PAKUBUWANA XIV : KEMBALINYA API KEAGUNGAN SURAKARTA

By : KRT. Faqih Wirahadiningrat.

“Satrio bukan ia yang menghunus senjata, tetapi ia yang merawat keseimbangan.”
(Serat Wedhatama)

“Leadership is not about age; it is about clarity of purpose and courage of the heart.”
(Kepemimpinan bukanlah soal usia, melainkan kejernihan tujuan dan keberanian hati)
— John C. Maxwell

“Pemimpin besar adalah mereka yang mau terus belajar, bahkan ketika dunia hanya berharap ia memerintah.”
— Khalil Gibran

 

Surakarta Hadiningrat bukan sekadar nama di peta. Ia adalah jantung kebudayaan Jawa, tempat adab, bahasa, tata santun, dan spiritualitas tumbuh dalam bentuk paling halus. Ia adalah pewaris langsung Mataram Islam, kerajaan yang dahulu membentuk lanskap politik, budaya, dan batin Nusantara.

Keraton bukan museum.
Keraton adalah ingatan yang hidup.

Dan di tengah perjalanan panjang ini, sejarah kembali berputar.
Tahta Surakarta kini diterima oleh seorang raja muda.

RAJA MUDA YANG LAHIR DARI PERMAISURI

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Hamangkunegoro, yang akrab dikenal sebagai Gusti Purbaya, lahir 27 Februari 2003 dari GKR Pakubuwana Pradapaningsih, Permaisuri resmi Sri Susuhunan Pakubuwana XIII Hangabehi yang mendampingi dengan setia hingga akhir hayatnya. Gelar sebagai Gusti Kanjeng Ratu Pakubuwana yang diberikan oleh Raja Pakubuwono XIII menunjukkan pengakuan bahwa sang ibunda adalah Permaisuri Utama dan tak terbantahkan berdasarkan keputusan raja.

Pada 27 Februari 2022, tepat di usia 20 tahun, ia dinobatkan sebagai Putra Mahkota.
Dan kini, di usia 22 tahun, ia menerima amanah sepenuhnya.

SUMPAH SETIA DI HADAPAN JENAZAH AYAHANDA
(Sebuah Simbol Jawa Yang Mendalam)

Ketika Sri Susuhunan Pakubuwana XIII berpulang, Surakarta menyaksikan peristiwa sakral yang akan dikenang dalam sejarah.

Gusti Purbaya mengikrarkan sumpah kesetiaan sebagai raja
di hadapan jenazah ayahanda tercinta.

Itu bukan sekadar penobatan.

Itu adalah :

Sang anak menyambung napas leluhur

Sang pewaris menerima beban sejarah

Sang raja muda memasuki laku spiritual paling tinggi

Inilah makna kawula–gusti dalam pemahaman Jawa,
jiwa yang tunduk bukan kepada kekuasaan, tetapi kepada amanah dan kehalusan budi.

(https://www.google.com/amp/s/www.merdeka.com/amp/peristiwa/putra-mahkota-kgpaa-purboyo-ikrarkan-diri-sebagai-raja-surakarta-paku-buwono-xiv-490512-mvk.html)

KESINAMBUNGAN MATARAM ISLAM

Sejarah Nusantara menunjukkan pola yang jernih, yaitu pemimpin besar sering dipanggil pada usia muda.

– Sultan Agung lahir 1593, naik tahta 1613, di usia sekitar 20 tahun. Ia memimpin penyerbuan ke Batavia 1628–1629, menjadi simbol perlawanan terbesar Jawa terhadap VOC.
– Pakubuwana VI berdiri di sisi Pangeran Diponegoro, memilih tahanan dan pembuangan daripada mengkhianati perjuangan bangsanya.
– Pakubuwana IX, “Sinuhun Bangun Kedhaton,” merestorasi kemegahan keraton setelah masa sulit.
– Pakubuwana X menjadi bapak kebangkitan nasional, mendukung Budi Utomo (1908) dan membiayai penyelenggaraan Sumpah Pemuda 1928.
– Pakubuwana XI menyumbang pemikiran kebangsaan melalui dukungan nyata kepada kaum pergerakan, termasuk mengutus abdi dalem Surakarta yaitu KRT dr. Rajiman Wediodiningrat, yang terpilih sebagai ketua BPUPKI. Dan sekaligus mengutus keponakannya Pangeran Hamijoyo sebagai anggota BPUPKI pula.
– Sementara Pakubuwana XII, “Raja dalam Senyap”, menjaga harmoni Surakarta dan NKRI dalam era kemerdekaan.

Dan kini, Pakubuwana XIV berdiri di panggilan sejarah yang sama.

SERUKAN PERSATUAN :
PADAMKAN BARA, SATUKAN JIWA

Sejarah telah mengajarkan, perpecahan di Nusantara selalu membawa luka panjang.

Perpecahan memudarkan marwah. Ambisi menghilangkan wibawa. Dan perebutan tahta merusak keheningan batin Jawa.

Maka sudah saatnya :
– ambisi dipadamkan
– kepentingan dilebur
– ego dipasrahkan kepada Sang Waktu

Karena Keraton bukan panggung perebutan. Keraton adalah panggung ketauladanan. Dimana semua mata dari segenap warga bangsa Nusantara selalu melihat dan akan menilainya. Karena apa yang ada di Keraton adalah bagian dari cerminan sejarah para leluhur bangsa.

“Sira iku satrio, yen iso ngalah tanpa kelangan drajad.”

(Engkau adalah ksatria, jika engkau mampu mengalah tanpa kehilangan derajat)

Mereka yang mulia harus mampu menunjukkan :
– kelembutan dalam tutur
– keteduhan dalam sikap, dan
– kejernihan dalam keputusan

Keraton harus menjadi rumah damai, yang memancarkan ketauladanan bagi seluruh bumi Jawa dan Nusantara. Dari situlah Keraton akan tampak keagungannya karena dihuni oleh manusia-manusia agung dan berwatak mulia.

SURAKARTA DAN NKRI: DUA SAYAP DARI GARUDA NUSANTARA

Keraton bukan rival negara.
Keraton adalah akar tempat negara tumbuh.

NKRI adalah batang dan daun.
Keraton adalah akar dan tanahnya.

Keduanya :

Saling menopang

Saling menguatkan

Saling menjaga arah

Bangsa yang melupakan akar, akan menjadi bangsa yang hilang arah.

Karena Indonesia tidak lahir dari kekosongan dan ruang hampa.
Ia lahir dari kerajaan-kerajaan leluhur yang memayungi rakyat dengan falsafah :

“Hamemayu Hayuning Bawana.”
(Menjaga harmoni keindahan dunia)

Ibaratnya Bangsa Indonesia, adalah sebuah pohon. Sebesar dan setinggi apapun pohon tersebut bila akarnya rapuh, maka dia akan mudah tumbang oleh angin perubahan. Namun bila akarnya kuat maka ia akan mampu bertahan di segala jaman.

Demikianlah Indonesia dengan segala akar kebudayaan dan sejarahnya. Tentu saja Keraton Nusantara jelas adalah bagian penting dari keduanya, bahkan penjaga utama akan kelestariannya.

 

PENUTUP

Selamat Datang, Sang Penjaga Keseimbangan

Kepada PAKUBUWANA XIV, kami mengucapkan sugeng rawuh — selamat datang.

Semoga engkau :

Teduh seperti beringin alun-alun Surakarta.

Tegas seperti langkah Sultan Agung.

Lembut seperti ajaran Sunan Kalijaga.

Dan jernih seperti mata air petuah para leluhur yang telah mengajarkan dan membangun peradaban yang luar biasa indah ini.

Karena:

Raja sejati bukan yang berkuasa atas manusia, melainkan yang menjaga keseimbangan jagad raya !

Surakarta belum padam.
Cahayanya baru saja menyala kembali.

Rahayu Nusantaraku, dan Jayalah Bangsaku !

Ditulis oleh:
Faqih Wirahadiningrat
(Pemerhati Budaya, Sejarah, dan Genetika Nusantara)