Angin Lalu di Meja Kekuasaan

Puisi Esai
Akaha Taufan Aminudin

Teringat wajah Harrison Ford—
yang dulu marah karena kritiknya soal hutan
diperlakukan seperti iklan lewat tengah malam:
didengar, tapi tidak dianggap.

*I.Harrison Ford—Marah*

Sumatra banjir lagi.
Longsor lagi.
Air mata lagi.
Tapi para pejabat tetap tenang,
seperti bencana hanyalah laporan rutin
yang bisa ditandatangani
sambil menyeruput kopi.

Di tengah semua itu,
aku teringat wajah Harrison Ford—
yang dulu marah karena kritiknya
soal hutandiperlakukan
seperti iklan lewat tengah malam:
didengar, tapi tidak dianggap.

Suara asing dari negeri jauh itu
justru lebih peduli daripada pejabat
yang lahir dan digaji dari tanah ini.

*II. Nyawa Rakyat*

Negeri ini bukan kekurangan doa—
kekurangan nyali untuk menolak
proyek yang merusak.

Negeri ini bukan kekurangan hujan—
kekurangan hutan untuk menahannya.

Dan pejabat yang selalu bilang
“ini bencana alam”
sebenarnya sedang menutupi kalimat sebenarnya:
ini bencana kebijakan.

Setiap banjir bandang
adalah tanda tangan seseorang.

Setiap longsor
adalah hasil persetujuan di ruang ber-AC.

Setiap rumah tenggelam
adalah bukti bahwa uang
lebih tinggi nilainya
daripada nyawa rakyat.

*III. Suara Hutan*

Harrison Ford hanya datang sekali,
tapi kemarahannya tetap menggantung
seperti awan hitam yang menolak pergi.

Ia melihat korupsi ekologis
lebih jelas daripada mereka
yang duduk di belakang meja kekuasaan.

Ia melihat pohon tumbang
seperti melihat keadilan yang dirubuhkan.

Ia mendengar suara hutan
lebih keras daripada telinga pejabat
yang hanya bisa mendengar
suara tepuk tangan saat kampanye.

*IV. Simpati Palsu*

Dan ketika permintaannya ditolak,
ketika pembicaraannya dianggap
angin lewat,
ia menatap tajam
seolah-olah berkata:

“Jika kalian tak peduli pada hutan,
alam akan mengurus kalian
dengan caranya sendiri.”

Hari ini firasat itu menjadi nyata.
Sumatra seperti tubuh yang disayat
bertahap—
air bah dari Aceh,
longsor dari Sumut,
banjir bandang dari Sumbar.

Dan pejabat masih sibuk
mengatur angle kamera terbaik
untuk menunjukkan simpati palsu.

*V. Diringkus atau Dibungkam*

Ini bukan tragedi semata—
ini hasil dari rakusnya kekuasaan.
Hutan digunduli demi proyek.
Tanah dijual demi jaringan politik.

Sungai dipersempit demi industri.
Dan rakyat diminta bersabar
atas kesalahan yang bukan
mereka lakukan.

Lebih brutal lagi,
ketika ada yang mengkritik,
mereka diringkus
atau dibungkam.

Karena di negeri ini,
orang yang menebang hutan dilindungi,
orang yang berteriak soal kerusakan
yang justru diperlakukan seperti kriminal.

*VI. Rakyat Kehilangan segalanya*

Di posko, rakyat tidur di lantai,
sementara pejabat tidur di hotel.
Relawan bekerja tanpa pamrih,
sementara negara sibuk pencitraan.

Jika ada yang bertanya:
“Di mana pemerintah?”
jawabannya sederhana:
di tempat yang paling terang cahaya kamera.
Bukan di tempat paling gelap
di mana rakyat kehilangan segalanya.

*VII. Bahasa Terakhir*

Puisi esai ini harus pedas,
karena negeri ini sudah terlalu lama
dimanjakan oleh kalimat
manis yang menipu.

Jika Harrison Ford yang jauh saja
bisa marah,
mengapa kita yang tinggal
di tanah yang sama justru diam?

Bencana bukan lagi peringatan—
ini tamparan keras.
Tamparan dari alam
yang sudah muak ditipu manusia.

Dan selama kritik terus
dianggap angin lalu,
badai akan terus
menjadi bahasa terakhir
yang digunakan bumi
untuk memaksa bangsa ini
belajar.

 

Jumat Pon 12 Desember 2025
Akaha Taufan Aminudin
*Komunitas Puisi Esai Jawa Timur (KPJ)*
Sisir Gemilang Kampung Baru Literasi SIKAB Himpunan Penulis Pengarang Penyair Nusantara HP3N Kota Batu Wisata Sastra Budaya SATUPENA JAWA TIMUR

 

Catatan:

 

Tentang Pelepasan 1,6 Juta Ha Hutan Era Menhut Zulkifli Hasan – https://news.detik.com/kolom/d-8246393/tentang-pelepasan-1-6-juta-ha-hutan-era-menhut-zulkifli-hasan