KH. Muhammad Tidjani Djauhari, MA Pengasuh Pondok Pesantren Al Amien Prenduan Sumenep

 

Mengenal dan Mengenang Mujahid Gontor, Kiai Berkaliber Dunia: K.H. Muhammad Tidjani Djauhari, M.A.

Beliau adalah salah satu santri terbaik Pondok Modern Darussalam Gontor yang kemudian dijadikan menantu oleh K.H. Imam Zarkasyi. Ia lahir di Sumenep, Madura, pada tanggal 23 Oktober 1945. Pendiri Pondok Pesantren Al-Amin Prenduan ini menamatkan KMI-nya di Gontor pada tahun 1964. Studinya berlanjut di Universitas Islam Madinah hingga selesai S1 pada tahun 1969. Setelah itu, beliau melanjutkan program S2 di Universitas Malik Abdul ‘Aziz hingga selesai pada tahun 1973.

Selanjutnya, beliau menimba ilmu ke Mesir untuk program S3. Namun, hingga akhir hayatnya, beliau masih terdaftar sebagai kandidat Doktor bidang Ilmu Tafsir di Universitas Al-Azhar Mesir. Beliau belum sempat menyelesaikan desertasinya karena sering jatuh sakit hingga Allah memanggil beliau ke haribaan-Nya pada tanggal 15 Ramadhan 1428, bertepatan dengan tanggal 27 September 2007. Beliau wafat dengan tenang di rumahnya, di Pondok Pesantren Al-Amin Prenduan, didampingi sang istri, Nyai Hj. Anisah Fathimah Zarkasyi, beserta lima dari kedelapan orang putra-putrinya.

Selama masa hidupnya di luar negeri, terutama setelah menyelesaikan S2, beliau telah dipercaya memegang beberapa jabatan penting internasional di Rabithah al-‘Alam al-Islamy (Muslim World League) dari kurun 1974-1988. Setelah itu beliau kembali ke Tanah Air untuk mengembangkan pondok pesantren yang telah ia dirikan. Beliau menjadi Pimpinan Pondok Pesantren Al-Amien sejak tahun 1989 hingga akhir hayatnya.

Tekadnya untuk kembali ke pondok yang ia rintis itu sekuat tekad mertuanya, K.H. Imam Zarkasyi. Ceritanya, ketika beliau akan pulang, Sekjen Rabithah al-‘Alam al-Islamy, atasan yang menjadikannya sekretaris terpercaya selama puluhan tahun menginginkan beliau menjadi perwakilan Rabithah di Jakarta. Gajinya jauh lebih besar daripada anggota DPR atau menteri di Indonesia. Konon, gajinya bisa setingkat di bawah gaji Duta Besar Saudi Arabia. Namun, beliau bergeming. Pilihannya tetap satu, kembali ke pondok dan membesarkannya, sama seperti sang mertua, yang memutuskan kembali ke Gontor setelah beberapa lama mengabdi pada Departemen Agama, bersama K.H. Wahid Hasjim.

Terbukti, sepulang beliau ke Al-Amin, pondok kian maju. Santri pun bertambah sedikit demi sedikit. Kepercayaan umat meningkat. Kondisi itu ditopang dengan masih komunikatifnya beliau dengan petinggi Islam di Saudi, atau para penyandang dana yang tahu persis keikhlasan dan kaliber beliau; kapasitasnya sebagai seorang kiai. Obat gratis, umrah gratis, bahkan haji gratis bukan hal yang aneh. Bisa saja beliau mendapatkannya berkali-kali. Namun, Ustadz Tidjani lebih mementingkan pondok. Maka, sebuah masjid megah di kompleks Pondok Pesantren Al-Amin pun berdiri megah, dengan ornamen indah, rumit, dan tentunya juga mahal. Biayanya hampir Rp 1 milyar. Sesuatu yang tak mungkin disaingi pondok lain di lingkungannya.

Dalam aktivitas kemasyarakatan, K.H. Tidjani kian populer dan dituakan, dan akhirnya juga diketuakan oleh para ulama Madura serta kawasan tapal kuda. Berbagai pertemuan di forum ilmiah, baik di dalam maupun luar negeri ia datangi. Beliau dipercaya menjadi Koordinator Pusat Badan Silaturrahmi Ulama Madura (BASSRA) (1992), Ketua Forum Silaturrahmi Pimpinan Pondok Pesantren Alumni Pondok Modern Gontor (1992-2007), Dewan Pakar ICMI Jawa Timur (1995-2000), Pendiri Badan Silaturrahim Pondok Pesantren (BSPP) (1998), Pendiri Koperasi Jasa Usaha Bersama (KJUP-SPP) Jawa Timur (1998), Ketua II Majlis Ma’had ‘Ali Indonesia (2002), salah seorang Ketua MUI Jatim (2004-2006), dan Tim Penyusun Buku Pegangan Haji Departemen Agama.

Sebagai pribadi yang aktif, giat dalam bidang dakwah dan peduli dengan maslahat kaum muslimin, secara aktif beliau telah dipercaya untuk mengikuti 37 forum ilmiah internasional dan nasional, serta telah menyusun sekitar 51 karya ilmiah yang dipresentasikan di berbagai forum seminar. Bahkan, sebelum meninggal, beliau masih mampu menghadiri sejumlah muhasabah lokal, nasional, serta internasional, hal yang terus memotivasi beliau untuk bertahan hidup. Meskipun berkali-kali kondisinya menurun dan memaksanya masuk rumah sakit, beliau tetap tegar dan semangat beraktivitas memimpin pondoknya. Aktivitas internasional terakhir yang beliau hadiri adalah seminar di Universitas Islam Antarbangsa Kuala Lumpur Malaysia.

Bulan suci Ramadhan telah menyambut kedatangan seorang mujahid fi sabilillah di gerbang rahmat Allah. Selamat jalan, Ustadz…! Semoga Allah membalas segala amal kebaikan yang telah tertanam di dunia ini dengan memberikan tempat terbaik di sisi-Nya untuk engkau.

Husnu Mufid

Koresponden MM.com