Aceh Ingin Selamat Bencana Urusan Logistik Diserahkan PBB

 

Aceh-menaramadinah.com-Di beranda Istana dan ruang-ruang rapat berpendingin udara di Jakarta, slogan “NKRI Harga Mati” selalu diteriakkan dengan lantang dan penuh wibawa. Namun, suara itu sayup-sayup menghilang saat melintasi Selat Malaka, tenggelam di bawah gemuruh banjir dan longsor yang melumpuhkan 18 kabupaten/kota di Aceh.

Di sana, di tengah lumpur setinggi dada dan perut-perut yang kosong, bukan bendera kebesaran atau pidato pejabat yang dinanti. Yang dinanti adalah air bersih, susu untuk balita, dan kepastian bahwa hari esok mereka masih bisa makan.

Keputusan Pemerintah Aceh untuk secara resmi meminta bantuan UNDP dan UNICEF adalah sebuah tamparan kerasโ€”jika bukan pukulan KOโ€”bagi wajah birokrasi pusat. Ini adalah proklamasi diam-diam bahwa: “Jakarta, kami lelah menunggumu.”

๐—œ๐—ฟ๐—ผ๐—ป๐—ถ ๐—ฑ๐—ถ ๐—”๐˜๐—ฎ๐˜€ ๐——๐—ฒ๐—ฟ๐—ถ๐˜๐—ฎ
Sungguh sebuah ironi yang memilukan. Di satu sisi, negara ini sering kali alergi dengan “campur tangan asing” atas nama kedaulatan. Namun, ketika bencana menghantam serambi depannya sendiri, “kedaulatan” itu tampak gagap.

Ketika Bupati Aceh Besar berteriak bahwa warganya terpaksa mencuci beras dengan air sungai yang keruh, Jakarta masih sibuk berdebat soal status bencana. Apakah ini “Bencana Nasional” atau sekadar “Bencana Daerah dengan Skala Prioritas”? Perdebatan semantik ini mungkin penting bagi administrasi anggaran negara, tetapi sama sekali tidak mengenyangkan bagi pengungsi yang kedinginan.

Sementara Jakarta sibuk menimbang citra politik, Aceh memilih realistis. Mereka tahu, memanggil UNDP dan UNICEFโ€”dua lembaga yang punya memori otot (muscle memory) kuat pasca-Tsunami 2004โ€”adalah jalan pintas untuk bertahan hidup. PBB tidak butuh rapat koordinasi berjenjang untuk mengirim tablet penjernih air atau tenda darurat standar internasional. Mereka hanya butuh akses, sesuatu yang justru sering terhambat oleh birokrasi dalam negeri kita sendiri.

๐—Ÿ๐—ฎ๐—ฝ๐—ผ๐—ฟ๐—ฎ๐—ป “๐—”๐˜€๐—ฎ๐—น ๐—•๐—ฎ๐—ฝ๐—ฎ๐—ธ ๐—ฆ๐—ฒ๐—ป๐—ฎ๐—ป๐—ด” ๐˜ƒ๐˜€ ๐—ฅ๐—ฒ๐—ฎ๐—น๐—ถ๐˜๐—ฎ๐˜€ ๐—Ÿ๐—ฎ๐—ฝ๐—ฎ๐—ป๐—ด๐—ฎ๐—ป
Masalah terbesarnya bukan pada ketiadaan dana, melainkan pada mentalitas. Budaya laporan “Asal Bapak Senang” (ABS) membuat penderitaan di lapangan terfilter sebelum sampai ke meja pengambil keputusan di pusat.
Mungkin di layar monitor pusat, titik-titik bantuan terlihat sudah tersalurkan. Tapi realitasnya? Akses darat putus, jembatan hancur, dan logistik menumpuk di gudang karena ketiadaan armada yang mampu menembus medan. Di sinilah letak kegagalan imajinasi pemerintah pusat: mengira bahwa mengirim bantuan ke Aceh sama mudahnya dengan mengirim paket di jalan tol Jawa.

๐—ก๐—ฎ๐˜€๐—ถ๐—ผ๐—ป๐—ฎ๐—น๐—ถ๐˜€๐—บ๐—ฒ ๐—ฃ๐—ฒ๐—ฟ๐˜‚๐˜ ๐—ฑ๐—ฎ๐—ป ๐—ก๐˜†๐—ฎ๐˜„๐—ฎ
Langkah Aceh menggandeng tangan PBB bukanlah bentuk pengkhianatan terhadap nasionalisme. Justru sebaliknya, ini adalah upaya menyelamatkan nyawa rakyat Indonesia yang, tampaknya, sedang “di-nomor-dua-kan” oleh prosedur ibukota.
Pada akhirnya, bagi seorang ibu yang menggendong bayi di tenda pengungsian, tidak penting apakah susu dan selimut itu datang dari truk bertuliskan “Kemensos” atau mobil putih berlambang “UNICEF”. Yang penting anaknya selamat.

Jika pemerintah pusat tersinggung dengan hadirnya lembaga asing di tanah rencong, maka tanyakanlah pada cermin: Di mana arti “๐—›๐—ฎ๐—ฟ๐—ด๐—ฎ ๐— ๐—ฎ๐˜๐—ถ” ๐—ถ๐˜๐˜‚ ๐—ธ๐—ฒ๐˜๐—ถ๐—ธ๐—ฎ ๐—ฟ๐—ฎ๐—ธ๐˜†๐—ฎ๐˜๐—บ๐˜‚ ๐—ต๐—ฎ๐—ฟ๐˜‚๐˜€ ๐—บ๐—ฒ๐—ป๐—ด๐—ฒ๐—บ๐—ถ๐˜€ ๐—ธ๐—ฒ๐˜€๐—ฒ๐—น๐—ฎ๐—บ๐—ฎ๐˜๐—ฎ๐—ป ๐—ฝ๐—ฎ๐—ฑ๐—ฎ ๐—ฑ๐˜‚๐—ป๐—ถ๐—ฎ ๐—น๐˜‚๐—ฎ๐—ฟ, ๐˜€๐—ฒ๐—บ๐—ฒ๐—ป๐˜๐—ฎ๐—ฟ๐—ฎ ๐—ป๐—ฒ๐—ด๐—ฒ๐—ฟ๐—ถ๐—ป๐˜†๐—ฎ ๐˜€๐—ฒ๐—ป๐—ฑ๐—ถ๐—ฟ๐—ถ ๐˜€๐—ถ๐—ฏ๐˜‚๐—ธ ๐—ฑ๐—ฒ๐—ป๐—ด๐—ฎ๐—ป ๐—ฟ๐—ฒ๐˜๐—ผ๐—ฟ๐—ถ๐—ธ๐—ฎ?
Aceh telah memilih. Daripada mati menunggu stempel birokrasi, lebih baik hidup dibantu lembaga luar negeri. Karena kedaulatan tertinggi sebuah negara bukanlah pada benderanya, tapi pada keselamatan rakyatnya.

๐— ๐—ฒ๐—ป๐—ฎ๐—ด๐—ถ๐—ต ๐—๐—ฎ๐—ป๐—ท๐—ถ ๐—ฆ๐˜‚๐—ฐ๐—ถ ๐—”๐—น๐—ถ๐—ป๐—ฒ๐—ฎ ๐—ž๐—ฒ๐—ฒ๐—บ๐—ฝ๐—ฎ๐˜

Kepada Bapak Presiden Prabowo Subianto
Di tengah riuhnya laporan staf dan protokoler istana, izinkan kami memutar kembali ingatan pada janji paling purba republik ini. Janji yang ditulis oleh para founding fathers dengan tinta darah dan air mata dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4:
“…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…”

Mohon dimaknai kembali setiap katanya, Pak.
“Melindungi” bukan hanya soal menjaga perbatasan dari serangan musuh, tetapi juga menjaga nyawa rakyat dari ancaman kelaparan, penyakit, dan keterlantaran pascabencana.

“Seluruh tumpah darah” bermakna setiap jengkal tanah, termasuk tanah Aceh yang kini sedang luluh lantak.

Hari ini, ketika rakyat di Aceh harus menengadahkan tangan ke UNDP dan UNICEF untuk sekadar bertahan hidup, itu adalah sinyal bahwa negara sedang absen dalam menunaikan mandat konstitusinya.
Jika lembaga asing lebih sigap “melindungi” daripada negara sendiri, lantas di mana letak kedaulatan itu? Jangan biarkan amanat suci ini hanyut terbawa banjir, menyisakan rakyat yang merasa yatim piatu di negerinya sendiri.
Hadirkan negara, Pak. Bukan dengan pidato, tapi dengan perlindungan nyata. Karena itulah satu-satunya alasan Republik ini didirikan.