KH. Jalaludin Rahmat, Intelektual Islam Yang Berani Mengambil Resiko

Oleh : Muhammad Shidiq.

Amien Rais, diantara tokoh Muhammadiyah yang kagum dengan pemikir-pemikir Syiah. Ia sampai menerjemahkan buku Ali Syariati, intelektual Syiah berkebangsaan Iran dan memberi epilog dalam terjemahan buku Syaikh Muhammad Husain Fadhlullah, ulama Syiah dari Lebanon. Saat ke Iran, ia kembali mengungkapkan kekagumannya di depan pelajar-pelajar Indonesia di Iran, dan menyebut Iran adalah gudangnya intelektual Islam.

Amien Rais, bukan satu-satunya tokoh Muhammadiyah yang mengagumi keluasan horizon ilmu pemikir-pemikir Syiah. Jalaluddin Rakhmat, satu diantaranya. Ia adalah tokoh Muhammadiyah pimpinan wilayah Jawa Barat disaat muda. Bedanya dengan Amien Rais, yang hanya mengagumi di permukaan. Jalaluddin Rakhmat tenggelam terlalu dalam. Bahkan memang sampai melakukan pengembaraan intelektual ke Qom Iran untuk mempelajari filsafat Islam dan irfan. Seandainya, Jalaluddin muda masih tetap aktif sebagai aktivis Muhammadiyah, tidak menutup kemungkinan dia mencapai puncak karir sebagai pimpinan Muhammadiyah. Haedar Nashir, ketua umum PP Muhammadiyah saat ini memberi kesaksian, saat dia mengikuti training centre pemuda Muhammadiyah, Jalaluddin Rakhmat adalah master of training waktu itu. Dia meninggalkan peluang karir yang cemerlang, demi idealisme yang dibangun di atas pondasi keyakinannya yang kuat. Dia seolah berkata, “Adakah yang lebih nikmat dari berpeluh untuk memperjuangkan panggilan hati nurani?”.

Bukan sekedar menikmati gagasan-gagasan brilian pemikir Syiah, tapi juga datang langsung ke jantung pendidikan Syiah di Qom dan di Najaf. Ia jujur mengakui, bejibun dan tanpa batasnya lokus keilmuan Syiah bersumber dari khazanah Ahlulbait. Ia menerjunkan diri ke dalamnya dan dalam perjalanan selanjutnya, ia dikenal sebagai lokomotif penyebaran Syiah di Indonesia. Tidak banyak intelektual Islam Indonesia yang berani mengambil resiko sebagaimana Kang Jalal (panggilan akrabnya). Dalam pengajian-pengajiannya, ia perkenalkan khazanah keilmuan Ahlulbait as. Ia eksplorasi pusaka Nabi yang masih tersimpan utuh yang jarang terjamah dan menyesuaikannya dengan kultur Indonesia. Dia padukan keislaman dan kebangsaan. Tidak pernah sekalipun dia mempertentangkan antara ideologi negara dengan Islam yang dianutnya. Dia juga tidak pernah mencari musuh dari kelompok Islam yang lain. Doktrinnya, dahulukan akhlak daripada fikih.

Hakikatnya Kang Jalal tidak mengenal dikotomi Sunni-Syiah. Dia tidak pernah memperkenalkan diri sebagai Syiah. Dan juga tidak pernah menyebut, yang dia ajarkan dan tulis dalam banyak bukunya adalah ajaran Syiah. Dia menyebutnya, itu ajaran Ahlulbait. Yang dia ajarkan Islam. Hanya karena tampak berbeda dengan arus mainstream pemikiran cendekiawan muslim Indonesia lainnya, dia terkesan beda sendiri. Komunitas yang dibentuknya juga dia namakan Ikatan Jamaah Ahlulbait. Kalau ada yang menyebut itu kamuflase, dan menggunakan nama Ahlulbait untuk menyebarkan ajaran Syiah, justru yang kamuflase adalah mereka yang menuduh itu. Dengan klaim Syiah, ajaran Ahlulbait diberangus. Majelis pengajian mengenang syahidnya Imam Husain as, memperingati kelahiran Sayidah Fatimah sa diserang dan dibubarkan. Syiah dicitrakan sedemikian buruk, sekedar jadi pembenaran orang-orang yang disebut Syiah untuk dipersekusi. Syiah dipersepsikan beda dengan Ahlulbait, padahal Syiah dalam terminologi studi perbandingan mazhab, adalah pengikut Ahlulbait.

Meski tombak-tombak fitnah ditancapkan ke tubuhnya, dan keluarganya. Ia tetap tidak bergeming. Sebab memang tidak ada yang salah dari apa yang dia ajarkan dan sebarkan. Dia tidak pernah bermasalah secara hukum. Majelis pengajiannya makin ramai. Jamaah dari organisasi yang didirikannya terus bertambah. Sekolah yang didirkannya selalu diserbu orangtua yang mendaftarkan anak-ananya sampai harus kehabisan quota. Dediknaspun mengakui keunggulan kurikulum pendidikan yang diraciknya, sampai sekolah yang didirikannya menjadi sekolah percontohan dalam pengembangan akhlak. Tuduhan-tuduhan yang dilontarkan padanya tidak ada yang terbukti. Bukan tidak tahu dan tidak mendengar, tapi dia biarkan fitnah-fitnah, celaan dan makian yang ditujukan kepadanya itu Allah saja yang membalas dan juga menjadi cadangan pahala di mahkamah nanti. Sebenarnya dengan fitnah bertubi-tubi yang ditujukan padanya, dia bisa saja marah. Namun saat ceramah, dia tidak pernah sekalipun merasa perlu meninggikan suara sampai menggelegar. Atau merasa perlu melakukan play victim untuk mengesankan dia dan kelompoknya teraniaya. Padahal berkali-kali pengajiannya dibubarkan dan mendapat ancaman teror bunuh berkali-kali. Dia hanya fokus pada program-program kebaikan yang seolah tidak ada habisnya. Dia meminta murid-muridnya untuk juga diam dan tidak membalas. Dia selalu memesankan. Balas keburukan dengan kebaikan. Balas tuduhan dengan pembuktian.

Diapun sampai merasa perlu untuk menjadi wakil rakyat. Untuk memperluas cakupan perkhidmatannya. Dia terpilih dan duduk sebagai legislator di DPR RI. Menunjukkan, kiprahnya selama ini terakui dan terbukti di lingkungannya.

Banyak orang yang pintar, tapi hanya sedikit yang berani. Banyak yang mendengar, tapi hanya sedikit yang terpanggil. Kang Jalal diantara yang sedikit itu. Baginya, keintelektualan harus dipertanggungjawabkan. Dia tidak hanya kagum pada asap dan tarian kobaran api dari jauh. Dia cari sumber baranya. Dan dia pegang, meski dengan resiko tangannya melepuh dan turut terbakar demi dia bisa menerangi sekitarnya. Dia jaga nyala itu. Dan sampai kapanpun warisan pemikiran dan karya-karyanya akan terus memberi pencerahan.

“Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 186)

Ayat di atas menunjukkan bahwa di masa Nabi Muhammad saw berdakwah, dia kerap diganggu dengan gangguan yang banyak dan menyakitkan hati dari ahli kitab dan orang-orang musyrik. Dakwah hari ini, gangguan juga datang dari sesama muslim sendiri. Yang tentu, jauh lebih menyakitkan hati.

Selamat jalan kang Jalal…

Titihlah perjalananmu sekarang dengan penuh damai, tanpa ada lagi gangguan. Semoga engkau mendapat sebaik-baiknya penyambutan dari yang Maha Kasih…

-Ismail Amin Pasannai-