ROMO M. SEMONO SASTROHADIDJOJO ( Romo Herucokro Semono Pendiri Paguyuban penghayat Kapribaden) 1900 – 1981.

Sebelum tahun 1900, seorang isteri “padhemi” (isteri resmi), dibuang dalam arti diberikan kepada seseorang yang dinilai berjasa. Itu karena desakan seorang “selir” yang sangat dicintai. Hal demikian, tidak jarang terjadi pada jaman itu. Isteri “priyagung” itu bernama Dewi Nawangwulan. Kepergiannya, disertai seorang dayang (emban), bernama Rantamsari.
Dewi Nawangwulan, dibuang (“dhikendangake”), dan diberikan kepada Ki Kasandhikromo, yang sering juga disebut Ki Kasan Kesambi, seorang tokoh spiritual pada jamannya, yang berdiam di desa Kalinongko, Gunung Damar, Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Saat dibuang, Dewi Nawangwulan dalam keadaan mengandung. Lahir bayi yang diberi nama Semono, namun ibunya, Dewi Nawangwulan wafat. Tidak lama kemudian disusul Rantamsari, dayangnya juga meninggal dunia.
Keduanya dimakamkan di puncak Gunung Damar Purworejo.
Ki Kasandhikromo, tidak pernah mau menganggap, apalagi memperlakukan Dewi Nawangwulan sebagai isterinya. Tetap dianggap dan dia perlakukan sebagai “ratu” -nya . Demikian pula isterinya, Nyi Kasandhikromo. Semono dipelihara dan dibesarkan Ki Kasandhikromo. Di sekolahkan Sekolah Ongko Loro (SD yang 5 tahun tamat untuk pribumi). Semono yang lahir tahun 1900, harinya Jumat Pahing. Tidak ada catatan resmi tanggal dan bulannya. Hal biasa pada jaman itu. Semono, semasa sekolah, setiap hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, membolos. Bukan karena malas atau nakal, tetapi karena malu.
Pada saat matahari tepat di atas, saat semua orang tidak ada bayangannya. Semono bayangannya 12. Karena selalu jadi tontonan teman-temannya, jadi malu. Maka lebih baik membolos. Tamat SD itu, langsung diangkat jadi Guru Bantu. Suatu hari, pemuda Semono yang saat itu berumur 14 tahun (sudah dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa pada jaman itu), disuruh Nyi Kasan, mengambilkan minyak, di dalam salah satu bilik rumah mereka. Ternyata, di dalam bilik itu, tertidur lelap seorang gadis kemenakan Nyi Kasan. Dalam kelelapan tidurnya, kain yang dipakai tersingkap, jadi tubuhnya kelihatan terbuka. Pemuda Semono, melihat hal itu, “Mengkorok” (Berdiri bulu bulu di tubuhnya).
Semono lalu merenung. Mempertanyakan, apa sebenarnya yang menggerakkan bulu bulu tubuhnya itu?.
Renungan demi renungan, tidak menemukan jawab. Akhirnya Semono memutuskan, minta ijin Ki Kasan untuk pergi bertapa.

Semono yang berusia 14 tahun itu, bertapa di tepi laut Selatan, di Cilacap. Bekasnya (petilasannya) masih ada sampai saat buku ini ditulis.
Berupa dua rumpun bambu, di dalam kompleks Pertamina. Pertamina, sekalipun sudah berusaha dengan berbagai cara, tidak bisa membongkar kedua rumpun bambu itu.

Semono bertapa selama 3 tahun (1914 – 1917). Hasilnya mendapat “Cangkok Wijoyo Kusumo”. Berbentuk seperti bunga kering, berwarna coklat kehitaman. Kalau dimasukkan air, akan mengembang sebesar tempatnya.

Semono kecewa, karena bukan itu yang dicari. Beliau mendapat “wangsit” (ilham), untuk melanjutkan laku sampai tahun kembar 5, dan di timur nantinya akan dia temukan apa yang dia cari.
Baju yang dikenakan Semono selama 3 tahun bertapa, hancur. Dengan hanya bercawat dedaunan, Semono pulang dengan cara jalan malam. Jadi siang hari sembunyi dan malam harinya jalan, karena takut akan malu kalau bertemu orang.
Sampai di rumah, bukannya dirayakan, tetapi malah sudah disediakan lubang (“luweng”), lalu pemuda Semono oleh Ki Kasan, ditanam (“dhipendem”), selama 40 hari 40 malam. hanya diberi batang gelagah untuk bernafas. Dan setiap usai menanak nasi, Nyi Kasan mengepulkan asap nasi itu ke dalam lubang gelagah.

Selanjutnya, Semono sambil menjadi Marsose (sekarang marinir), berkelana, tetap menjalani laku. Kalau siang dinas, malamnya berendam di laut, menjala. Tidak pernah dapat ikan. Itu dilakukannya sampai tahun 1955.

Tanggal 13 malem 14 November 1955, kebetulan jatuh malem Senen pahing, pukul 18.05, banyak orang di Perak Surabaya, terkejut, menyaksikan rumah Letnan KKO ( sekarang Letnan Satu Marinir), terbakar. Tetapi setelah didekati , ternyata bukan api, melainkan cahaya. Bahkan ada kereta keemasan (kreto kencono) di langit, yang turun masuk ke rumah Letnan Semono). Di Jalan Perak Barat No. 93 Surabaya.

Peristiwa itulah yang dikenal sebagai mijilnya Romo Herucokro Semono.
Pernyataan beliau saat Mijil, menyatakan bahwa “Ingsun” Mijil, arso nyungsang bawono balik, arso nggelar jagat anyar. “Ingsun” (bukan aku) mijil hendak memutar-balikkan jagad (maksudnya jagat kecil, pribadi manusia, micro cosmos), dan hendak menggelarkan dunia baru (micro cosmos baru).
Artinya, kalau selama ini, kita selalu memperbudak Hidup, selanjutnya terbalik, kita sebagai manusia akan menjadi abdi-nya Sang Hidup.

Mulai saat itu, Romo Herucokro Semono memberikan siapapun yang menghendaki (tidak ada paksaan, tidak menakut-nakuti dengan cara dan jalan apapun), yang ingin Hidup bahagia (Tentrem), agar bisa mencapai “Kasampurnan Jati” (moksha) pada saatnya.

Romo Herucokro Semono, selanjutnya memberikan Laku Kasampurnan ini, sesudah dinas. Berlangsung sampai tahun 1960. Beliau menjalani masa pensiun sebagai Kapten Marinir.
Beliau lalu pulang ke Purworejo dan berdiam di Kalinongko dan Sejiwan, Loano, Purworejo (2 rumah kediaman).
Setiap hari, beliau menerima kedatangan rata rata 500 orang lebih.
Semua orang, pada waktu makan, diberi makan dan yang menginap, dengan bebas mencari tempat untuk tidur, di rumah beliau.

Tentunya berbagai keperluan orang yang datang. Mulai dari meminta pengobatan penyakit yang dokter sudah tidak sanggup mengobati, dengan seketika sembuh, memohon restu untuk sesuatu, dan lain-lain. Tetapi tidak sedikit yang datang untuk memohon bisa mengikuti Laku Kasampurnan (disebut mohon diperkenankan menjadi Putro).

Berdatangan orang dari berbagai penjuru dunia, melalui berbagai sebab (jalaran), yang akhirnya menjadi Putro.
Selama 25 tahun lebih (13 malem 14 November 1955 s/d 3 Maret 1981), Romo Semono melayani pagi, siang, sore, malam, dini hari, siapapun yang datang .
Semua yang datang, diperlakukan 100% sama. Beliau tidak pernah memandang orang dari perbedaan apapun. Derajat-pangkat, kekayaan kedudukan sosial, suku, bangsa, semua diperlakukan 100% sama.

Kalau beliau sedang memberikan petuah (“wulang-wuruk”), setiap orang mendengar menurut bahasanya sendiri sendiri. Yang orang Jerman mendengar beliau berbicara bahasa Jerman, yang orang Inggris mendengar beliau berbahasa Inggris, sedang penulis mendengar beliau berbahasa Jawa.

Romo Semono, setiap harinya, makan dua kali. Tetapi tiap kali makan, hanya satu sendok. Tidurnya, hampir tidak pernah. Hampir tidak pernah mandi, tetapi selain tidak berbau badan beliau, juga tidak ada daki (kotoran) di kulit beliau. Tubuh tetap sehat, gagah, tinggi besar.

Hal hal luar biasa, atau mujijat yang beliau tunjukkan, kalau ditulis semua akan menjadi satu buku tersendiri.

Beberapa contoh saja, misalnya sekitar tahun 1960, beliau naik sepeda motor militer, di atas laut Jawa, menyeberang ke Madura. Kalau mengemudikan mobil, tangan dan kaki beliau dilepas, dan mobil dikomando dengan ucapan. Beberapa kali orang menyaksikan beliau menghidupkan orang, yang telah dinyatakan mati oleh dokter, dan siap dikubur. Beliau sering berada di beberapa tempat pada saat yang sama, dan di tiap tempat beliau makan minum seperti biasa.

Setiap kali, sekalipun dihadapan beliau menghadap ratusan orang, beliau bercerita. Dan setelah selesai bercerita, ternyata semua pertanyaan dan persoalan yang ada di benak yang hadir, sudah terjawab semua.

Romo Semono wafat tanggal 3 Maret 1981, dan dimakamkan di Kalinongko, Loano, Purworejo. Romo Semono tidak dikaruniai anak. Tetapi meninggalkan ratusan ribu, mungkin jutaan Putro, yang tersebar di mana mana. Dan peninggalan beliau yang paling berharga adalah Sarana sarana Gaib, bagi mereka yang ingin Hidup bahagia (Tentrem), agar bisa menjalani dan mencapai “Kasampurnan Jati” pada saatnya masing masing.
Tinggalan beliau yang terakhir inilah yang sampai sekarang, dipelihara (“dhipepetri”) dan dilestarikan oleh Putro-putronya. Dilestarikan, dalam arti tetap dihayati dan diamalkan dan diberikan kepada siapa saja yang menghendaki, tanpa memandang perbedaan apapun yang ada pada manusianya. Jadi, sifatnya universal.

ROMO SEMONO disimbolkan dengan gambar Bapak Romo Heru Cokro atau Bapak M. Semono Sastrohadijojo ( 1900 – 1981 ) dalam kostum pakaian adat Jawa Tengah yang sedang mijil? Ajaran Manungal Panca Ningrat atau ajaran Manunggaling Kawulo Gusti adalah ajaran asli Tanah Jawa dan dikembangkan oleh Beliau sendiri Bapak Heru Cokro, sehingga kemudian menemukan ajaran-ajaran Panca Gaib yang meliputi :

1. Kunci
2. Asmo
3. Mijil
4. Singkir
5. Paweling
Beliaulah Bapak Heru Cokro yang pertama kali menemukan dan memijilkan kekuatan mikrokosmos menyatu dengan kekuatan makrokosmos dan Beliaulah yang pertama kali dapat memunculkan kekuatan ROMO SEMONO dalam pengertian sangat luas dan luar biasa dan ini adalah merupakan suatu prestasi instan dari ajaran spiritual budaya asli Bangsa Indonesia dalam abad modern ini. Dimana Beliau dapat memunculkan kekuatan ROMO yang ada didalam tubuh Beliau dan menyatu dengan kekuatan SEMONO.

Pada saat Beliau Mijil, Roh Suci Beliau menyatu dengan Tuhan Yang Maha Esa atau SEMONO. Sebagai manusia yang masih hidup, ajaran ini terkenal pada zaman dulu kala, para leluhur kita menyebutnya dengan ajaran moksartham jagadhita ya ca iti dharma, dan oleh karena itu gambar Beliau disimboliskan sebagai penuntun Putra-Putri ROMO yang mengikuti ajaran Beliau agar dapat mencapai tingkatan spiritual yang dimaksud tersebut diatas, juga sebagai penuntun dan sekaligus sebagai pelindung spiritual menuju ke jalan Tuhan Yang Maha Esa.

Romo Rogo adalah sebutan untuk Bapak M. Semono Sastrohadijojo ( 1900 – 1981 ). Beliaulah yang pertama kali menemukan dan mengembangkan ajaran Panca Gaib sehingga bisa sampai kepada kita semua.

Totok Budiantoro

Koresponden MM.com.