KH.Abdurrahman Wahid (Gus Dur) : Biografi & Pemikirannya

Oleh : Nadia Fadhilatuz Zain, dkk
Judul di atas kami ambil dari buku : Biografi Gus Dur
Penulis : Greg Barton
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Tahun : 2006
Jumlah Halaman : 514
Tugas : Bahasa Indonesia
Dosen Pembimbing : Ustadz Yahya Aziz, S.Ag, M.Pd.I

Anggota Kelompok :
– galuh fariha uhadiyah m (06020925032)
– irfana fidyati furoida (06020925036)
– nadia fadhilatuz zain (06020925046)
– nazira mutia afsari (06020925055)

Menurut penulis dari buku yang kami baca:
1. Gus Dur seorang pemimpin yang bersahaja
Sejak pertama saya bertemu dengan Gus Dur, tokoh ini terasa hangat dan bersedia meluangkan banyak waktunya untuk saya. Hampir tak ter-lihat rasa tidak sabarnya menghadapi pertanyaan-pertanyaan saya yang agak janggal. Gus Dur tampak bersahaja seperti juga lingkungan di sekelilingnya, gedung Pengurus Besar (PB) Nahdhatul Ulama (NU) yang kelihatan kurang terpelihara.

2. Secara fisik, tentu saja Gus Dur terlihat payah sekali, tetapi yang benar-benar mencengangkan adalah pikirannya yang tetap jernih. Bagi saya, tubuh yang tergolek lemah tak berdaya dengan kepala tanpa rambut itu, adalah orang yang sama yang selama ini saya kenal. Saya memberitahu kepadanya bahwa seorang teman di Paris, Andree Feillard, telah memberitahu saya lewat surat elektronik bahwa ia telah mendengar musibah ini dan karena mengira bahwa Gus Dur telah berpulang maka ia bergegas pergi ke sebuah katedral yang kebetulan ada di sekitar tem-pat yang dilaluinya untuk memanjatkan doa. Saya berkata: “Anda tahu hal ini sangat tidak lazim, bukan? Andree adalah seorang cendekiawan Prancis-cendekiawan Prancis tidak ke gereja, apalagi berdoa.” Lalu, tanpa ragu Gus Dur cepat menjawab sambil sedikit tertawa: “Di Prancis, semua orang yang terbaik adalah seperti itu.

3. Yang paling penting untuk bisa memahami Gus Dur adalah selalu mencoba mencari apa yang tersirat dari yang tersurat. Pada umumnya tidaklah bijak untuk meremehkan Gus Dur karena pada dirinya itu selalu terdapat sesuatu yang lebih daripada apa yang kasatmata. Namun demi-kian, adalah juga tidak bijaksana untuk memahami apa yang diucap kannya secara terlalu harfiah. Sering kali, apa yang diucapkan Gus Dur bukanlah apa yang diketahuinya, melainkan lebih merupakan apa yang diinginkannya sebagai sesuatu yang benar. Anggapan atas dia, dia akan menjadi seorang optimis yang tak terkalahkan, Seburuk-buruknya, dia akan terlihat sebagai orang yang kurang tulus atau suka menipu, atau kedua-duanya. Setelah berusaha keras selama beberapa tahun untuk memahami Gus Dur, saya pun berkesimpulan bahwa berlawanan dari apa yang dipersangkakan orang. Gus Dur sebenarnya jarang sekali menipu, atau berlaku kurang tulus. Saya berkeyakinan bahwa kecenderungan yang diperlihatkan Gus Dur dalam pernyataan-pernyataannya yang memandang enteng masalah yang dihadapinya itulah yang meng gambarkan mekanisme ekstrovert dari kebiasaannya untuk menyemangati dirinya ketika menghadapi tantangan-tantangan yang benar-benar mengancamnya.

4. Sebagai seorang presiden, sifat ini sering kali merugikan dan menumbuhkan persepsi bahwa ia tidak memahami keadaan sulit yang dialaminya atau ia to kesan sama sekali tidak mempedulikan hal ini Sebaliknya, ia memang benar-benar orang yang selalu dapat bertahan dan lotus dari bahaya. Intimidasi dan tantangan-tantangan besar yang menghancurkan orang lain tidak berhasil menghancurkannya. Jika ia menganggap bahwa per-caya diri yang berlebihan ternyata sangat penting bagi dirinya agar dapat bertahan dan tidak menyerah, maka itu mungkin jauh lebih meng-untungkan daripada memendam kejengkelan. Bagaimanapun, bagi saya, hal ini tampaknya merupakan bagian tak terpisahkan dari sifat Gus Dur yang seperti “intan yang belum digosok”. Dalam istilah Jawa, sifat kasarnya lebih besar daripada sifat halusnya. Apa boleh buat, memang demikianlah cara Gus Dur bersikap.

5. Akan tetapi perlu diketahui bahwa Gus Dur dilahirkan pada bulan Sya’ban, bulan kedelapan dalam penanggalan Islam. Sebenarnya, tanggal 4 Sya’ban 1940 adalah tanggal 7 September. Gus Dur dilahirkan di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa Timur, di rumah pesantren milik kakek dari pihak ibunya, yakni Kiai Bisri Syansuri.

6. Pesantren adalah sekolah agama Islam yang menyediakan asrama bagi murid-muridnya. Sebuah pesantren dipimpin oleh seorang ulama, sebutan di Jawa dikenal dengan istilah kiai. Karena pendekatan terhadap agama Islam yang dilakukan dikalangan pesantren di Pulau Jawa pada hakikatnya bersifat tradisional dan hal itu telah berlangsung selama berabad-abad yang lampau. Oleh karena itu pesantren lebih menekankan pada tasawuf, maka seorang kiai sangat dihormati sebagai guru dan pembimbing rohani. Sejak didirikannya Nahdhatul Ulama (NU) pada tahun 1926, sebagian besar pesantren menjadi bagian dari jaringan longgar NU. Nahdhatul Ulama, yang berarti “kebangkitan para ulama”, adalah organisasi Islam tradisional yang terkuat, baik di Jawa sendiri maupun di luar Jawa, (tempat orang Jawa bermukim), seperti Sumatra Selatan dan Kalimantan Tengah. Kekuatan terbesar NU terletak di Jawa Timur, khususnya di kota Jombang, yang merupakan kota kelahiran keluarga Gus Dur, baik dari pihak ayah maupun ibu.