MENUJU PENDIDIKAN DIALOGIS, MENGAPA TIDAK?

Penulis: A. P. Dhani, mahasiswa & kamerad yang tergabung di Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Jember.

Bagi sejumlah kalangan, pendidikan dapat dilihat sebagai sekadar proses penyampaian informasi/gagasan dari seseorang kepada individu atau suatu kelompok. ‘Pendidikan’ semacam itu dari dulu sudah kita lakukan baik sadar maupun tidak sadar. Namun bagaimana jika pendidikan formal yang kita alami selama ini, bukannya mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi malah menjerumuskan diri kepada pengekangan kebebasan berpikir.
Pendidikan terselanggara dengan adanya pendidik, peserta didik, pembelajaran, dan kesadaran akan kondisi global. Kondisi global di sini lebih merujuk kepada keadaan pasar. Pendidikan sekarang sejatinya telah berubah menjadi pendidikan yang mengikat dan bersifat satu arah. Pendidikan seperti ini tidak memperhatikan keadaan peserta didik namun lebih memperhatikan keadaan pasar.
Dalam bingkai neoliberalisme yang kian mencengkeram penyelenggarakan pendidikan memberikan imbas kepada pendidik. Sebagian pendidik yang tidak sadar, kemudian memandang pasar nampaknya lebih penting daripada hati nurani dan keinginan peserta didik yang suci. Peserta didik cenderung dipandang sebagai gelas yang kosong lalu diisi dengan ilmu oleh pendidik, seperti air yang diisikan apda gelas kosong. Pendidikan seperti ini tidak akan melekat pada anak-anak/peserta didik. Pendidikan ini justru membuat anak-anak kurang percaya diri dan berpikir bahwa pendidikan hanya terjadi di ruang kelas saja di bawah arahan gurunya.
Padahal, pendidikan sejatinya sudah kita lakukan sejak kita dapat mengingat. Hal yang disampaikan oleh orang tua lalu kita ucapkan atau lakukan kembali sebenarnya adalah salah satu bentuk pendidikan. Tetapi kita kurang mendalami pendidikan semacam ini, malah menyerahkan anak-anak kita kepada penjara ilmu pengetahuan bernama sekolah.
Pengetahuan yang didapatkan di sekolah bukanlah apa-apa dibandingkan pengetahuan yang ada di luar sekolah. Karena sekolah lebih acuh kepada kondisi peserta didik, sedangkan pendidikan yang dilakukan orang tua dengan kepemilikan kesadaran pedagogi kritis akan lebih mengajak anak untuk berbicara dua arah tentang etika dan merespon realitas sosial. Internalisasi realitas sosial inilah yang seharusnya menjadi konsen dalam pendidikan.
Kurangnya pendidikan di ruang kelas adalah adanya makanan yang bernama mata pelajaran yang siap saji & siap makan, yang dibuat dari hasil formulasi kurikulum pendidikan dari negara, yang nyatanya sangat erat kaitannya dengan konsepsi neoliberalis-kapitalis (baca: anti dialogis). Mata pelajaran yang dipaksakan membuat anak kurang terampil berpikir dan peka terhadap realitas sosial. Akhirnya, perasaan ketika lulus dari pendidikan formal seperti orang yang bebas dari penjara, sebab sekolah acapkali memenjarakan kreatifitas anak-anak.
Pendidikan yang seperti ini hanyalah menghasilkan ilusi bagi pendidik yang biasa kita sebut cita-cita. Memang terkadang cita-cita ini bersifat positif, namun bagaimana dengan mental anak yang selalu dipaksakan untuk meraih hal yang sebenarnya adalah keinginan yang dibentuk oleh stimulus-stimulus orang tua dan lingkungannya, bukan pilihan murni diri sendiri?
Tidak hanya itu, pendidikan seperti ini lebih berorientasi kepada materi. Bukanlah usaha menghargai diri sendiri dengan memperluas wawasan, tetapi lebih kepada keinginan untuk disiapkan sebagai buruh/pekerja yang taat, dan sikap kritisnya teramputasi akibat pemenjaraan kebebasan berpikir yang sudah melanda dalam sekolah.
Pendidikan yang sebenarnya harus dilakukan adalah pendidikan yang memanusiakan manusia, pendidikan dialogis. Bukan hanya pendidik yang mendidik tetapi pendidik juga belajar dari peserta didiknya. Pendidikan yang bersifat dua arah yang membebaskan dan bersifat dialogis. Dimana anak atau peserta didik bisa mendiskusikan realita kehidupannya daripada mendengarkan ceramah guru belaka.
Pendidikan seperti ini yang nantinya memberikan kebebasan pada peserta didik sehingga tidak menipu daya peserta didik dengan cita-cita tetapi lebih menyadarkan peserta-didik dengan realita agar lebih bersemangat lagi. Paradigma pendidikan pembebasan seperti ini akan menghasilkan peserta didik yang lebih kuat dan tahan banting dalam menghadapi realita kehidupan, bukannya untuk disiapkan sebagai calon pekerja yang siap tunduk. Peserta didik dari pendidikan semacam ini (pendidikan dialogis) yang nantinya akan mengobarkan bendera merah kepada penindas yang merampas masa kecil mereka dengan ilusi yang fana.
Peserta didik seperti ini juga yang nantinya akan membawa angin baru dalam dunia pendidikan. Meskipun tidak semua keluaran pendidikan semacam ini menjadi guru, tetapi pendidikan semacam ini bisa diterapkan kepada anak-anaknya. Pendidikan yang dialogis akan menghargai anak sebagai manusia yang diajak bicara dan diperkenankan berbicara. Bukan anak yang dianggap seperti robot yang mekanis dan melaksanakan perintah sesuai kehendak tuannya.