
JAKARTA – Peletakan batu pertama Pusat Kajian Islam Asia Tenggara KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi momen penting yang menandai kelanjutan semangat dan cita-cita besar sang tokoh nasional dan intelektual muslim ini.
Acara tersebut bukan sekadar seremoni, melainkan sebuah titik awal harapan besar terhadap kebangkitan nilai keislaman yang inklusif dan penuh kasih.
Prosesi yang dipimpin KH Mustofa Bisri (Gus Mus), Mustasyar PBNU, berlangsung khidmat dengan pembacaan “Al-Fatihah,” doa, dan shalawat yang dipanjatkan setiap kali ia mengambil adonan semen sebelum meletakkan batu bata pertama.
Doa itu mengandung harapan agar pusat kajian tidak hanya bermanfaat bagi umat Islam, melainkan juga seluruh umat manusia.
“Mudah-mudahan pusat kajian ini membawa kemaslahatan universal,” ungkap Gus Mus usai prosesi.Wakil Gubernur DKI Jakarta, H. Rano Karno, ikut ambil bagian dalam peletakan batu pertama sebagai bentuk dukungan atas cita-cita mulia tersebut.
Putri sulung Gus Dur, Ning Hj. Alissa Wahid, memaparkan bahwa pendirian pusat kajian berlandaskan pemahaman Gus Dur tentang keragaman masyarakat dan peradaban Islam yang dibawa oleh Walisongo sebagai pondasi persatuan dan kekuatan Islam di Asia Tenggara.
Acara ini juga dihadiri sejumlah tokoh penting, termasuk Menteri Agama periode 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin, mantan Menteri Luar Negeri 1999-2021 Alwi Shihab, keluarga, serta para sahabat Gus Dur.
Istri Gus Dur, Nyai Sinta Nuriyah Wahid, menjelaskan bahwa peletakan batu pertama ini merupakan tahap awal mewujudkan mimpi besar Gus Dur untuk membangun perpustakaan dan pusat kajian di lahan kosong belakang kediamannya di Ciganjur, Jakarta Selatan.
Sebelum wafat, Gus Dur berpesan agar tanah tersebut tidak dimanfaatkan untuk keperluan lain karena akan dijadikan pusat kajian. Namun, mimpi itu sempat tertunda setelah kepergiannya.
Semangat untuk mewujudkan cita-cita tersebut muncul kembali melalui dukungan sahabat Gus Dur, Gandi Sulistiyanto, yang merasa memiliki tanggung jawab moral.
Nyai Sinta Nuriyah pun mulai merancang proses perencanaan dan desain yang mencerminkan pemikiran Islam humanis, inklusif, dan progresif ala Gus Dur.
Pusat Kajian Islam Asia Tenggara ini bukan sekadar bangunan. Ia akan menjadi wadah strategis untuk memperkuat ilmu pengetahuan, memperdalam dialog antarumat beragama, serta menjadi mercusuar perdamaian dan toleransi.
Warisan Gus Dur mengajak kita untuk terus menegakkan nilai toleransi, kemanusiaan, dan keberagaman yang menjadi pilar kokoh Islam rahmatan lil ‘alamin.
Momentum ini menjadi panggilan untuk melanjutkan perjuangan Gus Dur, mempererat solidaritas sosial, membuka ruang dialog, dan menebarkan manfaat tanpa batasan perbedaan.
Semangatnya hendaknya menjadi cahaya yang menuntun langkah bangsa menuju masa depan yang lebih beradab dan penuh kasih.
Kehadiran para tokoh nasional dan pemuka agama mengingatkan kita bahwa warisan besar Gus Dur adalah milik bersama, yang harus dijaga dan diwujudkan demi kemaslahatan umat manusia luas.
Semoga pusat kajian ini menjadi simbol nyata tekad itu, menginspirasi semua pihak berperan aktif dalam mewujudkannya.
Warisan Gus Dur bukan kisah masa lalu, melainkan nyala api semangat yang terus membakar dalam setiap langkah kita menuju Indonesia dan dunia yang lebih baik.*Imam Kusnin Ahmad*
