
By Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag
Dampak ekonomi akibat corona sangat kita rasakan. Ribuan orang yang kehilangan pekerjaan di kota-kota besar kembali ke kampung. Bisa saja, mereka juga membawa corona. Masjid yang menyediakan nasi bungkus diserbu orang. Sekadar nasi bungkus sudah amat berat bagi rakyat kecil. “Kami amat miskin, benar-benar tercekik,” kata profesional Jakarta yang sebelumnya hidup berfoya-foya.
Covid-19 menyadarkan kita, bahwa tak selamanya waktu itu siang. Dalam buku “Tafhim Surat Yasin, Penyemangat Hidup dan Penikmat Kematian” (p. 58-59), saya tulis, “Ketika siang, bersiaplah menghadapi malam. Ketika rizki lancar, menabunglah untuk persiapan masa sulit yang tak sebentar.”
Kita lalu teringat kisah Nabi Yusuf a.s dalam menangani kesulitan ekonomi di Mesir (QS. Yusuf: 43-49). Raja bermimpi, 7 sapi gemuk dimakan 7 sapi kurus. Raja bingung. Untung, napi yang sekamar dengan Yusuf dalam penjara memberitahu raja adanya si ganteng yang ahli tafsir mimpi. Di depan raja, Yusuf menjelaskan, “Itu artinya, kita harus menyimpan makanan selama 7 tahun untuk persiapan 7 tahun peceklik nanti.” “Etuju, dan kamu saya angkat sebagai Kabulog,” sahut sang raja dengan cepat.
Yusuf bertindak cepat: (1) mengelola hasil pertanian pasca panen (2) mengatur sirkulasi pangan (3) membangun gedung penyimpanan yang tahan lama, (4) kampanye hemat makan mulai rakyat, si kaya sampai pejabat, (5) mengurangi pembuangan sisa makanan, diganti dengan daur ulang. Misalnya, seperti di Jawa, nasi yang basi dijemur menjadi “karak.” Rakyat Mesir geleng-geleng heran pada aturan yang gila ini.
Benar, beberapa tahun kemudian, paceklik melanda semua negara timteng. Rakyat Mesir tetap berkibar dengan cadangan makanan ala Yusuf, bahkan bisa mengekspor ke negara-negara tetangga. Benar to? Mengapa Allah mengulang-ulang firmannya tentang siang dan malam. (Surabaya, 27-3-2020).