Yang Kelar dan Yang Terbiar Dari Prolog Puisi Sampai Cerita Dewi Sekardadu

 

: catatan ngudarasa : Mashuri Alhamdulillah.

Hari ini mendadak saya tersadar, November 2020 sebentar lagi modar. Lalu datanglah Desember 2020, lalu berlalulah tahun 2020, berganti dengan 2021. Padahal ada beberapa pekerjaan yang masih belum kelar, dengan tenggat yang sudah jauh terlampaui. Di sisi lain, ada yang sudah selesai, meskipun dari sisi kesempurnaan bikin keki.

Yeah, saya sudah lama diminta memberi pengantar karya dua kawan, yang hingga kini masih berupa draft kasar. Pertama, pengantar antologi gurit dari seorang senior yang mukim di Jakarta. Satunya lagi, antologi puisi kawan seperjuangan, yang kini menetap di Banyuwangi. Tenggat keduanya sudah terlampaui. Inilah yang sering bikin saya ngelus dada sendiri. Tapi masih untung, karena saya tidak mengelus dada orang, apalagi dada bini orang. Ups!

Selain dua itu, ada project pribadi tahun ini yang ‘la yamutu wala yahya’. Sudah direncanakan sesuai waktu, tapi tak juga menjadi nyata. Saya berencana bikin dua antologi puisi dengan gaya berbeda. Selain itu, menghimpun beberapa prosa yang berserak yang sudah lama diminta kawan penerbit. Semuanya belum terlaksana.

Adapun untuk project penelitian, ada yang sudah kelar, ada pula yang masih dalam tungku pembakaran gagasan untuk dimatangkan. Beberapa project penelitian yang barusan kelar pada November 2020, masih kebul-kebul dari oven, meskipun masih timpang dan bolong di sana-sini mirip celana saya pada masa kecil, di antaranya:

(1) “Memasarkan Memori Kolektif, Studi Proyek Identitas dan Komodifikasi Cerita-cerita Dewi Sekardadu di Jawa Timur”. Objeknya adalah cerita rakyat Dewi Sekardadu yang hidup di situs makam yang ditasbihkan masyarakat lokal sebagai makam Dewi Sekardadu, mulai dari Banyuwangi, Sidoarjo, Gresik, dan Lamongan. Saya menemukan adanya proyek identitas di beberapa tempat dengan mengubah legenda lokal menjadi ‘nasional’. Ehm. Selain itu, ada ikhtiar untuk memodifikasi cerita Dewi Sekardadu sebagai usaha untuk menarik pasar, terutama dalam bingkai wisata religi.

(2) “Peta Persebaran Sastra Cetak, Sastra Lisan, dan Manuskrip di Lamongan”. Penelitian ini dalam rangka untuk konservasi dan revitalisasi. Meski sastra cetak di Lamongan termasuk baru, di atas tahun 1980, tetapi sastra lisan dan manuskripnya luar biasa. Saya sendiri kewalahan dalam memetakannya. Apalagi untuk beberapa manuskrip yang bermula dari skriptorium di pondok pesantren di pantura Jawa. Selain itu, terdapat keberserakan manuskrip dan tradisi lisan yang membutuhkan uluran tangan berbagai pihak. Ada yang sudah punah, sekarat, ada pula yang morat-marit karena tidak terkodifikasi.

(3) “Genealogi Wabah dalam Cerita-Cerita Dewi Sekardadu, Kajian Sastra Pandemik”. Ini sebentuk artikel ilmiah yang dalam waktu dekat tayang di sebuah jurnal ilmiah di Surabaya. Objeknya adalah cerita-cerita Dewi Sekardadu dalam tradisi tulis Jawa. Hal itu karena cerita tersebut ada dalam setiap serat atau babad yang berupa kronik Jawa, dalam manuskrip kuno. Bahkan, dalam Serat Centhini pun ada. Secara genealogis, saya merunut wabah dalam cerita Dewi Sekardadu berdasar versi yang berbeda-beda dalam manuskrip, yakni pagebluk di Bumi Blambangan, hingga ke beberapa khasanah lainnya, mulai dari Layang Anbiya, Tadzkirotul Auliya’ (karya Fariduddin Attar), dan Serat Calon Arang.

(4) Hmmm. Apa lagi ya? Sebentar saya ingat-ingat dulu.

Demikianlah, curhat bil-verbal dari Patik Mudah-mudahan, yang lain dapat kelar dalam sisa tahun 2020, meskipun sudah melampaui tenggat.

Gituh saja.

MA
On Siwalanpanji, 2020
Ilustrasi: Patik menghabiskan rokok di depan makam Dewi Sekardadu di Dusun Ketingan, Desa Sawohan, Kecamatan Buduran, Sidoaro. Jepretan Nyonya Meneer.