*SIAPA SEBENARNYA “GURU” DIGITAL REMAJA?* *(Membongkar 6 Pilar Tanggung Jawab di Era AI)*

 

 

Di tengah pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), terutama dengan hadirnya Kecerdasan Buatan, Artificial Intelligence (AI), pelajar hari ini hidup dalam dua dunia, ruang kelas fisik dan ruang digital tanpa batas. Kemudahan akses informasi ibarat pedang bermata dua, ia menawarkan potensi belajar tak terhingga, namun di saat yang sama memicu krisis fokus, kesehatan mental, dan kerentanan terhadap hoax.
Ketika remaja terjerumus dalam dampak negatif seperti kecanduan gawai atau _cyberbullying_ , pertanyaan pun muncul: Siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab mendidik mereka? Jawabannya: bukan hanya satu pihak. Dibutuhkan kolaborasi dari enam pilar yang membentuk ekosistem pendidikan digital.

*1. Keluarga (Orang tua): Fondasi Batasan Digital*
Keluarga adalah filter pertama. Tanggung jawab utama orang tua adalah menetapkan batasan yang sehat dan menjadi teladan digital. Generasi muda akan kesulitan mengatur screen time, jika orang tua sendiri terus-menerus terpaku pada gawai. Komunikasi terbuka diperlukan untuk mencegah anak mencari kenyamanan di dunia maya, serta mendampingi mereka saat berinteraksi dengan konten sensitif atau menghadapi _cyberbullying_ .
Anak keasyikan main gawai sampai lupa belajar, lupa makan, lupa tidur, dan jarang mengobrol dalam keluarga. Dalam hal ini, orang tua dapat berperan menjadi polisi batas waktu dan teman ngobrol. Orang tua dapat menentukan jam wajib tanpa gawai, bisa dengan membuat kesepakatan bersama anak. Orang dapat sering bertanya, misal, “Kamu lihat apa di internet? Seru enggak?” Hal ini untuk membangun kepercayaan anak dengan orang tua.

*2. Sekolah: Pengajar Literasi Kritis*
Sekolah tak hanya harus mengintegrasikan IPTEK dalam metode pembelajaran, tetapi juga memasukkan Etika Digital dan Literasi Kritis ke dalam kurikulum. Guru harus melatih pelajar untuk memverifikasi sumber, membedakan fakta dan opini, serta menghindari plagiarisme digital yang merusak integritas akademik. Sekolah harus mengubah pola pikir dari sekadar menguji pengetahuan, menjadi mengajarkan cara bijak mendapatkan dan menggunakan pengetahuan.
Anak mudah percaya akan berita hoax, gampang menyontek, dan copy-paste jawaban tugas dari internet tanpa berpikir. Dalam hal ini, para guru di sekolah memiliki peran untuk menjadi pelatih berpikir kritis dan pendidik etika online. Para guru dapat mengajarkan cara memeriksa kebenaran berita sebelum membagikannya, memberikan tugas yang memerlukan analisis dan ide sendiri, bukan hanya mencari jawaban di Google.

*3. Pemerintah: Regulator dan Penegak Hukum*
Di tataran pemerintah, tanggung jawab pemerintah sangat besar. Pemerintah berkewajiban membuat dan menegakkan regulasi yang kuat untuk melindungi remaja dari konten ilegal dan kejahatan siber (seperti judi online, deepfake, konten yang direkayasa). Program literasi digital yang terstruktur di seluruh jenjang pendidikan harus didanai dan digalakkan, juga terkait dengan perlindungan terhadap korban anak di ruang digital.
Pemerintah di sini memiliki peran sebagai penjaga pintu dalam mengakses internet yang aman, membuat aturan tegas dan menghukum penyebar konten jahat yang merusak remaja.

*4. Perusahaan Media Sosial: Arsitek Lingkungan Online*
Platform digital seperti TikTok, Instagram, atau YouTube berperan sebagai arsitek lingkungan tempat remaja menghabiskan waktu. Mereka bertanggung jawab merancang algoritma yang sehat, bukan hanya demi keuntungan. Platform harus menyediakan alat kontrol waktu layar yang efektif, memprioritaskan informasi yang kredibel, serta lebih agresif dalam memoderasi konten yang merugikan mental dan sosial remaja.
Desain aplikasi dan algoritma seringkali membuat remaja ketagihan, stres karena membandingkan diri, dan mengganggu mental. Dalam hal ini perusahaan media sosial memiliki peran untuk mendesain lingkungan digital yang sehat, dengan mengembangkan fitur yang mengingatkan remaja untuk membatasi waktu dan konten yang bermanfaat, untuk beristirahat, dan terhindar dari pengaruh negatif, yang dapat mengganggu mental dan perilaku negatif, mengubah sistem agar konten yang mendidik dan positif lebih sering muncul, bukan hanya konten yang sensasional atau membuat cemas.

*5. Masyarakat & Komunitas: Jaring Pengaman Sosial*
Komunitas, LSM, dan organisasi pemuda berperan sebagai jaring pengaman sosial. Mereka dapat aktif mengadakan lokakarya _peer-to-peer_ (dari remaja untuk remaja) yang membahas keamanan siber dan etika daring. Komunitas lokal bisa menjadi tempat bagi remaja untuk menyalurkan energi secara positif di dunia nyata, mengurangi ketergantungan pada gawai.
Lingkungan di luar rumah dan sekolah yang tidak menawarkan kegiatan menarik, membuat remaja lari ke gawai. _Cyberbullying_ juga sering terjadi di lingkungan pertemanan. Dalam hal ini masyarakat/komunitas berperan dalam menjadi wadah kegiatan nyata dan sistem pendukung sosial, harus mampu mengaktifkan kegiatan komunitas, seperti olahraga, seni, bakti sosial, yang membuat remaja tidak melulu bermain ponsel. Mengadakan pertemuan antar orang tua dan pemuda untuk saling berbagi pengalaman tentang bahaya online.

*6. Remaja/Pelajar: Pilar Utama Kemandirian*
Terakhir, dan yang paling penting, adalah tanggung jawab pribadi sang pelajar, sang remaja itu sendiri. Tujuan dari seluruh ekosistem di atas adalah menjadikan mereka subjek yang berdaya, bukan objek. Remaja harus didorong untuk mengembangkan kemandirian digital, yaitu kemampuan untuk mengontrol gawai, menetapkan tujuan belajar yang jelas, dan menggunakan teknologi sebagai alat produksi, menciptakan karya-karya kreatif yang bermanfaat, bukan hanya konsumsi.
Remaja lebih sering menggunakan gawai untuk konsumsi (nonton, scrolling main game) daripada produksi (belajar, membuat karya, coding). Dalam hal ini remaja/pelajar harus mampu menjadi pemilik kendali diri dan pembuat konten positif, remaja/pelajar harus membuat tujuan sebelum membuka ponsel (misalnya: “Saya akan belajar 30 menit, lalu istirahat”), sadar bahwa gawai adalah alat bantu, bukan penguasa waktu.
Dengan kolaborasi yang sederhana dan jelas ini, diharapkan lingkungan digital bagi pelajar Indonesia bisa menjadi tempat yang aman dan memberdayakan.

*Yanti Devi Wijaya, Guru SMKN Wongsorejo dan Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi