak. Itu sebenarnya ada modal bagus di benak siapa pun yang selalu merasa miris. Artinya tidak cuek, tidak egois dan tidak lepas rasa tanggung jawab, ikut anderbeni negeri ini. Sekuat tenaga jangan terbawa ke suasana yang mengarah pada sikap psimistik akibat rasa kekhawatiran yang berlebihan. Lebih bahaya lagi kalau sudah mengarah ke pemikiran fatalistik, kono-kono wis sak karepmu.
Hampir setiap era, setiap zaman, setiap rezim pasti membawa khazanah masing-masing. Dan tidak akan ada satu pun era, zaman dan rezim tanpa cacat jika dilihat dari mereka yang di seberang lingkaran. Sebaliknya semua akan menjadi suatu yang luar bisa hebatnya jika dilihat dari orang-orang yang menjadi bagian dari pembangun era, zaman atau rezim. Itu pasti. Memang patut disadari bahwa tidak akan pernah ada kesempurnaan hasil karya manusia di bumi ini. Semua tergantung dari cara pandang dan alat yang digunakan untuk memandang. Kalau misalnya memandang pasar, gunung, karya seni dengan mengunakan alat ukur yang tidak pas dan tidak semestinya akan menghasilkan sesuatu simpulan atau pemahaman yang tidak valid.
Karena masalah itu sebuah keniscayaan hidup, mengapa mesti harus miris menghadapinya? Di sinilah membangun kesadaran, awareness building, diperlukan. Kesadaran apa yang dimaksud di antaranya kesadaran bersikap dan menyikapi suatu keadaan atau permasalah. Tidak ada masalah yang berbahaya itu, -karena masalah itu ciptaan manusia- jika bisa cara menyikapi dengan benar dan tepat. Kesertaan egoisme masing-masing kerap mengganggu menjadikan diri seorang susah berdiri tegak di tengah-tengah saat dibutuhkan solusi yang tepat dan adil. Kehadirannya akan menjadi bagian dari masalah justru sering membuat orang yang dinilai berlebih, menjadi tidak bijaksana.
Membangun kesadaran itu sebenarnya langkah mendewasakan setiap orang. Orang pintar secara akademik, pengalaman cukup, keulamaan dan keseniorannya cukup tetapi masih ada yang harus dimiliki ialah kedewasaan. Siapa yang disebut hebat dan tokoh sebenarnya ada pada tingkat kedewasaan di samping syarat penyerta lainnya. Tua sudah pasti tetapi dewasa tidak serta-merta ada pada pribadi orang berumur dan berilmu. Harapannya memang berilmu itu bisa menyelaraskan kedewasaan. Fakta masih banyak orang dengan gelar akademik paling top, ciri-ciri tampilan orang suci, tapi masih disangsikan kedewasaannya saat statemen yang dikeluarkan justru membuat pendengar malah bertanya, kok begitu ya?
Di sudut-sudut manapun di negeri ini, di kehidupan kita ini, akan bisa terlihat miris, kecuali oleh orang-orang yang berkeyakinan, bersikap optimis dan dewasa. Kesadaran tertinggi orang saat terbangun optimisme karena punya keyakinan dan pribadi yang dewasa ada dalam dirinya. Tidak ada masalah yang tidak terselesaikan, tidak ada masalah yang berat jika benar cara memikulnya. Dan tidak ada masalah yang berbahaya jika benar cara menyikapinya. Hidup ini pilihan. Seoptimal mungkin jangan memilih jalan yang keliru atau jalan sesat. Hindari suka menegatif, kurang rasa percaya diri, mudah menyerah, suka menyalahkan keadaan, berbicara banyak bukan pada bidang keahliannya. Kalau tidak tahu jalan mana yang terang, jauh sebelum tersesat, banyak-banyaklah bertanya kepada orang pintar terpelajar, orang bijak. Jangan mengikuti arus anut grubyuk, grudak-gruduk tidak jelas arah. InsyaAllah pikiran Anda akan terhindar dari rasa miris dan psimistik, karena di benak Anda selalu ada pikiran positif. Minimal ada upaya cari cara solusi yang cerdas dan bijak setiap kali melihat sebuah permasalahan.