Toleransi Leluhur Nusantara dari Zaman Ke Zaman

 

Sejak zaman dahulu, tanah Nusantara terbuka pada apa saja dan siapa saja yang masuk, bertamu, atau menetap di dalamnya. Leluhur kita adalah tuan rumah yang baik bagi siapa saja. Ketika Hinduisme dan Buddhisme datang dari tanah utara, leluhur kita menerimanya dengan tangan terbuka. Ketika Islam dan Kristianitas masuk dari tanah barat, leluhur kita pun menerimanya dengan tangan terbuka. Karena kerendahan hati dan semangat untuk mengapresiasi kebijaksanaan apa pun dan dari mana pun, leluhur kita pun menggunakan agama-agama mancanegara itu sebagai bagian dari hidupnya, menambahkannya ke dalam ageman mereka sendiri. Sehingga, meskipun banyak dari leluhur kita yang menganut agama Hindu, banyak tradisi leluhur yang tetap meresap dan melumuri kehinduan mereka. Tradisi Hindu Bali beda dengan Hindu India. Meskipun banyak dari leluhur kita yang menganut Islam, banyak tradisi leluhur yang tetap meresap dan melumuri keislaman mereka. Di Jawa lahir Islam Kejawen, di Lombok lahir Islam Wetu Telu, dll. Sejak dahulu, wajah Nusantara adalah wajah yang berbhinneka. Bhinneka tunggal ika. Keragaman dalam kesatuan. Di dalam keragaman, terkandung “Sat” atau Dzat yang sama yang menjadi saripati segenap keberadaan. Dunia menjadi indah karena perbedaan. Dunia seharusnya menjadi indah karena banyaknya agama jika bisa saling menghormati dan mengapresiasi. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mengapresiasi (bukan hanya menoleransi) segenap perbedaan!

Totok Budiantoro

Koresponden MM.com.