Oleh *M. Anwar Djaelani*,
penulis buku “Jejak Kisah Pengukir Sejarah”.
Salahuddin Wahid masih menulis di KOMPAS pada 27/01/2020. Judulnya, “Refleksi 94 Tahun NU”. Lima hari setelahnya, Ahad 02/02/2020, beliau wafat. Banyak yang berduka atas kepergian putra dari KH Wahid Hasyim -mantan Menteri Agama- dan sekaligus cucu dari KH Hasyim Asy’ari yang pendiri NU.
*Jejak Baik*
Gus Solah -panggilan akrab Salahuddin Wahid- lahir di Jombang pada 11/09/1942. Pada diri yang berpenampilan teduh itu berpadu banyak “wajah” antara lain; ulama, aktivis, politisi, dan penulis/pemikir.
Untuk ukuran “keluarga pesantren”, beliau memiliki riwayat pendidikan yang terbilang unik. Jenjang SD sampai SMA ditempuhnya di sekolah umum, semuanya di Jakarta. Lepas itu, Gus Solah kuliah di ITB jurusan arsitektur. Dia lalu bergerak di bidang konstruksi. Aktivitas itu berakhir pada 1998, setelah krisis moneter menerpa negeri ini.
Keseluruhan hidupnya punya banyak warna. Misal, pernah menjadi anggota MPR, anggota Komnas HAM, dan pernah pula maju sebagai Calon Wakil Presiden. Beliau kembali ke Jombang ketika berusia 64 tahun, menjadi pengasuh Pesantren Tebuireng yang didirikan sang kakek.
Banyak yang bisa kita teladani. Tapi, di ruang yang terbatas ini, menarik jika kita intip sebuah fragmen saja yaitu minat dia terhadap aktivitas menulis sebagai media perjuangan. Berjuang lewat penyebaran pemikiran yang mencerahkan.
Dulu, KH Wahid Hasyim -sang ayah- dikenal cakap menulis. Belakangan, hal itu juga menurun ke Gus Solah. Hanya saja, aktivitas menulis beliau baru muncul setelah tak lagi berkegiatan di dunia konstruksi, yaitu pada 1998.
Saat itu, merasa di titik nol kehidupan, Gus Solah lalu lebih sering menghabiskan waktu dengan membaca dan belajar menulis. “Saya benar-benar belajar dari nol menulis, karena saya memang tidak terbiasa dan tidak berbakat,” tutur dia. Jujur Gus Solah berkisah, untuk menembus surat kabar kala itu, dirinya sampai 20 kali lebih mengirim tulisan. Setelah itu dia baru merasa mulai terbiasa (www.radarjombang.jawapos.com 12/03/2019).
Bahwa di awal-awal Gus Solah tertatih-tatih belajar menulis, itu diakui sang istri – Nyai Farida. Kata si istri, di awal-awal, Gus Solah terlihat sebagai orang yang tak pandai merangkai kata, terasa kaku sekali. Kesaksian ini menarik, karena disampaikan oleh seseorang yang di saat Gus Solah mulai belajar menulis sering bertindak sebagai korektor.
Gus Solah beruntung karena tergolong orang yang mau belajar dan bisa menerima kritik. Hasilnya, tulisan beliau lalu cukup sering menyapa masyarakat di sejumlah media cetak seperti di Jawa Pos, Republika, KOMPAS, Media Indonesia, Suara Karya, dan lain sebagainya. Tulisannya mengupas berbagai masalah aktual yang berkembang di masyarakat.
Kemampuan menulis Gus Solah cepat terasah karena tidak terlepas dari kegemarannya membaca sejak muda. Ada catatan, dalam satu bulan dia bisa membaca sampai sepuluh judul buku.
Di antara jejak tulisan Gus Solah ada pada buku berjudul “K.H.A. Wahid Hasyim dalam Pandangan Dua Putranya; Dialog Antara Gus Dur – Mas Solah Mengenai Pandangan Politik Keislaman Sang Ayah”. Buku itu terbit pada November 1998.
Buku yang diterbitkan Forum Nahdliyyin untuk Kajian Strategis (FNKS) itu menghimpun artikel Gus Dur dan Gus Solah yang dimuat harian Media Indonesia pada Oktober 1998. Di Kata Pengantar (h. xii), Saifullah Ma’shum menulis: “Di mata Gus Dur, KH A Wahid Hasyim dipercaya menganut pemikiran yang cenderung sekuleristik, sedangkan di mata Mas Solah sebaliknya, KH A Wahid Hasyim memiliki sikap dan pemikiran yang tidak sekuler”.
Gus Solah seperti yang dicatat www.nasional.tempo.co 02/02/2020, juga menulis beberapa buku, antara lain: “Negeri di Balik Kabut Sejarah” (2001), “Mendengar Suara Rakyat” (2001), “Menggagas Peran Politik NU” (2002), “Basmi Korupsi, Jihad Akbar Bangsa Indonesia” (2003), “Ikut Membangun Demokrasi, Pengalaman 55 Hari Menjadi Calon Wakil Presiden” (2004).
Lalu, apa isi tulisan terakhir Gus Solah yang dimuat KOMPAS, seperti yang disinggung di awal tulisan ini? Dia memulainya dengan narasi yang menyentuh, tak hanya bagi warga NU tapi juga untuk warga Muhammadiyah. Dia menulis: “Tidak banyak organisasi yang mencapai usia 100 tahun, apalagi berprestasi tinggi. Di Indonesia organisasi besar yang sudah berusia 100 tahun dan punya prestasi tinggi adalah Muhammadiyah”.
Lebih jauh, dia menulis: “Kita perlu merefleksi perjuangan panjang jama’ah (warga) dan jami’yah (organisasi) supaya bisa meneruskan dengan arah dan cara yang benar. Pesantren Tebuireng bekerja sama dengan Lembaga Seni Budaya dan Olahraga PP Muhammadiyah menggarap film Jejak Langkah Dua Ulama, berkisah tentang perjuangan KH Ahmad Dahlan dan KH M Hasyim Asy’ari. Film itu diharapkan bisa menggambarkan perjuangan kedua tokoh itu dalam mendirikan dua organisasi yang menjadi jangkar Indonesia”.
Demikianlah, setelah menyampaikan catatan kritis yang lumayan panjang atas perjalanan 94 tahun NU, dia menutup artikel dengan sebuah harapan: “NU sebaiknya tidak terlibat dalam politik praktis dan tetap berada di wilayah masyarakat madani. Sikap istikamah dan konsisten bergiat membuat NU bermartabat dan efektif menjadi jangkar bangsa Indonesia”.
Banyak yang kehilangan atas kepergian Gus Solah. Ahmad Rofiqi, pegiat INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations) adalah salah satunya. Dia-pun menulis: “Dua tokoh ulama Islam yang sangat diidam-idamkan umat untuk membawa perubahan di dua ormas terbesar di Indonesia, yaitu Prof. Yunahar Ilyas di Muhammadiyah dan Gus Solah di NU. Qodarullah, keduanya justru pergi di waktu yang hampir berdekatan”. Memang, seperti yang kita tahu, Prof. Yunahar Ilyas telah mendahului, wafat pada 02/01/2020.
*Terbaik, Terbaik!*
Selamat Jalan Gus Solah! Semoga engkau termasuk hamba yang Allah panggil dengan mesra di QS Al-Fajr 27-30: _“Hai jiwa yang tenang./ Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya./ Maka, masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku./ Dan, masuklah ke dalam surga-Ku”_. []