Usai salat subuh di masjid nabawi pagi ini, Gus Mus ditemui oleh beberapa tamu. Ada Gus Yahya Staquf bersama isteri; ada Mas Nahid, keponakan beliau yang baru saja menyelesaikan studi doktoral di Universitas Madinah beberapa hari lalu, beserta ayah dan ibunya. Sementara Mbak Admin Ienas Tsuroiya dengan khusyuk merekam momen keluarga ini, dengan memotret, dengan men-shoot.
Lalu terjadilah percakapan yang disela dengan gelak-ketawa di lobi hotel tempat beliau menginap itu, sambil menyantap sarapan kegemaran Gus Mus: shawarma atau kebab.
Setiap “ngobrol”, Gus Mus selalu bermurah hati menceritakan banyak hal tentang dunia kiai dan renik-reniknya. Gus Mus, seperti oernah saya katakan, adalah “the great story teller”, pengkisah dan pendongeng yang ulung. Lalu muncullah kisah kecil berikut ini mengenai tafsir al-Ibriz karya ayahanda beliau, Kiai Bisri Mustofa.
Inilah kisah itu.
Ada seorang kiai asal Kebumen yang mengajarkan tafsir al-Ibriz di Malaysia. Gus Mus tidak menyebut secara spesifik kota mana, dan saya juga tak merasa perlu bertanya lebih jauh perkara ini. Saya sedang ingin mendengarkan fan menikmati kisah Gus Mus, bukan seorang peneliti yang sedang melakukan investigasi yang “nrithik”, hingga harus menanyakan perkara “thethek bengek” yang kecil-kecil.
Suatu saat, kiai ini ingin sekali bertemu dengan pengarang tafsir al-Ibriz, tentu untuk “tabarrukan”. Berkunjunglah dia ke Rembang, dan bertemu dengan Kiai Mustofa Bisri alias Gus Mus. Demi melihat Gus Mus, kiai ini kaget bukan alang-kepalang.
“Lho, kiai ini mengarang kita tafsir al-Ibriz ini umur berapa? Kok panjenengan masih tampak muda sekarang. Pasti penjenengan masih sangat belia ketika mengarang tafsir itu,” kata kiai dari Malaysia itu keheranan.
Rupanya kiai ini mengira pengarang tafsir al-Ibriz adalah Kiai Mustofa Bisri, padahal mua’allif tafsir itu adalah Kiai Bisri Mustofa. Dia tak bisa membedakan yang mana Mustofa Bisri, yang mana Bisri Mustofa.
” Waaaah, sampeyan mesti keliru mengira saya ini Kiai Bisri Mustofa,” jawab Gus Mus. “Yang mengarang tafsir al-Ibriz itu ayah saya, Kiai Bisri Mustofa. Saya ini Mustofa Bisri.”
Bukan hanya sekali ini saja orang-orang keliru membedakan antara dua kiai ini: Kiai Bisri Mustofa sang ayah, dan Kiai Mustofa Bisri sang putera. Apa yang terjadi pada keluarga Gus Mus ini sangat lumrah dalam tradisi ulama Islam klasik: para ulama memakai nama secara selang-seling; nama ayah dipakai oleh cucu, sementara nama sang cucu dipakai oleh cucu sesudahnya, begitu seterusnya.
Begitulah, misalnya, Imam Ghazali yang masyhur itu memiliki nama dan silsilah seperti ini: Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Tradisi seperti ini memang tak dikenal di Jawa. Mbah Bisri (ayahanda Gus Mus) hendak mempertahankan tradisi ulama Islam klasik ini.
Sekian.
Lenas Tsuroiya
Jurnalis Citizen