Makna Barokah & Belajar Adab di Pesantren

Oleh : Isa Tsalisatul Mufidah, Mahasiswi PAI FTK Uinsa/PLP di SMP Nurul Huda Surabaya

Ilmu di Pelajari Adab di Junjung Tinggi
Dalam tradisi Islam, adab selalu didahulukan dari ilmu. Imam Az-Zarnuji dalam kitabnya yakni Ta‘lim al-Muta‘allim menukil perkataan Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه:
“مَنْ عَلَّمَنِي حَرْفًا فَأَنَا لَهُ عَبْدٌ”
Kata “hamba” dalam maqolah ini bukan berarti budak, melainkan simbol penghormatan kepada guru. Karena ilmu itu mulia, maka pengajarnyapun harus dimuliakan. Sayangnya, makna luhur ini disalah pahami.

Tayangan Trans7 menafsirkannya secara literal, seolah santri adalah budak fisik. Padahal maksud para ulama adalah ketundukan hati dan adab terhadap guru. Begitu pula dengan barokah banyak yang meragukannya karena tak terlihat, saya pribadi sering mendapati pertanyaan dan ejekan “emange yoopo seh rupane barokah”. Padahal barokah sendiri bukan untuk dipahami dengan logika, melainkan dirasakan dalam manfaat ilmu dan tenangnya jiwa. Maka benarlah, ilmu tanpa adab melahirkan kesombongan sedangkan adab yang lahir dari ilmu menghadirkan barokah dalam kehidupan. Saya juga seorang santri, saya dan adik saya dulu pernah mondok di suatu pesantren yang mana pesantren tersebut sering di anggap oleh sebagian orang sebagai “pondok yang memperbudak santrinya.”

Katanya, santri di sana disuruh bekerja tanpa henti, hanya untuk kepentingan pribadi seorang kyai. Padahal, mereka yang berbicara seperti itu belum pernah merasakan hidup di pesantren, apalagi memahami makna di balik setiap pengabdian yang kami jalani. Kyai saya bukan sosok yang hanya memerintah.

Seringkali saya mendapati Beliau menyapu ndalemnya sendiri, bahkan setiap hari harus memasak untuk para santrinya, selain itu beliau sering lebih dulu bangun hanya untuk memastikan kami makan dengan layak dan mendoakan kami tiada henti. Kami para santri, justru merasa malu jika tidak ikut membantu. Bukan karena takut, tapi karena kami tau itulah cara kami belajar adab, belajar tulus, dan ngalap barokah dari sosok yang kami hormati.

Mereka yang menilai dari luar hanya melihat aktivitasnya, bukan niat di dalamnya. Padahal di pesantren kami tidak sedang diperbudak, melainkan kami sedang belajar bagaimana cara hidup sederhana, berbakti, dan beriman dengan penuh hormat.