Warisan Spiritual Nusantara

By Dr. Ir. Hadi Prajoko, SH. MH Ketum PP HPK.

Dari mana asal dan awal kemudian mau’ kemana dalam sesanti “SANGKAN PARANING DUMADI” merupakan akhir perjalanan kita atau sejatinya kita hidup,???? sehingga Bisa mendapatkan kesempatan untuk lebih dewasa dan Waskita, agar lebih berharga memahami Cakrawala karya sang Sutradara – Tuhan Yang Maha Esa, pencipta semesta

Kewaskitaan dan Kebijaksanaan Menjadi suatu perjalanan diri dan Keluar dari Kehidupan, menapaki seluruh gugusan semesta, menyatu dengan Hyang Maha Esa.

Di dalam pengetahuan mulia budaya Jawa dan Nusantara umum nya, ada hal-hal yang pernah terdengar, seperti pertanyaan diatas, namun hanya dipahami secara parsial, singkat, dan tidak menyeluruh.

Filosofi Nusantara khususnya Jawa:
*”Hidup hanya mampir untuk minum.* “..
tetapi juga ada pesan disatu, sedangkan di sisi yang lain lebih luas menggelitik dengan sesanti yg menjadi pasangan nya …. bahwasanya ;
*hidup harus menjadi kesatrianing jagat*…. maknanya kita dituntut agar berdharma, berkarya, menjawab tantangan permasalahan kehidupan sosial,
sehingga Dimata Hyang Maha Esa – kita ini diciptakan tidak sia sia, atau menciptakan kita tidak berguna, kita harus meninggalkan jejak jejak karya ilmu pengetahuan ,
Diam bukanlah sebuah kata, diam bukannya tidak berbuat apapun, diam bukan statis tanpa kerja, tanpa expression hidup, tetapi sebuah proses belajar dan pelajaran dari semesta untuk lebih peduli , lebih mengabdi lebih berkorban dan kebijaksanaan. Artinya, hidup bukanlah tempat yang permanen, yang tidak ada pergerakan tetapi sebuah dinamika perjalanan jiwa’, perjalanan cipta rasa karsa, dan mengisi dengan berbuat kepada sesama,

*kami – kita* adalah bukan hanya tamu yg mampir,minum, menikmati rasa, seluruh karya karya Tuhan Yang Esa, mencicip mulai makanannya, sampai keindahan ciptaan nya tetapi kita akhirnya kembali kepadanya, dengan suatu keberhasilan karya yang berguna bagi semesta juga sesama, dengan meninggalkan jejak gumpalan prestasi menjawab berbagai permasalahan sosial dan kehidupan , selanjutnya kembali ke – Sangkan : *anggayuh kasampurnaning Urip berbudi bawa laksanakan,*- ( Sangkan Dumadi) kemudian masuk ke dalam Paran,( PARANING Dumadi)

Di situlah hikmah Dumadi(kehidupan ) – yg merupakan Sari Pati kehidupan yg sebenar benar nya.

Sangkan: Asal-usul Kehidupan, tetesing Wiji – benih, awal kehidupan yang mengukir nilai Kebijaksanaan Abadi.

“Sangkan” berarti asal, titik awal kehidupan. Dalam ajaran nenek moyang, kita tidak hanya terbuat dari daging dan darah, zat biologis dan kimiawi semata mata melainkan dari Cahaya suci, bahkan cahaya sejati yang berasal dari Tuhan Esa ( sempurna) Yang menciptakan seluruh alam semesta.

Nenek moyang kita bernama “Hyang Widi”,(HIDUP ) “Gusti”, “Sang Hyang Suksma SEJATI Kawekas” — manusia sejatiNYA berasal dari keadaan YG murni tanpa nama dan wujud, selanjutnya memasuki dunia yang kasar, kasunyatan sebagai ciptaan, perasaan, dan jiwa’ sejati berbeda
Dengan pengertian asing seperti filosofi barat-orientalus yang menyingkap manusia sebagai makhluk kimiawi biologis, semata mata, sedangkan pengetahuan jawa meyakinkan bahwa hidup kita adalah misi suci Tuhan Yang Esa, yang menjalankan cahaya Hyang Esa, perintah awal yang harus kita laksanakan dengan segenap raga dan hati nurani, untuk mempercantik, memperindah alam semesta… Bukan merusak kehidupan.
Dg sesanti. *MEMAYU HAYUNING BAWANA*.

Tumbuh dan berkembang ; Bertahan di Padang SEMESTA Hutan Penuh Panduan harmonis dari hyang Widhi.

“Menjadi” berarti kehidupan ini bila kita sedang berbuat kebajikan.

Keadaan kita ketika menghadapi kerasnya dunia : lahir, bertumbuh, mengalami, merasakan, menghadapi, berbagai tantangan, ujian hidup hingga menemukan perasaan sejati yang sesungguhnya.
Menjadi bermartabat adalah suatu proses perjalanan, bukan hanya rutinitas sehari-hari, yang membosankan tetapi perjalanan batin — perjalanan perasaan, perjalanan berpikir, perjalanan jiwa menapaki nurani.

Setiap kehidupan yang kita jalani mengandung ujian dan juga nasehat. Kadang-kadang penuh kekecewaan hidup, pertemuan kesedihan, duka dan air mata sukacita, bahagia dan cinta — semuanya adalah alat Tuhan untuk mengungkap perasaan, membuka pintu Nalar , kesadaran , pemahaman, dan Yg membimbing kita kembali ke Diri Sejati.( Jati diri), untuk menemukan kepercayaan diri yang kuat.

Orang Jawa dan Sunda khususnya, percaya:

> “Hidup adalah sebuah tindakan. Namun mereka yang membaca perasaan akan mengerti jalan kehidupan. “, dari sanalah karya dan dharma.

Situasi tidak pernah benar—setiap kejadian adalah tanda, yg dinamis dg tanpa berhenti atau penjelasan suara halus yang diatur oleh tatanan batin.

Paran: Tujuan abadi proses akhir yang tak bisa diterjemahkan dan tidak terlihat oleh mata, hanya bersentuhan dg rasa sejati.

“Ke-ibu-bapak-an, sebagai simbul awal” DAN simbul kelahiran selanjutnya PARANING DUMADI adalah tujuan akhir, tetapi bukan hanya kematian ,pemakaman tanpa makna sebagai warna dialektika sehingga kita harus meninggalkan satu karya kehidupan yg menjadi jejak potongan makna diri, dari proses ke dalam pen-DHARMA’AN, ;

(kepedulian, pengorbanan dan pengabdian)

yg bisa menjadi satu prestasi hidup untuk menjawab jalan keluar dari satu tantangan, persoalan sosial & manusia bahkan jika jasad binasa, karya karya nya Terus dinikmati oleh manusia berikut nya atau generasi penerus, bentuk dari *MEMAYU HAYUNING BAWANA* yang sejati tidak berada di luar tubuh, tetapi manunggal di dalam kesatuan Semesta & Tuhan, bersatu di dalam ALAM KELANGGENGAN ( manunggaling Kawulo Gusti).

Mereka yang dapat melewati alam semesta dengan kebijaksanaan, dapat bertemu sang Guru sejati dengan kelegaan, kebahagiaan kepasrahan, tanpa penderitaan. Dimana perasaan tidak lagi menahan, tidak ada keinginan, tidak ada ego dan kebencian, tidak ada pamrih surga dan pertumbuhan Angkara murka apalagi adanya
Perasaan ini dan itu tetapi sentuhan nurani adalah satu—bukan aku, bukan kamu, tetapi prinsip kebenaran belas kasih abadi, kesadaran murni atau kesadaran yg sempurna.

Dalam ajaran Jawa, ;
jiwa’ murni menyatukan saya dengan Tuhan, bukan dengan meditasi yang keras, tetapi dengan berserah diri agar dalam berprilaku di kehidupan sehari-hari bisa nyawiji ;

Lama kelamaan akan tak peduli bila tidak belajar membangun intuisi bathin.

Sabar tanpa batas SABAR TANPA WATES

Merendah kan tubuh, meninggikan rasa, MEMPERTAJAM PENGINDERA JIWA’

Rasa : Kunci yang mengikuti pintu Sangkan dan Paran

Ilmu jawa mengajarkan: perasaan ( ROSO) , jiwa’ murni adalah kuncinya.
Setiap manusia punya perasaan, tapi tidak sama orang yang membaca perasaan. Mereka tidak selalu bergantung pada pemikirannya, akan merindukan gerak Bhatin yg lembut dari sang Sangkan untuk menghidupkan nurani.
Perasaan bukan sekedar jiwa’, tapi hubungan antara alam sadar manusia, alam semesta yang lebih besar, serta Tuhan Yang Esa, antara semesta, aku dan Tuhan.
Dalam artian, kita mendengar suara alam, suara lembut jiwa’ dan leluhur, serta panggilan abadi…. Kehidupan.

> “Walaupun cokelat terlihat, rasanya terasa. ” Meskipun hitam berbunyi, tetapi ada kepasrahan untuk menyembah. ”

Penegasan Kehidupan Menurut Pengetahuan Jawa

Hidup bukan hanya tentang kaya, sukses, atau unggul.
Kehidupan sejati adalah tentang perasaan, memahami kebajikan dan menyatukan.
Siapa yang dapat menemukan Dia yang ada di dalam hati, nurani dan menyadari bahwa semua berjalan adalah untuk guru yang sejati, ia telah hidup tanpa rasa takut, tanpa tuntutan, tanpa pamrih, tanpa permohonan surga, tanpa ego, tanpa kesombongan, dan selalu berserah diri pasrah.

Pelajaran Jawa seperti:

> “Hidup adalah tentang hidup untuk mewujudkannya, nilai sosial kebajikan “.
“Hidup bukan untuk memiliki, bukan untuk menguasai, bukan untuk menaklukkan sesama, bukan untuk benar’ nya sendiri, bukan untuk membunuh NALAR, tetapi untuk meminjam kesejatian, untuk melaksanakan tugas tugas suci yang mulia dari Yg Maha Esa,
“Hidup harus bisa kembali, dengan rasa cipta karsa yang bersih dan luas. “” sebagai bentuk dharma. *( URIP SAK DERMO NGLAKONI DHARMA)*- Hidup hanya untuk melaksanakan dharma….

merdeka

Dr Ir Hadi Prajoko SH MH