
Oleh: Sukma Sahadewa – Badan Penanggulangan Ekstremisme (BPE) MUI Jawa Timur.
Di tengah arus globalisasi yang mengaburkan batas-batas identitas, kita dihadapkan pada tantangan serius berupa munculnya paham-paham ekstrem yang mengancam keutuhan bangsa dan kerukunan umat. Ekstremisme, baik dalam bentuk ideologi kekerasan maupun sikap intoleran terhadap perbedaan, adalah benih yang dapat berkembang menjadi konflik horizontal bahkan disintegrasi sosial. Oleh karena itu, penanggulangannya harus dilakukan secara serius, sistematis, dan menyeluruh.
Sebagai bagian dari Badan Penanggulangan Ekstremisme Majelis Ulama Indonesia (BPE MUI) Jawa Timur, saya meyakini bahwa pendekatan represif semata tidak cukup. Justru pendekatan humanis, edukatif, dan kolaboratif menjadi kunci utama dalam mereduksi serta menghapuskan ekstremisme dari akar rumput.
Ekstremisme Tidak Muncul dalam Kekosongan
Penting untuk memahami bahwa ekstremisme tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh dari ketidakadilan, keterasingan sosial, kegagalan dalam pendidikan karakter, hingga distorsi dalam memahami ajaran agama. Di sinilah peran ulama dan tokoh agama menjadi sangat penting—bukan hanya sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai penjaga moral masyarakat dan agen perdamaian.
Dalam konteks keislaman, Islam sangat tegas menolak segala bentuk kekerasan dan tindakan ekstrem. Rasulullah SAW bersabda, “Awaslah kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena yang membinasakan umat-umat sebelum kalian adalah karena ghuluw dalam agama.” (HR. Ahmad). Ini menunjukkan bahwa agama sejatinya tidak mendukung ekstremisme, dan jika ada yang mengatasnamakan agama untuk membenarkan kekerasan, maka itu adalah bentuk penyimpangan.
Membangun Ketahanan Ideologi Masyarakat
Pendidikan adalah benteng pertama dalam menangkal ekstremisme. Kita tidak hanya perlu mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai wasathiyah (moderat), toleransi, dan cinta tanah air sejak dini. Sekolah, pesantren, dan majelis taklim harus menjadi ruang yang aman untuk berdiskusi, bertanya, dan melatih pemikiran kritis—sehingga generasi muda kita tidak mudah terpapar doktrin sesat yang menyesatkan.
MUI melalui BPE juga terus mendorong pelatihan bagi dai dan pendakwah agar mereka bisa menyampaikan ajaran agama secara damai, sejuk, dan sesuai dengan konteks kekinian. Pendekatan ini bukan sekadar wacana, tapi juga langkah nyata yang harus ditindaklanjuti dengan pelibatan masyarakat sipil, tokoh adat, pemerintah daerah, serta aparat keamanan dalam satu kesatuan strategi pencegahan.
Kolaborasi adalah Kunci
Ekstremisme adalah masalah lintas sektoral yang tidak bisa diselesaikan oleh satu pihak saja. Oleh karena itu, kolaborasi antara ormas keagamaan, lembaga pendidikan, pemerintah, dan media sangat penting. Kita butuh narasi alternatif yang kuat untuk melawan propaganda ekstremis di media sosial. Kita butuh ruang-ruang dialog antarumat beragama untuk mengikis prasangka. Kita juga perlu memperkuat peran keluarga sebagai garda terdepan dalam membentuk karakter anak-anak kita.
BPE MUI Jawa Timur percaya bahwa pendekatan pencegahan berbasis komunitas lebih efektif daripada penindakan berbasis kecurigaan. Kita harus hadir di tengah masyarakat bukan sebagai pengontrol, tetapi sebagai mitra yang mengedukasi dan mengayomi.