Bakal Calon Bupati Koltim, Tunda Pilkada Demi Kemanusiaan

Oleh :Irwansyah, SH., LL.M.

Melawan Corona

Dunia sedang berjibaku, termasuk Indonesia, melawan pandemi Virus Covid-19 atau lebih familiar dengan sebutan Virus Corona. Penyebaran virus Corona bukan hanya menciptakan kepanikan dan ketakutan bagi masyarakat, tetapi juga menimbulkan silang pendapat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Letak perbedaan argumentasi yang ditawarkan adalah lockdown atau unlockdown. Karena opsi lockdown tidak diamini oleh Pak Presiden Joko Widodo, maka beberapa Pemerintah Daerah mengambil langkah taktis dan preventif untuk mencegah penyebaran virus Corona di daerahnya.

Misalnya, Pemprov DKI mengeluarkan kebijakan proses belajar mengajar dilakukan di rumah, menghapus ganjil genap, warga tidak dianjurkan pulang kampung, himbauan untuk menjaga jarak (social distancing), Pemerintah Daerah Papua melakukan penutupan akses keluar masuk ke Papua, Pemerintah Kota Tegal menutup total akses ke wilayahnya, Kabupaten Bone melakukan soft lockdown, dan Kabupaten toli-toli melakukan isolasi wilayah. Dan banyak lagi daerah mengambil langkah demikian. Alasanya hanya sederhana yaitu pemerintah daerah ingin masyarakatnya sehat dan daerahnya terbebas dari virus Corona.

Mungkin saja para kepala daerah berfikir bahwa “Salus Populi Suprema Lex Esto” yang artinya keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi atau mungkin mereka sedang berfikir bahwa daerah tidak akan ada kalau tidak ada masyarakat. Bukankah masyarakat merupakan syarat berdirinya suatu negara dan daerah.
Penyebaran virus Corona harus dihadapi secara bersama agar tidak menimbulkan korban yang semakin hari semakin banyak, karena sampai hari ini belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan secara total.

Tentunya,virus Corona menjadi momok yang sangat menakutkan bagi masyarakat dunia karena dapat menyerang kepada semua golongan dan lapisan masyarakat tanpa pandang bulu (pemilik kuasa dan tanpa kuasa).
Secara berlahan, pemerintah sudah mulai mengeluarkan kebijakan dan himbauan yang bertujuan untuk menghentikan penyebaran virus Corona secara total (total war), selain social distancing, pemerintah pusat juga menghimbau pemerintah daerah untuk melakukan penyesuaian anggaran Dana Alokasi Khsusus (Menkeu) dan Dana Desa (Mendes) untuk keperluan dan antisipasi penyebaran virus Corona.

Selain itu, beberapa solusi taktis yang dilakukan oleh institusi pemerintah pusat, pemerintah daerah, TNI-Polri dan sektor swasta adalah himbauan untuk tetap DI RUMAH, penyemprotan massal disinfektan dan penundaan kegiatan-kegiatan yang berpotensi mengumpulkan massa dalam jumlah banyak. Tidak ketinggalan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia telah melakukan penundaan beberapa tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2020 yaitu pelantikan panitia pemungutan suara (PPS), verifikasi faktual syarat dukungan bakal calon perseorangan, pembentukan petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP), serta pencocokan dan penelitian data pemilih. Keputusan penundaan ini dilakukan karena pemerintah Indonesia telah menetapkan pandemic virus Corona sabagai bencana nasional.

Alihkan Pilkada 2020 ke 2021
Memang betul, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan momentum peralihan atau memperbarui periodesasi kepemimpinan di level daerah yang dijamin oleh konstitusi dan Undang-Undang Nomor Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Cukup jelas di Pasal 201 ayat (6) menyebutkan bahwa Pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada bulan September tahun 2020.

Ada beberapa pertanyaan yang muncul terkait dengan pelaksanaan Pilkada Tahun 2020.
Pertama, bagaimana dengan penyebaran virus Corona yang belum diketahui kapan berakhirnya, sebagaimana diketahui bahwa penyelenggara pemilihan kepalada daerah, Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Kabupaten dan Kota, dan Bawaslu Provinsi, Kabupaten dan Kota pasti akan melakukan kegiatan, kordinasi dan konsolidasi yang mengumpulkan massa dengan sesama penyelenggara baik di tingkat pusat maupun ke tingkat bawah. Dan tidak ada yang dapat menjamin bahwa diantara mereka tidak terjangkit Covid-19.

Lalu apakah semua tahapan bisa dilakukan dengan cara work from home (WFH) jawabannya tidak bisa, terutama Bawaslu karena tugas pengawasan tidak dapat dipantau melalui media online saja. Apalagi banyak daerah yang belum memiliki jaringan yang memadai.

Kedua, bagaimana dengan kualitas demokrasi atau pilkada apabila tetap dipaksakan dilaksanakan pada tahun 2020. Sudah dapat dipastikan akan miskin kualitas kaya “seremonial kertas”. Sebab ruang interaksi antara masyarakat dan peserta pilkada sangat terbatas “anjuran tetap di rumah” masih berlaku hingga saat ini dan belum ditahu kapan akan berakhir.

Secara konseptual kualitas demokrasi dapat dilihat dari partisipasi masyarakat yang tinggi, intensitas sosialisasi visi dan misi peserta pilkada dengan masyarakat (face to face), minimnya pelanggaran oleh peserta pilkada, sikap profesionalisme dan perlakuan yang adil oleh penyelenggara Pilkada, netralitas ASN, TNI, dan POLRI.

Ketiga, bagaimana dengan peserta pilkada, saat ini. Masih tahapan sosialisasi, perjuangan mendapatkan rekomendasi dari partai politik. Secara hukum semua masih berposisi sebagai bakal calon, belum ada penetapan oleh KPU Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk menjadi calon peserta Pilkada.
Keempat, apakah akan melanggar peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Pilkada, secara hukum tentu akan melanggar hukum tetapi bukan berarti tidak dapat dikesampingkan apabila ada kondisi yang sangat membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia (Virus Corona). Seperti yang dikutip di awal pendapat Marcus Tullius Cicero yang intinya bahwa keselamatan manusia adalah hukum tertinggi.

Hal ini juga selaras dengan teori hukum progresif yang lebih mengutamakan faktor dan peran manusia sebagai orang yang menggunakan atau memanfaatkan hukum, sebab hukum progresif juga menekankan pemahaman makna di atas pemahaman hanya sebatas teks dengan kata lain hukum progresif menempatkan manusia sebagai subjek hukum bukan menempatkan manusia sebagai objek hukum.

Solusi Hukum Tunda Pilkada Tahun 2020
Esensi bernegara dan berdaerah adalah kesejahteraan masyarakat (walfare society) dan kemakmuran rakyat, saat ini semua elemen negara dengan organ-organ yang dimiliki, mempunyai peran melalui tugas dan fungsinya masing-masing untuk mewujudkan tujuan negara. Namun saat ini, konsetrasi melawan dan menghentinkan penyebaran virus Corona tidak bisa ditawar dan dianggap biasa. Oleh karena itu. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan Rapublik Indonesia harus segara menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Penundaan Pelaksanaan Pilkada Tahun 2020 ke Tahun 2021.
Secara hukum penerbitan Perppu merupakan subjektifatas Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, kegentingan yang memaksa dapat dipengaruhi oleh aspek internal maupun eksternal negara yang meliputi aspek kebutuhan ekonomi, politik, pembangunan, jaminan kepastian hukum (legal certainty), bencana nasional bagi seseorang atau pemerintah. Hal ini juga sebagai bentuk antisipasi terhadap suatu kejadian yang bisa menimbulkan suatu akibat yang mengancam keselamatan warga dan negara.

Akhirnya, penulis ingin sampaikan, mari kita lawan Corona dengan melaksanakan himbauan pemerintah.