
Dr A. Hakam Sholahuddin
Handoko tak mengira kehadiran handphone yang selalu digenggamnya itu akhirnya menggerus usaha yang sejak lama dilakoninya. Tidak ada notifikasi dari hape-nya meminta order aplikasi ojek. Namun, kesabaran dan keteguhan usaha itu dijalani demi menafkahi anak dan istri dengan mangkal di perempatan Jepun Tulungagung.
Iya itulah nasib ojek pangkalan yang berjuang dan bertahan hidup di tengah gempuran maraknya ojek online. Bagi ojek pangkalan, perjuangan bukan sekadar soal pendapatan, tapi soal martabat hidup. Mereka bukan tidak mau berubah, tapi perubahan sering datang tanpa memberi waktu untuk bersiap. Ketika ojek online hadir dengan sistem, algoritma, dan promosi, ojek pangkalan tetap berdiri dengan modal kepercayaan. Tapi dari situlah keyakinan rezeki sudah dibagi secara adil oleh Tuhan yang mahakuasa.
Tidak banyak pangkalan ojek di Tulungagung yang kini tetap bertahan. Mungkin hanya dijumpai di timur perempatan Jepun. Dulu mereka menamai Paguyuban Ojek Jepun. Tapi nama ‘sektarian’ itu kini tidak dibolehkan. Kini berganti nama Trantib Ojek Tulungagung.
Bagi ojek pangkalan bertahan bukanlah hal mudah. Penumpang makin jarang. Kadang mereka hanya duduk, berbincang, menunggu nasib datang secara giliran penumpang bis yang turun. “Biasanya penumpang bis dari Jakarta atau Surabaya turun di perempatan Jepun dan tidak dijemput oleh kerabatnya,” ujar pria paruh baya.
Tapi sambil menunggu itulah tampak keteguhan dan pantang menyerah. Alhamdulillah tiap hari atau setiap malam ada penumpang diangkutnya. “Besaran ongkos juga tawar menawar sesuai kesepakatan. Biasanya sudah biasa langsung naik, nggak perlu ngenyang,” tegasnya.
Kenapa? Ya penumpang yang menggunakan jasa ojeknya biasanya sudah larut malam. Bis jurusan Blitar terakhir hanya sampai jam 18.30. Tidak ada pilihan lain karena tidak ada kendaraan umum lagi. Sehingga mau tidak mau menggunakan jasa ojek pangkalan. Apalagi rumahnya Tulungagung selatan seperti Kalidawir atau Pucanglaban. Sudah pasti ngojek. Pendapatan tentu tidak seberapa dibanding dengan ojek online. Setiap saat terima notifikasi panggilan dan lokasinya pun bisa anywhere.
Perjuangan ojek pangkalan ini adalah cerita tentang ekonomi kecil yang berhadapan dengan arus besar modernisasi. Mereka mengajarkan bahwa bertahan hidup tidak selalu soal kecepatan, tapi tentang ketulusan, kesabaran, dan kesetiaan pada ruang hidupnya sendiri.
Di pangkalan Jepun ini tak kurang ada 20 pengojek. Mereka terdaftar di kantor kepolisian. Dengan menyerahkan KTP, KK, STNK bagi motor beserta SIM untuk didata dan mendapatkan kartu tanda anggota. Bahkan mereka mendapatkan sertifikat. Bagaimana tidak terjadi kecemburuan berebut penumpang, mereka sudah menerapkan sistem antrean dan giliran untuk angkut penumpang. Kalau ada ojek online mengangkut penumpang di area ojek pangkalan sudah pasti kena denda atau bisa terjadi keributan. Sesuai aturan tidak ada yang dilanggar Ojek online. Sebab mereka sudah dilindungi oleh negara melalui regulasi, boleh angkut penumpang tanpa zonasi asal ada notifikasi order jemputan penumpang. Namun perebutan hingga keributan bakal terjadi. Sehingga dibutuhkan ketertiban dalam mengangkut penumpang di area ojek pangkalan. Memang ojek pangkalan sering disalahkan ketika terjadi keributan. Padahal mereka hanya mempertahankan kesepakatan lama yang tak pernah diakui negara. Aturan yang mereka pegang bukan tertulis, tapi adil menurut mereka. Sayangnya, aturan semacam ini jarang dianggap penting.
Namun mereka tetap bertahan. Menunggu, menyapa, dan menjaga pangkalan. Dalam cara sederhana itu, ojek pangkalan mengajarkan bahwa hukum bukan hanya soal pasal, tapi juga soal rasa keadilan. Dan kadang, perjuangan terbesar adalah tetap bertahan meski tak pernah benar-benar diakui. Mereka memilih menunggu penumpang tengah malam ketika kendaraan umum sudah tidak kelihatan mengaspal. Tetap sabar dan kuat, bukan begitu kang ojek?
Penulis adalah pengajar Sosiologi Hukum Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Satu Tulungagung.
