Kenangan Saya Dengan Gus Dur dan Mas Hikam

 

Oleh Hasyim Wahid

Tidak setiap hari saya datang ke kantor PBNU kecuali jika mendapat panggilan dari alm. Gus Dur, entah dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum PBNU ataupun sebagai kakak saya yang tertua. Pada suatu hari saya mendapat pesan bahwa keesokan harinya saya diminta beliau agar datang ke kantor PBNU setelah jam makan siang. Dan, seperti biasanya, saya perlu-perlukan datang, sebagai warga Nahdlatul Ulama yang (mencoba jadi) baik dan sebagai adik yang (mencobajadi) baik.

Ketika siang itu saya sampai di kantor PBNU (masih di gedung lama), Gus Dur sudah ada di ruang kerja bersama seorang yang belum pernah saya kenal. Tak lama, terjadilah pembicaraan ngalor-ngidul di antara tiga anak manusia yang, buat saya pribadi, layak dikenang sampai kini dan seterusnya. Kalau obrolan itu disarikan, maka yang kira-kira relevan dengan konteks ini adalah sbb:

Gus Dur (kepada saya): “Im, ini ada saudara kita, Kang Hikam, seorang Nahdliyyin dari Plumpang, Tuban, yang baru saja mempertahankan disertasinya di bidang ilmu politik di Universitas Hawaii, Honolulu”.

Gus Dur (kepada mas Hikam): “Kang Hikam, ini adik saya yang bungsu, namanya Hasyim. Tapi kebanyakan anggota keluarga, saudara dan teman memanggilnya Iim”.
Saya (kepada mas Hikam): “Selamat mas Hikam apakah disertasinya sudah dibukukan?”

Mas Hikam (kepada saya): “Terima kasih, Gus. Disertasi saya belum diterbitkan sebagai buku. Saya masih akan kembali ke Honolulu untuk mencari dukungan, siapa tahu ada penerbit yang bersedia mencetak disertasi saya nanti”.
Saya (kepada mas Hikam): “Mas, di Honolulu ada toko CD yang koleksi musiknya cukuplengkap nggak?”.

Mas Hikam (kepada saya): “Kalau menurut saya sih kayaknya ada satu toko CD yang koleksi musiknya cukup lumayan. CD apa yang sampeyan cari, Gus?”

Gus Dur (kepada saya sambil tertawa): “Lho kita tadinya mau mendiskusikan disertasi Kang Hikam, kok malah nitip dicarikan CD. Gimana sih?”.

Saya (kepada Gus Dur): “Ini CD penting, Musik Fusion yang dimainkan oleh tiga maestro gitar”.

Mas Hikam (coba menengahi): “Apa sih judul albumnya dan siapa saja yang main?”

Saya (kepada mas Hikam): “Judul albumnya Friday Night in San Francisco: Live Concert. Yang main tiga maestro gitar yaitu Paco de Lucia, Al di Meola dan John McLaughlin”.

Gus Dur (langsung nyeletuk): “Paco de Lucia itu gitaris flamenco kontemporer? Tekniknya nyaris tak bercacat dan dia mampu menangkap gelora ruh musik flamenco. Yang dua orang lagi siapa?”

Saya (kepada Gus Dur): “Aldi Meola, maestro gitar jazz. Dia mampu main dengan gemuruh jiwa musik jazz maupun dengan kebeningan suara hati. John McLaughlin, awalnya maestro gitar rock, kemudian mengembara ke dunia jazz dan musik spiritual Indiam sehingga bentuk musiknya jadi lebih kaya”.

Gus Dur (dengan nada Fatwa final): “Musik Fusion seperti itu bisa membantu memahami praxis politik di Indonesia yang juga berupa Fusion. Bedanya, politik Indonesia adalah Fusion dari politik aliran, partai politik oposisi seolah-olah, dan macam-macam teori pembangunan yang wujud akhirnya jadi aneh dan sulit dimengerti, apalagi dinikmati hehehehe….”.

Saya dan mas Hikam(bersama): “ ha ha ha ha ha…”

Hari-hari pun berganti minggu, mas Hikam kembali ke Honolulu. Minggu berganti bulan, dan bulan nyaris berganti tahun, dan saat akhirnya mas Hikam kembali ke Jakarta, ia sudah resmi memperoleh gelar Ph.D. Yang paling penting buat saya (alhamdulillah), ia membawa CD Friday Night in San Francisco: Live Concert.
CD tersebut pun segera beralih ke tangan saya.
****
Tidak pernah jelas bagi saya peristiwa politik apa yang mendadak membuat Gus Dur teringat pada pembicaraan kami bertiga dengan mas Hikam. Yang jelas, suatu hari beliau bertanya kepada saya: “Gimana Im, kabarnya CD yang kamu cari sampai Honolulu dengan bantuan Kang Hikam itu? Ada nggak? Karena saya khawatir bahwa Gus Dur sudah dan/atau akan melakukan “investigasi silang” terhadap mas Hikam, saya jawab saja dengan sejujurnya: “Ada”.

Gus Dur pun (sambil berlagak mengantuk) bertanya: “Boleh saya pinjam beberapa bulan?”
Saya pun menjawab tegas: “Boleh. Besuk saya antar ke kantor”.

Kehidupan telah mengajarkan kepada saya bahwa antisipasi adalah bagian pokok dari upaya bertahan hidup (survival). Karena itu, tentu saja, saya juga telah melakukan “cloning” atas CD musik monumental tersebut. Gus Dur selalu marah besar apabila kehilangan dua maha karya (magna opus) musik klasik kegemarannya, yaitu Simfoni No. 9 Beethoven dan Simfoni No. 40 Mozart. Sambil berlagak lebih mengantuk lagi, Gus Dur berkata lirih: “Wah Im, saya kecopetan ‘Eine Kleine Nachtmusik’ karya Mozart dan Simfoni No. 9nya Beethoven.”

Gus Dur tahu persis bahwa di lingkungan pergaulan terdekatnya, cuma saya yang paling senang Simfoni No. 9 karya Beethoven dan Eine Kleine Nachtmusik karya Mozart, serta cukup tega mencopet keduanya dari koleksi CD musik klasik milik beliau. Maka, apa boleh buat, saya harus ikhlas berpisah dengan CD konser gitar akustik Friday Night in San Francisco pemberian dari sahabat kami berdua, mas Hikam. Cukuplah dengan cloningnya saja!

Dan Gus Dur pun meminjam (tanpa niat mengembalikan) CD tersebut dari saya sebagai bentuk serangan balasan (retaliasi) atau perilaku saya mencopet dua keping CD musik klasik miliknya. Dan atas nama Ketum PBNU, CD saya, yang hasil titipan pada mas Hikam itu, pun “disita” oleh Gus dur!
****

Muhammad AS Hikam, sahabat dekat kami dua bersaudara, adalah peneliti dan pendidik yang menjunjung tinggi kehormatan diri, nilai-nilai moral, dan etika dalam pekerjaannya sebagai peneliti dan pendidik.Tugas pendidik adalah mendidik dengan baik dan benar, ujarnya selalu. Wilayah praksis politik pernah dilaluinya daya rasa, akan terasa lucu namum juga absurd bagi mas Hikam. Dan subversi vs. Kontra-subversi dalam metafor copet-mencopet dan sita-menita CD musik adalah bagian tak terpisahkan dari praksis politik yang ‘aneh tapi nyata’. Tapi justru di situlah teletak kekuatan mas Hikam: menjadi batu karang moral dan etika yang kokoh. Dan bukan menjadi batu kerikil yang menggelinding kian kemari dalam transaksi politik keseharian *the transactions of everyday politics).

“To be a rock an not to roll” (menjadi batu karang, tetapi tidak menggelinding), jika saya boleh meminjam lirik lagu Led Zeppelin.

🤘🏽