SAYA KIRA TIDAK PERLU PRESIDEN JOKO WIDODO MINTA MAAF ATAS NAMA NEGARA KEPADA PRESIDEN SUKARNO DAN KELUARGANYA

 

Mochammad Rifai*.

Dirilis oleh Korel nasional DetikNews, 08 November 2022 berjudul “Ahli Hukum UNS Juga Desak negara Minta Maaf ke Presiden Sukarno”. Judul berita itu nampaknya sebagai respon positif dari pernyataan Presiden Jokowi menyambut peringatan Hari Pahlawan Nasional 2022 yang mengeluarkan pernyataan menguatkan bahwa “Presiden Sukarno bukanlah pengkhianat bangsa”

 

 

 

Apresiasi wajar seorang pemimpin bangsa terhadap pendahulunya yang memiliki jasa besar terhadap proses lahirnya negara ini.

Kepahlawanan Presiden Pertama itu tentu tidak diragukan lagi dalam sejarah nasional. The Founding Fathers, Sang Proklamator bersama-sama dengan Drs. Moh. Hatta ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, Pahlawanan Kemerdekaan RI, sudah seharusnya.

Namun ada dalam perjalanan rezim pemerintahan yang dipimpin oleh keduanya tentu banyak dihadapkan persoalan-persoalan internal menyangkut tentang kepentingan-kepentingan politik yang saat itu bertarung.

Menjadi tumbuh subur pertarungan ideologis antarpartai karena saat itu penyelenggaraan pemerintahan menganut azas liberalisme. Sebagai bentuk rasa syukur dan dan hikmah dari kemerdekaan, kata BK, “kita musti menganut azas liberalisme, silakan atur negara ini bebas menurut paham kalian, kita sudah merdeka”.

BK terus berjalan dengan watak revolusioner memimpin negara ini sampai akhirnya terdepak pada tahun 1966 oleh rezim Orde Baru pimpinan Jendral Suharto. Konflik internal antarkekuatan politik praktis yang kala itu tidak ada pembatasan hak warga negara dalam berpolitik termasuk TNI dan Polri, makin menambah ruwetnya di lingkaran kekuasaan.

Dan dalam puncak tragedi nasional di mana PKI telah melakukan tindakan ‘coup’ terhadap pemerintah Sukarno dalam sebuah bungkus yang rapi seolah-olah ada upaya jahat ‘Dewan Jendral’ akan menggulingkan Presiden Sukarno.

Fitnah kader-kader PKI merasuk ke benak Presiden pertama itu sehingga ada kesan bahwa gerakan 30 September atau dikenal dengan G30S/PKI itu direstui oleh beliau, Yang Mulia Presiden Sukarno, sebutan untuk jabatan presiden kala itu.

Sebagai bukti kasat mata pada peristiwa penculikan para perwira tinggi TNI AD itu, posisi Presiden Sukarno ada di Base Camp kubu PKI di Kampleks Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdana Kusumah. Keyakinan dan rasa pede kader-kader politisi PKI karena di-buck up oleh kekuatan TNI AU (AURI) yang dikomandani Komodor Umar Dani.

Kesuksesan penyelamatan terhadap Presiden Sukarno, sebagai PBR (Pemimpin Besar Revolusi) oleh pasukan kostrad pimpinan Mayjen Suharto sebagai Pangkostrad, membuat nyali kecil PKI dan sejak itu PKI tertuduh sebagai biang rencana jahat terhadap negara. Namun Presiden Sukarno tidak serta merta menerima kenyataan itu sebagai pertanda akan hancurnya rezim yang beliau bangun sejak awal kemerdekaan. Bahkan Presiden Sukarno masih belum yakin bahwa kejahatan kader-kader PKI itu sebagai penyebab semuanya. “…wajar dalam sebuah revolusi ada korban”.

Sosok Ir. Sukarno bukanlah penganut paham Komunis, beliau pribadi muslim yang taat. Secara teori memang diakui para pihak bahwa beliau itu menerima paham sosial-marxis sebagai ideologi dalam memperjuangkan kesadaran politik memerdekakan bangsa ini. Sosialisme, marxisme yang yakini sebagai kekuatan dalam revolusi disinkritiskan, diramu dengan paham lokal yang kemudian lahir istilah marhaenisme. Dikonotasikan marhaenisme sebagai paham (isme) itu hasil ramuan ala Sukarno untuk mengindonesiakan ajaran sosialisme, marxisme yang telah ‘dikupluki, disarungi’ menjadi perform postur Indonesia. Intinya Presiden Sukarno itu bukan PKI. Tetapi keberadaan beliau sebagai presiden dimanfaatkan kekuatan politik PKI, itu baru benar. “…semua itu adalah anak-anak kami, masak saya harus memperlakukan beda-beda”.

Memang waktu itu kader-kader PKI lebih revolusioner di mata beliau. Kader PKI itu; cakcek, tastes, satset makanya lebih dicocoki oleh beliau dalam menghadapi situasi negara yang labil.

Peralihan kekuasaan antara rezim Orde Sukarno ke Orde Suharto menyisakan banyak persoalan yang hingga sekarang masih menjadi debatable.

Saat SP 11 Maret 1966 di tangan Mayjen Suharto, bola politik sudah beralih. Matahari kepemimpinan Presiden Sukarno sudah ‘mendrip-mendrip, redup’, kurang dari 50% sampai terakhirnya sosok proklamator itu harus ‘diisolasi sebagai tahanan rumah’.

Risiko dalam sebuah pergulatan politik antara kalah dan menang. Sebagai pihak yang kalah tentu harus menerima risiko apalagi proses kalah-menangnya dalam bentuk yang sampai sekarang antara pro dan kontra.

Kelompok Sukarnois sampai hari ini tidak menerimakan atas (dikalahkannya) pendahulunya itu. Jendral Suharto dengan modal SP 11 Maret itu hakikatnya adalah bentuk ‘kudeta halus’ dan oleh karena itu de jure mereka tidak mengakui pemerintah Orde Suharto. Menurut penilaian pihak pro Sukarno tindakan Presiden Suharto memenjarakan Presiden Sukarno sampai wafatnya adalah sebuah ‘kejahatan’ politik atas nama negara.

Ada upaya para pendukung Sukarno dari kelompok kiri dengan memanfaatkan momen gerakan reformasi 98 yang ditandai dengan runtuhnya Orde Suharto, untuk bangkit kembali, minimal sudah tidak takut lagi menyuarakan hak-hak politik kewarganegaraannya karena tokoh yang ditakuti saat itu sudah tumbang.

Suprastruktur Orde Baru sudah berkeping-keping. Negara ditata kembali menurut Tupoksi. TNI kembali ke barak, Golkar -yang sebelumnya tidak mau disebut partai- tegas menjadi partai politik. Sudah tidak ada lagi yang disebut sebagai penguasa tunggal, single mayority. Berganti rezim ke Orde reformasi, kelompok garis geneologi ideologi komunis berkesempatan dapat panggung dan terbukti beberapa kadernya masuk dijajaran elit senayan.

Terbitnya buku ‘Saya Bangga Jadi Anak PKI’ karya Ribka Ciptaning kader politisi PDIP yang duduk di Senayan, bukti demokrasi kebebasan dan keterbukaan. Kemudian mereka menyuarakan permintaan agar ‘negara meminta maaf’ kepada PKI atas pembantaian yang terjadi tahun 1965 kepada pemerintah.

Tentu permintaan yang vulgar ini menimbulkan di pihak yang kontra khususnya dari kelompok garis geneologi ideologi (kanan) utamanya kader Masyumi-NU menolak keras. Mereka ini sering disebut golongan (phobia comunism). Sedikit pun tidak ada pintu maaf bagi PKI di peristiwa G30S/PKI. “…

Kalau kita memaafkan berarti kita yang salah, kalau harus saling memaafkan berarti kita dalam peristiwa itu sama sederajad. Pada hal, antara yang hak dan yang bathil sampai kiamat tidak akan pernah berkompromi”, tegas para kader kontra PKI.

Itung-itungan politik sekalipun penguasa negara ada di tangan kader PDIP, yang nota bene tempat kader-kader geneologis ideologis PKI ada di sana, tidaklah menguntungkan. Siapapun presiden yang diusung oleh PDIP termasuk Presiden Joko Widodo, tidak akan pernah menerima usulan itu. Apa yang terjadi dalam peristiwa itu biarlah berjalan sesuai dengan garis sejarah.

Silakan masyarakat menafsirkan sendiri-sendiri. PKI sudah bubar, ajaran ideologi komunis resmi dinyatakan sebagai organisasi terlarang di republik kita ini.

Terus bagaimana dengan usulan pakar hukum UNS Dr. Bagus Riewanto agar negara meminta maaf atas perlakuan rezim Orde Baru memenjarakan Presiden Sukarno dalam sebuah tahanan rumah yang dinilai tidak manusiawi dan tidak berkeadilan itu? Dan usulan rehabilitasi nama baik Presiden Sukarno dan keluarganya dari stigma negatif yang dibangun selama 30 tahun pemerintah era Suharto? Bisakah Presiden Joko Widodo mewakili negara untuk mengabulkan permintaan maaf itu atas nama negara?
Menurut saya tidaklah ada yang perlu dijawab atau dikabulkan baik atas permintaan permohonan maaf negara kepada keluarga PKI korban tragedi 1965 dan juga atas pemenjaraan Presiden Sukarno oleh penguasa Orbe Baru. Mengapa?
1. Penetapan Ir. Soekarno sebagai proklamator, Bapak Pendiri Bangsa dan Pahlawan Kemerdekaan sudah merupakan pengakuan atas jasa-jasa beliau terhadap bangsa dan negara. Sedangkan peristiwa-peristiwa yang lain itu sebagai konsekuensi dalam kancah politik. Kelebihan dan kekurangan setiap pemimpin tentu ada.
2. Secara politik tidaklah menguntungkan dan hanya akan menimbulkan kekacauan, merusak harmoni karena di tingkat grassroot sudah selesai. Masyakarat sudah melupakan itu semua. Terbukti saat Presiden Abdurrahman Wahid berencana mencabut Tap MPRS XXV/1966 tentang pasal pelarangan PKI mendapatan perlawanan dari masyarakat. Ini test case bahwa mayoritas masyarakat masih memandang komunisme/PKI adalah paham yang tidak sesuai dengan ideologi bangsa. Masyarakat menolak PKI untuk bangkit lagi entah apa namanya.
3. Presiden hari ini sekalipun atas nama negara tidak representatif menggantikan posisi rezim yang dipandang bertanggung jawab atas peristiwa terdahulu. Waktu yang akan menjawabnya. Masyarakat yang akan menentukan sendiri mana yang salah (pengkianat) dan mana yang benar (dikhianati) berdasarkan catatan sejarah dan kajian-kajian ilmiah, bukan asal dan ‘pokoke’.
4. Doktrin antikomunis di tubuh TNI khususnya TNI AD sudah mendarah daging. Susah untuk dirayu dengan bahasa apapun mengubah haluan paham nasionalisme NKRI dengan ideologi Pancasilanya. Tidak ada kompromi bagi kader TNI menerima permakluman untuk memberikan kebebasan berpolitik (praktis) yang melibatkan paham komunis. Itu prinsip harga mati TNI. Doktrin TNI tidak hanya diarahkan kepada paham komunis, paham lain pun yang dipandang berpotensi merusak konsep NKRI akan dilawan.
Jadi, sekali lagi usulan pakar Hukum UNS itu, juga dari pernyataan Pengurus DPP PDIP Dr. Ahmad Basarah tentang permohonan maaf negara melalui Presiden Joko Widodo kepada BK dan keluarganya hal yang tidak perlu. Buku pelajaran sejarah tidak ditemukan kalimat yang mengatakan bahwa dalam tragedi G 30 S/PKI menyebutkan Presiden Sukarno sebagai pengkhianat bangsa. Peristiwa kelam itu murni tragedi politik yang didalangi PKI, dengan memanfaatkan kebapakan Presiden Sukarno. Ir.Soekarno tetap pahlawan yang berjasa besar kepada bangsa dan negara tercinta ini.
Mochammad Rifai, M.Pd.