
Oleh : Gus Hafidh SKP Muchtar
Banjir dan longsor di Sumatera kerap disebut sebagai bencana alam.
Sebagian lagi menyebutnya sebagai takdir.
Padahal, jika kita jujur dan mau berpikir lebih dalam, banyak peristiwa itu tidak berdiri sendiri sebagai gejala alamiah, melainkan buah dari keputusan manusia yang salah arah—bahkan sering kali dilegalkan.
Di balik sungai yang meluap, ada hulu yang dirusak.
Di balik lereng yang longsor, ada tutupan hutan yang hilang.
Di balik pohon yang tumbang, sering kali ada izin yang diteken dan kesepakatan kekuasaan yang disahkan.
Maka pertanyaannya bukan lagi “mengapa alam murka?”,
melainkan: siapa dan sistem apa yang membuat kerusakan itu terasa sah?
________________________________________
Ketika Kerusakan Menjadi Legal
Kita hidup di zaman ketika kerusakan lingkungan tidak selalu terjadi secara sembunyi-sembunyi.
Ia hadir rapi dalam bentuk regulasi, dokumen, perizinan, dan stempel hukum.
Inilah yang dapat disebut sebagai kerusakan yang dilegalkan—sebuah kondisi ketika hukum tidak lagi berdiri sebagai penjaga kehidupan, tetapi berubah menjadi tameng kepentingan.
Kontrol atas informasi membuat publik kehilangan kejernihan.
Pengaruh politik menggeser kebijakan dari kepentingan rakyat menuju kepentingan segelintir elite.
Sumber daya alam beralih dari amanah bersama menjadi komoditas eksklusif.
Sistem hukum melemah dalam penegakan, tetapi kuat dalam pembenaran.
Pendidikan dan budaya perlahan menormalkan kerakusan sebagai kemajuan.
Dalam kondisi seperti ini, banjir bukan kecelakaan,
melainkan alarm keras yang terus diabaikan.
________________________________________
Solusi Teknis yang Terus Bocor
Tidak adil jika dikatakan tidak ada upaya penyelamatan.
Reboisasi dilakukan.
Normalisasi sungai dikerjakan.
Mitigasi bencana dirancang.
Namun krisis terus berulang.
Mengapa?
Karena sebagian besar solusi berhenti di hilir,
sementara akar masalah di hulu—cara pandang, orientasi hidup, dan ideologi pembangunan—tidak disentuh.
Solusi teknis tanpa perubahan nilai ibarat menambal perahu bocor,
sementara lubang-lubang baru terus dibuat.
________________________________________
KUGULANG: Dari Seruan Teknis ke Laku Hidup
Di kalangan pegiat lingkungan, kita mengenal seruan 3R: reduce, reuse, recycle.
Seruan ini benar, namun sering kali berhenti sebagai slogan.
Dalam ruang edukasi dan refleksi, saya menyederhanakannya menjadi KUGULANG: Kurangi, Gunakan, Daur Ulang—bukan sekadar pendekatan teknis, melainkan laku hidup yang menuntut komitmen dan konsistensi.
Kurangi berarti benar-benar menjadi manusia yang hemat dan qana’ah.
Menjauhi hidup boros, berlebihan, dan bermewah-mewahan.
Standarnya jelas: selama masih ada kemiskinan dan penderitaan ekstrem, maka dua pihak yang paling tidak layak hidup bermewah adalah pemimpin pemerintahan dan pemimpin agama, di semua level.
Keteladanan bukan pilihan, tetapi syarat kepemimpinan.
Gunakan berarti berhenti dari budaya sekali pakai lalu buang.
Menggunakan kembali apa yang masih layak adalah bentuk hormat kepada sumber daya dan bumi.
Hal sederhana—seperti membawa tas sendiri—adalah sikap ekologis yang nyata.
Daur ulang berarti mengelola limbah hingga kembali menjadi manfaat.
Mengubah sisa menjadi sumber daya, sampah menjadi keberlanjutan.
Bagi saya pribadi, amanah dari Bapak Guru Moh. Abdullah Muchtar bahwa “pemimpin harus berani menderita bersama anggota” bukan sekadar nasihat moral, tetapi prinsip ekologis.
Sebab kemiskinan dan kerusakan lingkungan adalah dua wajah dari krisis yang sama, saling menguatkan jika tidak diselesaikan secara utuh.
________________________________________
Mengapa Solusi Ideologis Tak Bisa Ditinggalkan
Solusi ideologis bukan berarti slogan kosong, apalagi indoktrinasi.
Ia adalah pembaruan cara manusia memaknai bumi dan kehidupannya.
Bahwa bumi bukan objek eksploitasi, melainkan amanah.
Bahwa pembangunan bukan soal seberapa cepat mengambil, tetapi seberapa adil menjaga dan membagi.
Bahwa hukum seharusnya melindungi masa depan, bukan melegitimasi kerakusan hari ini.
Di sinilah kita perlu taubat ekologis—kesadaran kolektif untuk berhenti, berbalik arah, dan memperbaiki hubungan manusia dengan semesta.
________________________________________
3R Ideologis: RUPA – RAKUS – RISALAH
Dalam diskursus yang berkembang, muncul pula kerangka 3R lain yang bersifat struktural dan ideologis:
RUPA
Keberanian membuka peta kerusakan apa adanya: izin, tutupan hutan, alur sungai, konflik lahan, dan korban manusia.
RAKUS
Kejujuran menelusuri bagaimana hukum, kebijakan, dan ekonomi sering kali menjadi jalan legal bagi kerusakan.
RISALAH
Poros nilai yang menegaskan amanah, adab terhadap alam, keadilan antargenerasi, dan keberanian melawan normalisasi kerakusan.
Tanpa RISALAH, RUPA hanya menjadi laporan.
Tanpa RISALAH, kritik RAKUS hanya menjadi kemarahan sesaat.
________________________________________
Menuju Gerakan yang Menyembuhkan
Krisis ekologis Sumatera—dan Indonesia—tidak cukup dijawab dengan teknologi semata,
juga tidak cukup dengan kemarahan.
Ia membutuhkan pendidikan kesadaran,
keteladanan hidup,
dan gerakan bersama lintas iman, profesi, dan generasi.
Setiap keluarga dapat memulai dari pola hidup.
Setiap sekolah dari kurikulum nilai.
Setiap komunitas dari aksi nyata menjaga lingkungan.
Setiap pemimpin dari keberanian berpihak pada kehidupan, bukan keuntungan sesaat.
Karena pada akhirnya, bumi tidak membutuhkan kita—
kitalah yang sepenuhnya bergantung pada bumi.
Jika hari ini kita masih menyebut krisis ekologis sebagai takdir,
maka esok kita hanya akan mewariskan kehancuran.
Namun jika hari ini kita berani mengakui kesalahan arah
dan kembali pada fitrah semesta,
maka taubat ekologis bukan sekadar wacana, melainkan jalan keselamatan bersama. Bismillah
——————————————————————-
GH | SPMAA Batam | Pulau Galang | Rabu, 23 Desember 2025
