Biografi KH. Idham Khalid Ketua Umum PBNU dan Pemikirannya.

Oleh : Alfa Nida Rahmadani dkk

Inilah tulisan kelompok kami berbentuk narasi biografi tokoh agama Indonesia mata kuliah public speaking yang dibimbing langsung oleh bapak Yahya Aziz dosen FTK UINSA.
Nama-nama kelompok kami :
Alfa Nida Rahmadani (06020123031)
Fedy Amry Muchamad Shobirin (06030123154)
Fatiha Nuria Ammarin (06040123099)
Putri Devi Maharani (06020123067)
Ardelia Nasywa Qothrunnada (06010123003)

Bayangkan seorang pemuda dari keluarga sederhana di pedalaman Kalimantan Selatan, lahir pada 27 Agustus 1921 di Satui, yang tumbuh menjadi raksasa dalam dunia keagamaan dan politik Indonesia. KH Idham Chalid, putra sulung dari H. Muhammad Chalid—seorang penghulu di Amuntai—mengawali perjalanannya dengan pendidikan pesantren dan madrasah yang membentuk jiwa santri yang tangguh. Sejak remaja, ia aktif di Gerakan Pemuda Ansor, cabang pemuda Nahdlatul Ulama (NU), sebelum akhirnya naik ke puncak kepemimpinan: terpilih sebagai Ketua Umum PBNU pada Muktamar ke-21 di Medan tahun 1956, dan memegang amanah itu selama 28 tahun hingga 1984—rekor terlama dalam sejarah NU. Bukan hanya ulama, Idham Chalid adalah politisi ulung yang menjembatani dunia pesantren dengan panggung nasional, menjabat Wakil Perdana Menteri di Kabinet Ali Sastroamidjojo II dan Djuanda, Menteri Kesejahteraan Rakyat, Menteri Sosial, hingga Ketua DPR dan MPR. Bahkan, di era Orde Baru, ia dipercaya Presiden Soeharto sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung, sambil tetap memperjuangkan suara umat Islam melawan ancaman seperti PKI.

Kiprahnya di NU bukan sekadar administratif; ia menguatkan fondasi organisasi terbesar Islam di Indonesia melalui kaderisasi, pendidikan, dakwah, dan pembangunan sosial yang berakar pada tradisi pesantren. Idham Chalid mendorong NU untuk aktif di kehidupan nasional tanpa kehilangan esensi Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) sebagai kerangka utama. Pemikirannya mendalam: ia melihat perjuangan ulama sebagai pengabdian sosial, bukan sekadar politik kotor, di mana santri moderat dan adaptif bisa menjadi teladan bagi masyarakat. “Ulama harus hadir di ranah publik,” katanya, “tapi tetap jaga nilai keagamaan agar politik tak merusak moral.” Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Kairo tahun 1957 menjadi pengakuan atas keilmuannya, sementara wafatnya pada 11 Juli 2010 di Jakarta di usia 88 tahun meninggalkan warisan abadi—bahkan diabadikan di pecahan Rp5.000 sejak 2016, serta dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui Keppres No. 113/TK/2011.

Dalam diri KH Idham Chalid, kita lihat harmoni sempurna antara iman santri dan tanggung jawab negara: seorang pemimpin yang membuktikan bahwa pengabdian keagamaan bisa selaras dengan perubahan sosial-politik, menginspirasi generasi NU hingga kini untuk tetap relevan di tengah arus modern. Warisannya? NU yang kokoh sebagai kekuatan moral bangsa, dan pesan abadi bahwa martabat ulama tak tergantung darah keturunan, tapi pada hati yang tulus berbakti.