
By: Dr. Ir. Hadi Prajoko, SH, MH Ketum HPK Pusat.
Pernyataan anggota DPR RI Maman Imanulhaq yang meminta pimpinan Trans7 “mondok 40 hari” menuai gelombang olok-olok publik. Alih-alih memperbaiki citra pesantren, ucapannya dianggap menunjukkan hilangnya kepekaan terhadap kritik.
Maman, politisi PKB berlatar pesantren, marah atas tayangan Trans7 yang dinilai melecehkan kiai dan santri. Namun publik justru melihat paradoks: pembelaan emosional yang menyalahi nilai keikhlasan dan kebijaksanaan pesantren.
Di media sosial, sindiran bermunculan: “Anggota DPR aja banyak yang mondok, tapi DPR-nya tetap bobrok.” Kritik ini menandai pudarnya kepercayaan publik pada simbol moral para elite.
Tayangan Trans7 seharusnya menjadi ruang dialog tentang representasi pesantren, tetapi malah berubah menjadi ajang penghakiman dan sikap anti kritik, para kyai mulai menunjukkan taring taring kediktatoran, merasa benar’ sendiri, merasa paling SUCI sendiri, paling ber-iman sendiri, paling ber-ilmu sendiri, egois dan mulai urakan, Padahal, kritik terhadap pesantren bukan hal baru , dahulu pesantren tempat Para brahmana dan tempat manusia bijaksana serta linuwih, penuh kesabaran dan Waskita, mengapa itu hanya illustrator belaka— mulai dari isu kekerasan seksual, feodalisme, hingga penyalahgunaan otoritas kiai yg tidak lagi berkemanusiaan dan bermartabat? ???
Menolak kritik atas nama marwah Tuhan justru menutup jalan introspeksi, menutup diri dan junub.
Ironisnya, ketika Maman menilai media memandang pesantren secara “kolot”, justru pernyataannya mencerminkan cara berpikir lama: bahwa hanya orang yang “mondok” boleh bicara soal pesantren, sehingga tidak ada manusia manapun melihat sisi gelap rumah minimalis kaum agama.
Logika eksklusif ini oleh Gus Dur dikatakan DPR RI kekanak Kanakan dan lucu’ bertentangan dengan semangat demokrasi, jauh’ sebagai manusia yang bermartabat tidak dewasa sama sekali, nitizen seperti gelombang pergerakan sosial mulai kritis yang menuntut semua institusi publik terbuka pada kritik, terhadap dinamika kehidupan manusia.
Reaksi publik menunjukkan kejenuhan terhadap politisasi simbol agama. Ucapan “mondoklah dulu agar paham” dibaca sebagai keangkuhan moral dan paradoks kemanusiaan.
Netizen balik bertanya: “jika mondok ukuran moralitas, mengapa banyak alumnus pesantren justru terlibat korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan?” Dan produk hukum semakin tidak merespon rasa kemanusiaan dan keadilan??
Pembelaan berlebihan seperti ini justru merusak citra pesantren dan NU, dan organisasi keagamaan lain nya, Kesucian pesantren tak bertambah baik’ karena amarah, melainkan karena kesediaan bercermin, tidak mau berkaca pada perubahan sosial budaya.
Dunia media bukan musuh, melainkan cermin yg menjadi kenyataan sosial, Bila pantulan itu menyakitkan, jangan marahi cerminnya. Kehormatan dan martabat tidak perlu dituntut — cukup dibuktikan lewat kesadaran , kesabaran keteduhan, kebijaksanaan, dan kerendahan hati. ***
Relasional moralitas Para pemimpin agama mulai dipertanyakan?? Sejauh apa agama mampu membentuk prilaku sosial masyarakat dicerminkan oleh sikap bijaksana Para pemimpin agama.
Hanya suara NURANI saya yg berdesis Mas Bambang.
Rahayu
