Wartawan Tak Pernah Mati (Mengenang Abah Alwi Shahab)

 

Oleh Nasihin Masha

Abah Alwi, begitu biasa kami di Republika menyapanya. Bahkan kami pernah membuat program Melancong Bareng Abah Alwi, sebuah program wisata sejarah. Abah Alwi sudah identik dengan Republika. Wartawan yang lama meniti karier di kantor berita Antara, sebelumnya di kantor berita Arabian Press Board, hingga pensiun itu justru besar di Republika. Abah bergabung di Republika sejak awal, diboyong Parni Hadi pada 1993. Parni juga berkarier di Antara hingga kemudian menjadi pendiri dan menjadi pemimpin umum sekaligus pemimpin redaksi Republika yang pertama. Di Republika Abah menulis apa saja. Abah adalah satu-satunya wartawan Republika yang tak pernah pensiun.

Hobinya menulis sejarah tentang Jakarta, khususnya ihwal Betawi, tercium oleh Kang Yayat. Sebagai redaktur pelaksana, Yayat Supriatna, membuat kolom khusus untuk Abah menulis tentang sejarah Jakarta dan Betawi. Nama rubriknya Nostalgia, Sketsa Jakarta, dan Bandar Jakarta. Abah memiliki nama Alwi Shahab. Jika mendengar nama Shahab dan terkait Betawi maka sebagian orang akan terkenang pada sosok Ali Shahab. Ya, keduanya memang kakak-beradik. Ali adalah adik Alwi. Ali pernah menjadi wartawan namun lebih menekuni sebagai novelis dan besar sebagai sutradara. Bagi generasi 1980an, tentu mengenal serial Rumah Masa Depan yang tayang di TVRI. Inilah sinetron bersetting Betawi yang renyah dan berisi. Selain banyak menyutradarai film-film bioskop, Ali juga produktif membuat sinetron berlatar Betawi. Ya, sebagai anak yang lahir dan besar di Kwitang, Alwi dan Ali memang Betawi tulen.

Abah adalah orang yang selalu bersemangat. Saat bercerita, ia selalu berapi-api. Bicaranya cepat, seolah otaknya sudah penuh dengan ide dan harus segera dikeluarkan. Jalannya selalu cepat – orang Cirebon memiliki istilah khusus untuk berjalan yang seperti ini: ngingkrig. Badannya yang ramping dan tinggi membuat langkahnya menjadi lebih gesit. Bahunya selalu condong ke depan, mendahului badannya, seolah ia tak sabar untuk cepat sampai di tujuan. Gaya berjalan seperti itu tak hanya dilakukan di jalan raya, tapi juga di dalam kantor.

Walau tergolong sepuh, tapi energi Abah Alwi ini layak ditiru wartawan muda. Ia bukan tipikal pemalas, bahkan teramat rajin. Sebagai pengasuh kolom sejarah ia tak hanya berkutat dengan dokumen. Ia memang rajin ke perpustakaan nasional ataupun ke arsip nasional untuk mencari bahan tulisan. Tapi sebebagai wartawan tentu Abah mengerti benar makna aktualitas dan proksimitas. Maka bahan itu diupdate agar relevan dengan perkembangan zaman dan didekatkan dengan realitas terkini. Untuk itu Abah harus menyusuri jejak sejarah tersebut secara fisik. Jakarta masa kolonial ataupun masa Orde Lama telah mengalami banyak perubahan. Dalam penelusuran itu, Abah harus berjalan kaki. Tak ada tanda lelah pada pria kelahiran 31 Agustus 1936 tersebut. Abah tak pernah menaiki sepeda motor atau menyetir mobil sendiri. Ke mana-mana selalu naik kendaraan umum. Ia menulis riwayat Sungai Ciliwung, hikayat trem, jejak nama jalan dan bangunan, dan sebagainya. Ia semacam kuncen. Produktivitasnya itu bisa dilihat dari buku-buku yang ia terbitkan dari kolom-kolom itu. Ada 11 buku. Buku pertamanya terbit tahun 2001 berjudul Robinhood Betawi; Kisah Betawi Tempo Doeloe. Sedangkan buku terakhirnya terbit tahun 2013 berjudul Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Betawi. Atas dedikasinya, ia meraih Anugerah Budaya dari Pemprov DKI Jakarta pada 2009. Ia juga sering menjadi narasumber media lain untuk dimintai pendapatnya tentang Jakarta dan Betawi.

Abah Alwi tipikal wartawan zaman dulu. Tak gemar memakai sepatu. Ia lebih suka memakai sepatu-sandal, sandal yang ada tali ke tumitnya. Ia juga lebih suka memakai baju lengan panjang namun lengannya selalu digulung. Gaya menggulung lengan ini secara politis digunakan oleh Dahlan Iskan, dan kemudian oleh Jokowi. Ini memang pertanda orang yang giat bekerja. Namun Abah tentu sedang tidak pencitraan.

Sebetulnya Abah tergolong orang yang tak gampang bicara dan sedikit pemalu. Namun Abah justru orang yang polos dan ramah. Abah juga orang yang tak pernah marah dan hormat pada siapapun. Namun jika sudah bercerita, maka ia akan bisa berbicara panjang lebar. Kepolosannya itu yang sering membuat kita tertawa terbahak-bahak mendengar kisahnya, termasuk soal pribadinya dan kenakalan-kenakalan masa mudanya. Namun kawan-kawan di Republika pasti juga terkenang oleh kebaikan Abah Alwi yang sering membawakan nasi kebuli atau roti Maryam, dua jenis kuliner Arab yang lezat.

Salah satu ciri bahwa Abah Alwi sedang bekerja adalah keriuhan bunyi tuts keyboard komputer. Abah Alwi adalah wartawan yang besar di era mesin tik. Mesin tik di kantor-kantor media umumnya berjenis mesin tik besar dengan tuts yang dalam. Karena itu butuh tekanan kuat dan dalam saat mengetik. Namun di Republika, sejak awal berdiri pada 1993, tak pernah mengenal mesin tik. Sejak awal sudah full komputer. Namun kebiasaan Abah Alwi mengetik dengan mesin tik terbawa di era komputer. Padahal mengetik di komputer tak perlu tenaga kuat dan tak perlu ketukan yang dalam. Namun Abah Alwi tetap mengetik dengan gaya mengetik di mesin tik. Maka bunyi tak-tok tuts keyboard yang ditekan kuat menjadi ciri khas bahwa Abah Alwi sedang bekerja. Bagi saya yang mengenal dua jenis alat ketik ini, hal ini bukan soal fisik yang butuh ketukan kuat atau cukup dengan sentuhan seperlunya: bunyi tak-tok mesin tik itu semacam triger di otak untuk derasnya ide yang mengalir. Pukul 3.00 dini hari tadi, Kamis 17 September 2020, Abah pergi untuk selamanya. Kita tak bisa mendengar lagi bunyi keyboard, tapi kita masih bisa membaca warisannya.

Selamat jalan Abah….