Tirakatan & renungan HUT Kemerdekaan RI malam 17 Agustus 2024 di Bale Desa Boyolangu, Kab. Tulungagung

 

Oleh: Wawan Susetya, Budayawan

Seperti biasa, setiap malam tanggal 17 Agustus senantiasa diadakan malam renungan sekaligus tirakatan di pendapa Kabupaten, bale desa hingga di lingkungan terkecil RW & RT untuk mengenang kemerdekaan bangsa dan negara kita. Pada tahun 2024 ini, kita juga memperingati HUT bangsa dan negara Indonesia yang ke-79 tahun. Dirgahayu bangsa dan negaraku!
Pada malam renungan & tirakatan malam tanggal 17 Agustus 2024 lalu, saya mendapat kesempatan untuk menyampaikan refleksi kemerdekaan RI yang ke-79 di Bale Desa Boyolangu bersama pengurus Karang Taruna serta perwakilan dari perangkat desa, pengurus RT/RW dan BPD.

Kegiatan renungan kemerdekaan RI tersebut merupakan rangkaian kegiatan Agustusan Desa Boyolangu dengan tema “Nusantara Di Bumi Gayatri”, salah satunya karnaval yang rencananya dilaksanakan tanggal 25 Agustus.

Pada kesempatan itu, saya menyampaikan renungan tentang gagasan mempersatukan Nusantara yang disebut dengan Cakrawala Mandala Nusantara. Gagasan mempersatukan Nusantara yang pertama dimulai dari ide Prabu Kertanegara (Raja Singosari) dengan melakukan Ekspedisi Pamalayu di Pulau Sumatra, terutama dapat menaklukkan Kerajaan Dharmasraya yang berpusat di Palembang sebagai kerajaan yang paling besar di Sumatra.

Setelah berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sumatra, Prabu Kertanegara melanjutkan ekspansinya ke arah timur, seperti Bali, NTB hingga NTT. Upaya tersebut juga mengalami keberhasilan yang gemilang.

Setelah itu Prabu Kertanegara juga masih hendak meneruskan misinya ke Pulau Kalimantan ke timur hingga Maluku dan Sulawesi. Namun, sayang upaya tersebut akhirnya kandas di tengah perjalanan. Ketika para prajurit sudah diberangkatkan ke pulau-pulau tersebut, tiba-tiba para prajurit Kerajaan Gelang-Gelang yang dipimpin Prabu Jayakatwang menyerang Kerajaan Singosari hingga Prabu Kertanegara pun wafat.

Dalam pada itu empat orang putri Prabu Kertanegara diboyong pula oleh Prabu Jayakatwang. Sebagian dari pembesar Singosari seperti Raden Wijaya beserta para sahabatnya Nambi, Ranggalawe dan Lembusura melarikan diri dan bersembunyi di daerah Terik, dekat Trowulan (Mojokerto).

Sementara Prabu Jayakatwang yang semula Raja di Gelang-Gelang (Madiun) kemudian memindahkan pusat kekuasaan di Kediri, tempat leluhurnya Prabu Sri Kertajaya (Raja Kediri terdahulu) yang sebelumnya pernah ditaklukkan oleh Ken Arok (Raja Singosari).
Sebelum itu, Singosari pernah didatangi oleh utusan Kaisar Kubilai Khan dari Mongolia bernama Meng Khi supaya Prabu Kertanegara tunduk kepada Sang Kaisar Mongolia.

Hal itu tentu saja membuat Prabu Kertanegara menjadi murka, lalu memotong telinga Si Meng Khi hingga berdarah-darah. Lalu Meng Khi pun kembali ke Mongolia hendak melaporkan kepada Sang Kaisar.
Setahun berikutnya pada tahun 1293, ribuan prajurit Mongolia datang lagi ke Pulau Jawa hendak menggempur Singosari. Padahal Singosari saat itu sudah tumbang dan Prabu Kertanegara sudah wafat.

Mereka para prajurit Mongolia bertemu dengan Raden Wijaya di daerah Terik. Lalu Raden Wijaya melakukan tipu muslihat dengan mengarahkan para prajurit Mongolia tersebut ke Kerajaan Kediri. Dan, dalam waktu yang relatif singkat, akhirnya Kerajaan Kediri tumbang dan Prabu Jayakatwang pun tewas. Dalam pada itu, Raden Wijaya beserta para sahabatnya lalu merayakan kemenangan itu dengan memberikan minuman toak yang memabukkan.

Ketika ribuan orang prajurit Mongolia itu dalam keadaan tidak sadarkan diri, maka Raden Wijaya dan para sahabatnya tidak menyia-nyiakan waktu untuk menumpas para tentara Mongolia.

Setelah itu Raden Wijaya kembali ke Terik dengan memboyong semua putri mendiang Prabu Kertanegara dan menikahinya. Selanjutnya Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit pada tahun 1293.
Gagasan mempersatukan Nusantara yang kedua dilanjutkan oleh Ratu Gayatri, putri Prabu Kertanegara dan istri Raden Wijaya.

Sepeninggal Prabu Jayanegara alias Kalagemet, sebenarnya Ratu Gayatri memiliki peluang untuk menduduki tahta Majapahit. Namun, peluang itu diberikan kepada putrinya Ratu Tribhuana Tungga Dewi. Dan, melalui putrinya (Ratu Tribhuana Tungga Dewi) itulah misi mempersatukan Nusantara dilanjutkan kembali dengan dibantu Patih Gajah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa hingga mengalami keberhasilan yang gilang-gemilang.

Kerajaan-kerajaan di seluruh Nusantara dapat ditaklukkan oleh kedahsyatan Patih Gajah Mada. Pada saat itu luas wilayah Kerajaan Majapahit lebih luas daripada wilayah Indonesia sekarang, bahkan ditambah lagi dengan 6 negara lain seperti Malaysia, Singapura, Filiphina, Timor-Timur, Laos dan Birma.

Pada tahun 1350, Ratu Gayatri wafat, sehingga putrinya Ratu Tribhuana Tungga Dewi pun lengser keprabon karena ia menyadari bahwa posisinya sebagai Ratu hanya mewakili ibundanya saja. Maka tampuk kekuasaan Majapahit selanjutnya diberikan kepada putranya Prabu Hayam Wuruk dengan dibantu Patih Gajah Mada.

Dengan demikian, pada masa kepemimpinan putri Ratu Gayatri yaitu Ratu Tribhuana Tungga Dewi dan cucunya Prabu Hayam Wuruk itulah Nusantara dapat dipersatukan dari Sabang sampai Merauke, bahkan lebih luas ketimbang Indonesia sekarang. Dan, itulah yang disebut masa kejayaan Majapahit.

Setelah beberapa tahun terjadilah Perang Paregrek pasca kepemimimpinan Prabu Hayam Wuruk hingga menyebabkan wilayah kekuasaannya semakin kecil. Sebab banyak raja-raja di berbagai daerah yang memisahkan diri dari Kerajaan Majapahit. Hingga akhirnya pada masa kepemimpinan Prabu Brawijaya V runtuhlah Kerajaan Majapahit pada tahun 1400 Saka atau tahun 1478 M yang ditandai dengan sengkalan “Sirna ilang kertaning bumi.”

Pasca runtuhnya Majapahit, maka berdirilah Kasultanan Demak di bawah kepemimpinan Raden Patah, putra Prabu Brawijaya V dengan garwa selir Siu Ban Ci alias Dewi Kian. Kekuasaan Kasultanan Demak saat itu berkisar di Pulau Jawa saja. Selanjutnya diteruskan Kasultanan Pajang di bawah kepemimpinan Sultan Hadi Wijaya alias Jaka Tingkir. Setelah itu bergeser ke Kasultanan Mataram hingga terjadinya Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 yang menyebabkan kekuasaan Mataram dibagi menjadi dua, yakni Kasultanan Ngayogyakarta dan Surakarta.
Yang jelas pada saat itu keadaan Nusantara sudah terpecah-pecah dengan kerajaan-kerajaan dan kasultanan-kasultanan.

Apalagi ditambah dengan masuknya penjajah Belanda dengan politik adu domba dan memecah-belah “devide et Impera”-nya. Meski perlawanan para pejuang dari berbagai daerah cukup besar dilakukan untuk mengusir penjajah Belanda dari Patimura, Tjut Nya’ Din, Pangeran Hasanuddin hingga Pangeran Diponegoro, namun perjuangan mereka selalu kandas. Mengapa? Sebab perjuangan para pahlawan tersebut bersifat kedaerahan dan belum berjuang secara nasional, apalagi ditambah dengan “devide et Impera” Belanda, sehingga mereka gampang dipecah-belah.
Barulah pada tanggal 20 Mei 1908 berdirilah organisasi BUDI UTOMO oleh dr. Sutomo dkk sebagai tonggak kebangkitan pergerakan nasional sehingga diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Dan, setelah itu muncullah organisasi-organisasi pergerakan pra kemerdekaan, seperti Syarikat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Syarikat Islam (SI) oleh HOS Cokroaminoto, Perguruan Taman Siswa oleh Ki Hadjar Dewantara, Ormas Muhammadiyah oleh KH Ahmad Dahlan, Ormas Nahdlatul Ulama (NU) oleh Kyai Hasyim Asy’ari, Indische Party oleh Mr. Syahrir, PNI (Partai Nasional Indonesia) oleh Bung Karno dan sebagainya.

Pergerakan organisasi pra kemerdekaan yang bersifat nasional itu diperkuat lagi dengan peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
Dan, gagasan mempersatukan Nusantara yang ketiga terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan pembacaan Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia oleh Sukarno-Hatta. Awalnya, memang Pemerintah Jepang hendak memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia pada tanggal 24 Agustus 1945. Namun saat itu ada kelompok pemuda yang dimotori oleh Syahrir dan Sukarni dkk yang mendesak kepada Bung Karno dkk sebagai kelompok tua supaya segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Alasan kelompok pemuda tersebut senyampang Jepang telah kalah perang dengan Sekutu setelah pengeboman di Kota Hiroshima tanggal 6 Agustus 1945 dan Nagasaki tanggal 9 Agustus 1945, maka sebaiknya Bung Karno segera memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Bahkan kelompok pemuda tersebut sempat menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok tanggal 16 Agustus 1945 supaya membacakan proklamasi kemerdekaan. Namun, kelompok pemuda tersebut mengembalikan lagi Bung Karno dan Bung Hatta pada dini hari. Dan, keesokan harinya bertepatan dengan hari Jumat Legi tanggal 17 Agustus 1945, bertempat di rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur jam 10 pagi. Itulah momentum yang sangat bersejarah Cakrawala Mandala Nusantara yang ketiga dengan ditandai keberhasilan mempersatukan Nusantara. []