Gus Dur dan Riyanto: Dua Jiwa, Satu Nyawa Kemanusiaan yang Abadi. .

 

Oleh H.Imam Kusnin Ahmad SH. Wartawan dan Aktivis Banser Senior Jawa Timur.

CIREBON– Apel Kebangsaan 10.000 Banser dan pemberian anugerah kemanusiaan Riyanto Awards 2025 digelar hari ini
23 Desember 2025 di
Halaman Masjid Syarif Abdurachman ( Komplek Kawasan Makam Sunan Gunung Jati ) di Desa Astana, Kecamatan Gunungjati, Kabupaten Cirebon.

Dua sosok yang tak pernah kering keringat melayani sesama kembali menjadi Ikon Kebangsaan : KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Riyanto.

Satu sebagai pemikir besar dan presiden yang membela pluralisme, satu lagi sebagai pemuda biasa yang rela mengorbankan nyawa untuk melindungi orang lain. Keduanya adalah teladan keberagaman yang masih hidup, menjadi suluh cahaya dalam kegelapan sekat dan penderitaan.

*Gus Dur: Bapak Pluralisme yang Berani Berlawanan Arus*

KH Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, bukan hanya presiden Indonesia ke-4, tetapi juga pelopor perjuangan kemanusiaan yang menjadikan nilai agama sebagai “rahmat semesta alam”. Selama hidupnya, beliau selalu berada di garda depan membela kelompok minoritas yang tertindas – mulai dari komunitas Tionghoa, umat Kristen Unitarian, hingga penganut agama dan kepercayaan lain yang terpinggirkan.

Ketika menjabat presiden, Gus Dur memimpin dengan prinsip inklusivitas, menciptakan ruang bagi setiap kelompok untuk hidup berdampingan tanpa diskriminasi. Beliau bahkan berani meminta maaf kepada komunitas yang mengalami pelanggaran HAM masa lalu, termasuk korban pembunuhan massal tahun 1965. Sikapnya yang seringkali kontroversial di mata sebagian masyarakat mayoritas menunjukkan konsistensinya dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan kebebasan beragama.

Di kancah global, Gus Dur membawa Indonesia sebagai negara yang dihormati melalui diplomasi berbasis nilai kemanusiaan. Beliau aktif mendorong dialog lintas agama dan budaya untuk menyelesaikan konflik di Palestina, Afghanistan, dan Filipina Selatan. Puluhan tahun setelah wafatnya, nilai-nilainya tetap relevan dalam menghadapi tantangan geopolitik dan intoleransi di dunia saat ini.

*Riyanto: Pemuda Banser yang Gugur Sebagai Pahlawan Toleransi*

Berbeda dengan Gus Dur yang dikenal sebagai tokoh nasional dan global, Riyanto adalah sosok pemuda sederhana yang meninggalkan jejak abadi melalui pengorbanan nyawanya. Lahir di Kediri, Jawa Timur, pada 19 Oktober 1975, ia bergabung dengan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) NU dan bekerja sebagai kuli timbang untuk membantu keluarga.

Kisah kepahlawanannya dimulai pada malam Natal 24 Desember 2000, ketika ia ditugaskan menjaga keamanan kebaktian di Gereja Eben Haezer, Mojokerto, di tengah ancaman teror bom. Saat sebuah bungkusan mencurigakan ditemukan di depan pintu gereja, Riyanto tanpa ragu memeriksanya dan menemukan kabel yang memercikkan api. Tanpa memikirkan diri sendiri, ia mengambil bom tersebut dan berlari menjauh untuk melindungi ratusan jemaat.

Tak lama kemudian, bom meledak di pelukannya, menghabiskan nyawanya pada usia 25 tahun. Pengorbanannya berhasil menyelamatkan banyak jiwa dan menjadi simbol keberanian, toleransi, dan solidaritas lintas agama di Indonesia.

*Film “Tanda Tanya”: Kenangan Riyanto yang Dinobatkan di FFI*

Kisah kepahlawanan Riyanto diabadikan dalam film Tanda Tanya yang dirilis pada 7 April 2011, disutradarai Hanung Bramantyo dan diproduksi oleh Dapur Film Production serta Mahaka Pictures. Film ini mengangkat tema pluralisme agama dan konflik sosial, dengan tokoh “Soleh” yang diinspirasi langsung dari Riyanto – seorang anggota Banser yang mengorbankan diri untuk menyelamatkan gereja dari bom natal.

Meskipun semula menimbulkan kontroversi, Tanda Tanya berhasil meraih pengakuan di kancah perfilman nasional. Pada Festival Film Indonesia (FFI) 2011, film ini memenangkan piala Citra untuk Pengarah Sinematografi Terbaik (diterima Yadi Sugandi) dan mendapatkan sembilan nominasi lain. Secara komersial, film ini sukses dengan lebih dari 550.000 penonton di bioskop, menjadi media untuk menyebarkan pesan toleransi dan kemanusiaan ke generasi lebih luas.

GP Ansor: Pelestari Warisan Kemanusiaan Keduanya

Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) selalu mengenang jasa Gus Dur dan Riyanto sebagai sumber semangat bagi generasi muda. Organisasi ini secara teratur menyelenggarakan acara yang bertujuan mengedukasi dan menginspirasi, seperti apel-apel Banser yang menjadi wadah menanamkan nilai toleransi, persatuan, dan gotong royong, serta kegiatan bakti sosial yang meliputi bantuan masyarakat tertekan, pembangunan prasarana, dan pelayanan kesehatan.

Untuk menghargai tokoh-tokoh muda yang mengikuti jejak Riyanto, GP Ansor memberikan Riyanto Award setiap tahun kepada individu atau kelompok pemuda yang menunjukkan prestasi luar biasa dalam bidang perdamaian, toleransi, dan kemanusiaan. Tahun ini, penghargaan diberikan kepada 18 kategori penerima, antara lain:

1. Aktivis Perdamaian dan Kemanusiaan (Akar Rumput)
2. Kepemimpinan Lokal Inklusif
3. Suara Keberagaman di Ruang Digital
4. Suara Budaya untuk Kemanusiaan
5. Praktisi Pendidikan Inklusif
6. Pengusaha Inklusif Berbasis Sosial
7. Penegak Hukum Penjaga Kerukunan Sosial
8. Media Kemanusiaan dan Keberagaman
9. Inisiatif Komunitas Lintas Iman
10. Pendukung Kesejahteraan Anak Yatim dan Dhuafa
11. Pelaku Bantuan Darurat dan Kemanusiaan
12. Advokat Hak Asasi Manusia Lokal
13. Pengembang Ekonomi Lokal Inklusif
14. Pelindung Lingkungan untuk Kesejahteraan Masyarakat
15. Praktisi Kesehatan Inklusif
16. Pendukung Hak Wanita dan Anak
17. Pemuda Penggerak Perubahan Positif
18. Pencatat Sejarah Kemanusiaan Lokal

*Warisan yang Harus Dijaga*

Gus Dur dan Riyanto, meskipun berbeda latar belakang dan cakupan kerja, memiliki semangat kemanusiaan yang sama kuat: cinta terhadap sesama tanpa memandang agama, suku, atau status. Gus Dur memberikan panduan melalui pemikiran dan kebijakan, sedangkan Riyanto menunjukkan contoh melalui tindakan heroik. Kedua tokoh ini adalah bukti bahwa kemanusiaan tidak hanya terletak pada kata-kata, tetapi juga pada keberanian untuk bertindak dan berkorban.

Dengan berbagai acara yang diselenggarakan GP Ansor dan peninggalan dalam film Tanda Tanya, warisan mereka terus diwariskan dan dijaga sebagai pondasi persatuan bangsa Indonesia – terutama bagi generasi muda yang akan menjadi pemimpin masa depan.*Imam Kusnin Ahmad*