
Oleh: H.Imam Kusnin Ahmad SH. Jurnalis Senior dan Aktivis Pemuda Jawa Timur.
DALAM satu bulan yang sama, Presiden Prabowo Subianto mengambil dua keputusan rehabilitasi yang mencerminkan kompleksitas dan kontradiksi dalam sistem peradilan Indonesia. Di satu sisi, ada Ira Puspadewi, mantan Direktur Utama PT ASDP, yang mendapatkan rehabilitasi setelah divonis bersalah dalam kasus korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara.
Di sisi lain, ada Abdul Muis dan Rasnal, dua guru honorer di pelosok Luwu Utara, yang direhabilitasi setelah dipenjara karena memungut iuran untuk membayar gaji mereka sendiri. Dua kasus ini, meski berbeda latar belakang dan implikasinya, memicu pertanyaan mendasar tentang keadilan, transparansi, dan akuntabilitas dalam sistem hukum kita.
Kasus Ira Puspadewi menjadi sorotan publik karena melibatkan dugaan korupsi dalam skala besar dan intervensi langsung dari Presiden. Sebagai mantan Direktur Utama PT ASDP, Ira divonis bersalah atas penyimpangan dalam akuisisi PT Jembatan Nusantara, yang merugikan negara dalam jumlah yang signifikan. Namun, hanya beberapa saat setelah vonis dijatuhkan, Presiden Prabowo memberikan rehabilitasi, memulihkan nama baik dan hak-haknya.
Keputusan ini menimbulkan kontroversi karena dianggap mengabaikan proses hukum yang telah berjalan dan merusak kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Banyak pihak mempertanyakan dasar hukum dan alasan politis di balik rehabilitasi ini, serta dampaknya terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.
Apakah rehabilitasi ini merupakan bentuk perlindungan terhadap elit politik dan ekonomi, ataukah ada bukti-bukti baru yang meringankan kesalahan Ira Puspadewi?
Berbeda dengan kasus Ira Puspadewi, kasus Abdul Muis dan Rasnal mencerminkan ketidakadilan yang dialami oleh para guru honorer di daerah terpencil.
Kedua guru ini dipenjara karena memungut iuran dari orang tua murid untuk membayar gaji guru honorer termasuk dirinya sendiri, sebuah tindakan yang dilakukan karena kurangnya perhatian dan dukungan dari pemerintah daerah.
Kasus ini memicu simpati dan solidaritas dari masyarakat luas, yang menganggap kedua guru tersebut sebagai pahlawan pendidikan yang berjuang tanpa pamrih. Setelah melalui proses panjang dan berkat dukungan dari berbagai pihak, termasuk DPR RI, Presiden Prabowo akhirnya memberikan rehabilitasi kepada Abdul Muis dan Rasnal, memulihkan nama baik dan hak-hak mereka.
Kedua kasus rehabilitasi ini menyoroti kontradiksi dalam sistem peradilan Indonesia. Di satu sisi, ada kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara dan merugikan negara dalam jumlah besar. Di sisi lain, ada kasus guru honorer yang berjuang untuk pendidikan dan dihukum karena melanggar aturan yang tidak adil.
Keputusan Presiden Prabowo untuk memberikan rehabilitasi kepada kedua belah pihak menimbulkan pertanyaan tentang definisi keadilan dan prioritas pemerintah. Apakah keadilan hanya berlaku bagi mereka yang memiliki kekuasaan dan pengaruh, ataukah juga bagi mereka yang lemah dan terpinggirkan?
Apakah pemerintah lebih peduli pada pemberantasan korupsi atau pada peningkatan kualitas pendidikan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, diperlukan reformasi mendalam dalam sistem peradilan Indonesia.
Reformasi ini harus mencakup peningkatan kualitas sumber daya manusia, penguatan pengawasan internal dan eksternal, serta penerapan teknologi informasi untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi.
Selain itu, perlu ada mekanisme yang jelas dan transparan untuk memberikan rehabilitasi kepada korban ketidakadilan, dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti bukti-bukti baru, kesaksian saksi, dan pendapat ahli hukum.
Pemerintah dan lembaga peradilan harus memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, supremasi hukum, dan perlindungan hak asasi manusia. Hanya dengan demikian, kita dapat membangun sistem peradilan yang adil, akuntabel, dan dipercaya oleh seluruh masyarakat. Kasus Ira Puspadewi dan guru honorer harus menjadi pelajaran berharga bagi kita semua untuk terus berjuang demi keadilan dan kebenaran.
Pertanyaan-pertanyaan kritis diajukan untuk mendorong refleksi dan diskusi tentang keadilan dan prioritas pemerintah.
Rekomendasi untuk reformasi sistem peradilan diperkuat dengan menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan hak asasi manusia.*****
