
Catatan Kecil : 17 Yani
Di awal abad ke-20, di sebuah dapur sederhana di Blitar, Jawa Timur, sejarah Indonesia sedang diasuh. Di sana, seorang anak lelaki bernama Kusno duduk di pangkuan seorang perempuan bernama Sarinah. Anak itu, yang kelak akan mengguncang dunia dengan namanya yang kelak dipilih sendiri Soekarno, sedang menerima pendidikan paling fundamental dari guru yang tak tercatat dalam buku sejarah mana pun: seorang pengasuh, pengasuh yang buta huruf, yang justru akan menjadi arsitek jiwa sang Proklamator.
Ini adalah kisah menarik tentang bagaimana kasih sayang yang paling sederhana dapat membentuk visi yang paling fenomena. Tentang bagaimana seorang perempuan dengan kain lurik sederhana melahirkan gagasan tentang Indonesia Raya.
Soekarno lahir di persimpangan dua dunia. Dari ayahnya, Raden Soekemi, ia mewarisi darah priyayi, akses ke pendidikan, dan ambisi intelektual. Dari ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, ia dapatkan disiplin Bali dan keteguhan hati. Tetapi ada satu dunia lagi yang tidak diwariskan oleh darah, melainkan oleh nasib: Dunia Sarinah.
Dunia ini berbau tanah basah, keringat, dan gula merah. Dunia di mana filosofi diajarkan melalui dongeng tentang Kantong Semar, bukan risalah Descartes. Dunia di mana logika dibentuk oleh musim tanam dan harga beras di pasar, bukan oleh dialektika Hegel. Sarinah adalah pintu gerbang Soekarno menuju realitas Indonesia yang sebenarnya Indonesia yang berjalan tanpa alas kaki, yang makan seadanya, yang tertawa meski hidupnya berat.
Di gendongan Sarinah, Soekarno kecil melakukan ekspedisi antropologis pertamanya. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri: Petani yang membungkuk di sawah dari subuh hingga petang, hanya untuk separuh hasilnya diambil oleh tuan tanah.
Lalu pedagang kecil di pasar yang tersenyum ramah meski dagangannya tak laku. Dan anak-anak sebayanya yang bermain dengan bola dari sabut kelapa, sambil perutnya keroncongan.
Ini adalah kursus lapangan tentang penderitaan dan ketangguhan rakyat. Sarinah tidak memberinya teori Marxis tentang proletar; ia memberinya wajah, nama, dan cerita tentang setiap orang yang mereka temui. Dari sinilah lahir populisme Soekarno yang otentik tidak dirumuskan di istana yang megah, tetapi direndam dalam kuah sayur asem di dapur.
Pelajaran Pertama dari Sarinah: “Untuk memimpin rakyat, kau harus tahu bagaimana rakyat menangis dan tertawa. Bukan dari laporan, tapi dari pelukan.”
Titik balik menari ini datang dengan kematian Sarinah. Ia meninggal sebagaimana ia hidup: sederhana, miskin, dan nyaris tanpa jejak. Kematian ini menjadi luka bakar di jiwa Soekarno. Sebuah luka yang tak pernah sembuh, karena ia adalah luka yang bernama: ketidakadilan.
Di sinilah terjadi transformasi metafisik. Soekarno dewasa, yang telah menjadi insinyur, pembaca berbagai buku, dan orator ulung, melakukan sesuatu yang jenius. Ia tidak hanya mengenang Sarinah; ia mentransfigurasikannya.
Sebagai Konsep: Sarinah menjadi personifikasi rakyat jelata, Marhaen yang hidup. Bukan teori abstrak, melainkan seorang ibu dengan wajah yang jelas. Lalu Soekarno mendedikasikan sebuah buku : Pada 1963, ia menulis “Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia”. Buku itu adalah monumen. Dengan itu, Soekarno mengangkat pengasuhnya dari ketiadaan sejarah ke pantun pemikiran nasional. Sarinah bukan lagi budak; ia adalah Muse dari Emansipasi. Dan Soekarno juga membangun sebuah toko Modernitas: Pada 15 Agustus 1962, diresmikanlah Toko Serba Ada Sarinah. Ini bukan sekadar toko. Ini adalah Janji yang Ditepati.
Bayangkan simbolismenya: Di satu sisi Jakarta, Soekarno membangun Monas sebagai tugu kemerdekaan yang menjulang ke langit, abstrak dan megah. Di sisi lain, di poros yang sama, ia membangun Sarinah sebagai pusat ekonomi kerakyatan yang membumi, konkrit, dan manusiawi. Dua monumen itu adalah dua sisi dari satu jiwa: Monas untuk bangsa, Sarinah untuk rakyat.
Di balik tindakan simbolis itu, ada filsafat yang dalam:
Soekarno membalik piramida sosial.Sarinah pelayan kelas paling bawah namanya justru dijadikan mahkota dari institusi modern. Pesannya revolusioner: “Yang selama ini di bawah, akan kuangkat ke atas. Yang melayani, akan dilayani oleh bangsa.”
Dalam politik sebagai Wujud Cinta:Bagi Soekarno,membangun bangsa bukanlah tugas administratif belaka. Itu adalah aksi cinta, cara membayar hutang pada seorang ibu. Setiap kebijakan, setiap pidato, setiap proyek mercusuar adalah surat cinta untuk Sarinah yang telah tiada, dan untuk semua Sarinah yang masih hidup. Dan modernitas Berkepribadian:
Dengan menamai department store modern dengan nama lokal yang sarat makna,Soekarno menancapkan panji: “Kita akan maju, tetapi dengan jiwa kita sendiri. Modernitas kita akan berbau kencur dan kemiri, bukan hanya beton dan baja.”
Namun, epik ini memiliki konflik abadi. Sarinah baik sebagai manusia maupun simbol selalu berjuang melawan ketiadaan.
Sebagai manusia, ia hampir hilang dari sejarah. Sebagai toko, ia hampir tenggelam oleh gelombang kapitalisme global. Tetapi justru di sinilah kejeniusan Soekarno terbukti: Ia menciptakan simbol yang tak bisa mati.
Setiap kali Sarinah Department Store hampir bangkrut, bangsa ini teringat. Setiap kali namanya disebut, kita bertanya: “Sudahkah kita memenuhi janji pada Sarinah?”
Revitalisasi Sarinah di abad ke-21 bukan sekadar proyek bisnis. Itu adalah ziarah nasional, upaya menghidupkan kembali api yang dinyalakan dari tungku dapur di Blitar. Ketika Sarinah menjadi pusat UKM dan produk lokal, ia sedang kembali ke akarnya: menjadi rumah bagi para Sarinah kontemporer perajin, pengusaha kecil, perempuan-perempuan tangguh yang membangun negeri dari keterbatasan.
Kini, setelah lebih dari seabad sejak Sarinah menggendong Soekarno kecil, kita semua adalah anak cucu dari kisah itu.
Kita mewarisi bukan hanya kemerdekaan, tetapi juga janji. Janji bahwa Indonesia ini dibangun untuk mereka yang seperti Sarinah: yang tangannya kasar, yang hidupnya pas-pasan, tetapi yang hatinya seluas samudera.
Soekarno telah memberikan kita formula kepemimpinan yang abadi:
“Pimpinlah dengan ingatan. Pimpinlah dengan hutang budi. Pimpinlah seakan-akan kau sedang membalas budi pada setiap rakyatmu yang paling miskin, karena mungkin saja, di suatu dapur di masa kecilmu, dialah yang memberimu makan dan cerita.”
Gedung Sarinah masih berdiri di Thamrin. Monumen beton itu hanyalah cangkang. Rohnya ada di mana-mana: di setiap pasar tradisional, di setiap warung kopi, di setiap rumah di mana seorang anak mendengar cerita dari neneknya.
Sarinah tidak mati. Ia telah menjadi jiwa dari janji kolektif bangsa. Setiap kali kita berjuang untuk keadilan, setiap kali kita memihak yang kecil, setiap kali kita membangun tanpa meninggalkan siapa pun kita sedang menghidupkan Sarinah.
Dan mungkin, itulah warisan terbesar Soekarno: Bukan Monas, bukan pidato, bukan even GANEFO. Melainkan sebuah nama sederhana yang ia angkat dari kegelapan, dan ia jadikan lentera abadi untuk membimbing bangsa ini. Sebuah nama yang berbisik pelan: “Jangan lupa. Selalu ingat dari mana kita datang. Dan untuk siapa semua ini.”
Dengan demikian, epik ini tidak berakhir. Ia terus ditulis oleh setiap kita yang memilih untuk tidak melupakan. Sarinah hidup dalam ingatan, dalam janji, dan dalam perjuangan untuk Indonesia yang sepenuhnya merdeka.
Batu, 3 Januari 2025
