Film Pangku dan Kegundahan Masyarakat Indramayu

 

Oleh : Sujaya, S. Pd. Gr.
(Penasihat DPP ASWIN)

Sebagai orang Indramayu saya merasa gundah terkait peluncuran film Pangku (2025) yang disutradarai oleh Reza Rahadian, film dengan latar sosial-budaya di wilayah Pantura (termasuk wilayah seperti Indramayu/Eretan).

Saya akan mencoba menanggapi dari tiga sudut: (1) ungkapan dan kritik sosial terhadap pemilihan tema & lokasi, (2) komentar dari perspektif ahli budaya/populer, dan kemudian (3) menempatkan juga perspektif kritik yang mungkin bisa datang dari tokoh lokal seperti Dudung Badrun SH. MH. (Advokat & Pengamat Lokal Indramayu) — dengan argumen yang relevan dari beliau untuk membangun “apa yang mungkin” menjadi sudut pandangnya.

*1. Ungkapan dan kritik sosial terhadap film dan lokasi*

*Tema dan Realitas Sosial yang Diangkat*

Film Pangku mengambil latar wilayah Pantai Utara Jawa (Pantura) dan mengangkat fenomena warung kopi “kopi pangku” (di mana pembeli minum kopi sambil memangku perempuan yang menyajikan) sebagai basis cerita.

Cerita ini menggambarkan perempuan dalam kondisi “tidak punya banyak pilihan” di ruang sosial yang keras: misalnya dikatakan bahwa “keputusan-yang kadang terasa salah di mata orang lain. Padahal, keputusan tersebut adalah upaya untuk terus melanjutkan hidup.”
Artinya film ini mencoba membuka sisi (marginal) dari kehidupan masyarakat pesisir/“garis Pantura” yang selama ini kurang banyak terekspos dalam perfilman mainstream.

*Kritik: Mengapa sisi negatif yang diangkat?*
Saya menyampaikan: “Sedihnya, mengapa yang diangkat hal yang negatif. Apa ini daya tarik dari Indramayu? Lagi-lagi yang di ulik adalah hal yang bersifat sisi negatif, demi popularitas dan keuntungan material bagi artis dan produser.”

Dari sudut sosial budaya, ada beberapa hal yang bisa dikritisi:

Seleksi topik minim “valorisasi positif”: Jika sebuah film mengambil setting di Indramayu/Eretan atau wilayah Pantura, bisa dipertanyakan mengapa yang diangkat adalah fenomena keseharian yang terpinggirkan dan bernuansa stigma (kopi – pangku) daripada misalnya dinamika sosial/prosperitas/kearifan lokal yang mungkin lebih membanggakan.

Hal ini dapat memperkuat stereotip “daerah Pantura = masalah sosial / sisi bawah” dalam imaji publik.

Potensi stigmatisasi tempat: Ketika sebuah film yang cukup dipromosikan sebagai “angkat cerita daerah Pantura/Indramayu” memakai narasi yang fokus pada sisi susah, mungkin secara tak langsung publik luar daerah akan mengasosiasikan Indramayu/Eretan dengan “kemiskinan”, “keputusan hidup yang dipertaruhkan”, “praktik sosial yang kontroversial”. Ini bisa berdampak negatif dalam branding atau persepsi masyarakat terhadap daerah tersebut.

Pertanyaan tentang “representasi”: Apakah film ini memberi ruang bagi masyarakat lokal untuk ikut mendeskripsikan dirinya atau hanya menjadi objek observasi pihak luar? Apakah dalam pengambilan gambar/peran lokal dilakukan partisipasi yang memadai agar tidak sekadar “orang lain datang, melihat, mengambil cerita kita, lalu pergi”?

Motif industri dan logika pasar: Saya juga membahas apakah ini bagian dari “city (atau regional) branding” — di mana sebuah daerah dijadikan lokasi menarik untuk film karena “ekso­tisitas”, “keunikan masalah”, “kontroversi” — bukan karena pengembangan budaya lokal yang sehat. Ada kekhawatiran bahwa industri film memilih topik yang “sensasional” atau “problematik” karena ia menjual, bukan karena ia membangun.

*Apa bisa ada sisi positif dari pengangkatan masalah sosial?*

Ya — secara teori sosial budaya, memotret realitas “yang sering tak terlihat” termasuk marginalitas, kemiskinan, gender, bisa punya nilai penting: menggugah kesadaran, membuka dialog publik, memberi suara pada kelompok yang kurang terdengar. Film Pangku sendiri menurut beberapa liputan menyebut bahwa film tersebut ingin tidak hanya mengasihani tetapi menunjukkan momentum untuk “melangkah lebih baik lagi ke depan”.

Jadi dari sisi ide, ada niat baik: memperlihatkan realitas perempuan, perjuangan hidup, tradisi yang jarang disorot.

Namun, masalahnya menjadi: apakah dalam praktek dan dalam penerimaan lokal, dampak itu positif atau malah memperkuat stigma.

*Konteks Branding & Ekonomi Kreatif*

Ketika sebuah daerah (“Indramayu”, “Eretan”, “Pantura”) dipilih sebagai lokasi syuting dan ceritanya menyentuh sisi “masalah” – ada dua efek yang bisa muncul:

*Positif* : meningkatnya perhatian terhadap daerah, pengembangan perfilman lokal, wisata film, spotlight ke kearifan lokal.

*Negatif:* daerah sering terperangkap dalam narasi “masalah” yang terus dikonsumsi secara eksternal, sementara masyarakatnya mungkin merasa “diperdaya” oleh narasi luar atau tak diberi manfaat yang jelas.

Jika keuntungan material lebih banyak diterima oleh produser/artis ketimbang masyarakat lokal atau pembangunan kapasitas di daerah itu—maka wajar jika saya merasa gundah dsn mengemukakan kritik ini.

*2. Pandangan ahli budaya populer / sosiologi budaya*

Dari kajian budaya populer dan representasi media bisa diungkap beberapa poin relevan:

Budaya populer/industri budaya sering memilih “yang menarik”, “yang berbeda”, “yang konflik” karena itu menarik bagi penonton dan pasar. Dalam konteks film nasional Indonesia, daerah‐tertinggal atau tradisi “unik” sering dijadikan sudut yang “eksotik”. (lihat riset bahwa budaya populer kadang menjadi komoditas industri budaya).

Namun, problemnya adalah representasi yang “dangkal” atau “mengulang stigma”. Studi menyebut bahwa ketika budaya lokal dikonsumsi secara massal, terdapat risiko reduksi nilai budaya atau stereotip.

Dalam konteks city‐branding atau regional branding melalui film, jika tidak hati-hati maka daerah bisa “terjual” sebagai lokasi masalah, tapi tidak ikut mendapatkan manfaat pembangunan kapasitas industri lokal, perbaikan ekonomi atau perubahan persepsi yang membangun.

Ada juga konsep bahwa film bisa menjadi ruang kritik sosial — memotret relasi kekuasaan, ketimpangan, marginalisasi. Jika film memang berkualitas dalam narasi dan produksi, maka bisa jadi alat perubahan. Namun jika hanya “mengambil cerita negatif” sebagai hiburan, maka kritik itu bisa berubah menjadi eksploitasi.

Dengan demikian, saya perlu menjustifikasi dari perspektif sosiologi budaya: bahwa memilih tema masalah bukan salah, tetapi bagaimana representasi dan relasi dengan masyarakat lokal yang terangkat.

3 *. Pendekatan dari perspektif Dudung Badrun, SH. MH* .

Dudung Badrun, DH. MH. adalah advokat asal Indramayu yang aktif mengkritik berbagai kebijakan publik serta budaya lokal dari sisi integritas, pembangunan daerah, dan mentalitas masyarakat. Contoh: ia menyebut bahwa korupsi sudah membudaya dan budaya hukum masih bermasalah di Indonesia.

Ia juga mengkritik proyek pembangunan di Indramayu yang menurutnya hanya “anak cicit transaksi politik” dan tidak membawa manfaat ke publik.

Berdasarkan hal itu, Dudung Badrun memberikan komentar terhadap film Pangku dan pemilihan Indramayu sebagai lokasi, kemungkinan besar ia akan berargumen seperti ini:

“Mengapa cerita yang diangkat adalah sisi yang ‘masalah’ dan bukan sisi yang membangkitkan potensi Indramayu? Apakah ini memajukan masyarakat atau sekadar mengeksploitasi sisi negatif demi estetika film dan keuntungan industri?”

“Kita sebagai masyarakat Indramayu harus diperhatikan: apakah proyek film ini memberikan kesempatan pekerjaan bagi lokal, pelatihan kru lokal, peningkatan kapasitas lokal? Atau hanya mengambil setting dan kemudian masyarakat lokal hanya menjadi background?”

“Branding sebuah daerah tidak hanya soal film, tetapi soal pembangunan ekonomi, sosial, budaya yang inklusif. Bila film hanya menyoroti sisi sulit atau marginal, maka perlu diimbangi dengan upaya konkret untuk memperbaiki kondisi itu – bukan sekadar menjadikannya tema hiburan.”

“Seluruh pelaku industri kreatif yang menggunakan nama Indramayu/Eretan harus ada tanggung-jawab sosial terhadap masyarakat lokal: supaya cerita itu bukan memperkuat stigma, tetapi mengangkat kearifan lokal, memunculkan harapan, menciptakan manfaat.”

Dengan kata lain, Dudung Badrun akan mengedepankan aspek keadilan representasi, kemanfaatan lokal, dan perbaikan struktural—bukan hanya estetika.

*4. Kesimpulan dan Rekomendasi*

Berdasarkan pertimbangan di atas, berikut beberapa kesimpulan dan rekomendasi:

Tidak salah sebuah film memilih tema yang “negatif” atau sosial sulit: ini bisa relevan dan penting sebagai panggilan sadar. Tapi sangat penting bahwa tema itu ditangani dengan sensitivitas, kolaborasi dengan masyarakat lokal, dan bukan eksploitasi.

Untuk daerah seperti Indramayu/Eretan, jika film menggunakan settingnya maka pihak produser, sutradara, dan pemangku daerah harus memastikan bahwa:

1. Ada manfaat nyata untuk masyarakat (misalnya ekonomi lokal, partisipasi warga, pelatihan, spotlight positif)

2. Representasi tidak memperkuat stigma atau menampilkan masyarakat sebagai “objek penderita” belaka, tetapi sebagai agen yang punya kemampuan, daya tahan, dan potensi.

3. Branding daerah melalui film mesti digabungkan dengan strategi pembangunan budaya lokal, bukan hanya hiburan.

Bagi publik/pemerintah daerah: perlu mengawal agar industri kreatif yang masuk ke wilayahnya membawa “nilai tambah”, bukan hanya keuntungan bagi artis/klip/film semata. Pemerintah lokal bisa memanfaatkan kesempatan film semacam ini untuk memperkuat narasi positif, misalnya dengan program pendidikan film lokal, promosi pariwisata kearifan lokal, kerjasama produksi lokal, dan seterusnya.

Bagi penonton dan kritikus: penting untuk menonton film dengan pikiran kritis — mempertimbangkan bagaimana tema, lokasi, dan representasi dilihat dari sudut masyarakat lokal, bukan hanya sebagai tontonan.

Indramayu. 22/10/2025