
Oleh: Sayyid Diar Mandala, Pandeglang-Banten 🇮🇩
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Saudaraku, Rakyat dan Bangsa Indonesia yang tercinta,
Di tengah sorotan nasab dan klaim keturunan Nabi, kita diingatkan untuk tidak terjebak dalam taqlid buta. Sebagai umat Islam, menghormati keturunan Nabi _shallaLlahu ‘alaihi wa sallam_ adalah mulia, tapi mengawal akhlak dan etika mereka jauh lebih penting. Mari bahas bagaimana menyikapi ini dengan tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), dan i’tidal (adil)—tanpa mengurangi rasa hormat.
Jangan Salah Mengartikan “Keturunan Nabi”
Klaim nasab atau keturunan Nabi bukanlah paspor untuk jaminan kesucian diri. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tidak ada yang menyelamatkanmu dari (hukuman) Allah selain takwa.” (HR. Bukhari). Ini mengingatkan kita bahwa status keturunan tidak otomatis menjamin kebaikan seseorang. Sebaliknya, ada risiko lupa esensi: jika klaim nasab jadi alasan mengikuti semua kemauan tanpa kritis, bukankah ini mengabaikan tanggung jawab moral?
Pengikut yang bijak tidak akan menuruti apapun—apalagi jika melibatkan kemaksiatan, seperti gibah, riya, atau penindasan. Sayyidina Hasan dan Husain RA adalah telaman kesabaran, keadilan, dan jihad. Mari jadikan akhlak mereka—bukan status—sebagai panutan. Keturunan Nabi bukanlah “orang suci” otomatis. Mereka juga manusia yang butuh muhasabah (introspeksi). Mari hindari pola berlebihan yang menjauhkan kita dari ketaatan pada Allah.
Saran:
1. *Bijak Memilih Rujuk*: Validasi akhlak dulu—apakah perilakunya mencerminkan rahmatan lil’alamin? Dukung dialog terbuka, bahas nasab dengan ilmiah, bukan emosi.
2. *Tumbuhkan Literasi Agama*: Pelajari fiqh, hadis, tarikh—bukan sekadar “nasab”. Ingat, “Ulama adalah pewaris Nabi” (HR. Abu Dawud)—ilmu dan akhlak lebih utama.
3. *Jaga Persatuan Umat*: Kita semua hamba Allah, satukan cinta NKRI. Tidak ada “pribumi vs. Arab”, yang penting takwa.
Kesimpulan:
Menghormati keturunan Nabi itu mulia, tapi mengawal akhlak mereka lebih mulia. Jangan biarkan klaim nasab jadi alat pembenar kemaksiatan. Mari jadi umat yang tawassuth, tawazun, i’tidal—jaga agama, bangsa, dan marwah bersama.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam Persatuan, Diar Mandala, Pandeglang-Banten 🇮🇩
*Referensi:*
– HR. Bukhari (no. 3488), QS. Al-Hujurat: 13 (“Yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa…”).
