
Oleh: Firman Arifin
Dosen PENS, Jamaah Haji 2025 – Kloter 92 Nurul Hayat.
Setelah Arafah, tibalah kita di Muzdalifah.
Dalam dingin malam yang menyapa, di tanah lapang, para tamu Allah berkumpul.
Tak ada hotel, tak ada kasur. Hanya bumi, langit, dan diri sendiri.
Tugasnya terlihat sederhana, menginap sebentar dan mengumpulkan batu.
Namun seperti halnya thawaf dan sa’i, ritual ini bukan sekadar fisik, ia sarat makna ruhani.
*Malam Kontemplasi, Mengendapkan Jiwa Setelah Guncangan Arafah*
Jika Arafah adalah tempat curhat dan tangis tumpah ruah, maka Muzdalifah adalah malam pendinginan sistem.
Bagi orang teknik elektro atau IT, ini semacam cooling phase setelah overload.
Bayangkan server yang habis digunakan untuk proses berat.
Butuh waktu untuk cooling down, agar sistem tidak hang.
Begitu pula jiwa kita. Setelah menangis, menyesal, dan memohon di Arafah, kini saatnya menstabilkan sistem batin.
*Mengumpulkan Batu, Mengumpulkan Niat*
Tujuh butir batu.
Kecil, ringan, tapi akan jadi “perintah delete” mulai esok pagi.
Kita tak hanya akan melontar jumrah. Kita sedang mempersiapkan diri untuk menghapus virus-virus internal:
Ego tinggi = malware
Dengki = spyware
Kesombongan = trojan
Malas ibadah = bug dalam sistem
Takabur = overclocking yang merusak
Muzdalifah adalah tempat kita mengumpulkan tekad,
untuk menekan tombol “hapus”, “reboot”, bahkan “format ulang” jika perlu.
*Menutup Malam dengan Rasa Syukur*
Bagi yang pernah menginap di Muzdalifah, pasti tahu,
tidur beralas seadanya, beratapkan bintang, dengan suara zikir dan dengkur saling bersahutan,
itulah malam yang tak terlupakan.
Bukan karena mewahnya,
tapi karena jiwa sedang dalam proses restart dan update firmware iman.
Kita belajar bahwa nikmat itu bukan soal fasilitas,
tapi tentang kesadaran bahwa Allah sedang “maintenance” ruhani kita.
Malam Muzdalifah adalah malam transisi.
Dari Arafah yang penuh air mata,
menuju Mina yang penuh aksi dan perjuangan.
Siapa yang bisa bertahan di Muzdalifah,
insyaAllah esok akan kuat melempar jumrah,
bukan hanya batu, tapi juga semua beban dan dosa lama.
Mari istirahat sejenak,
sebelum Allah perintahkan kita
melanjutkan perjuangan.
*Napak Tilas: Dari Muzdalifah ke Mina*
Setelah subuh, saatnya bergerak ke Mina.
Jaraknya kurang lebih 6,3 kilometer, dan kami menempuhnya dengan berjalan kaki.
Kenapa jalan kaki?
Karena bus-bus tak mampu lagi bergerak. Jalan padat, padat oleh 2,5 juta manusia yang bergerak serempak.
Seperti lautan manusia. Seperti air bah, tapi bening. Tidak menghancurkan, justru membawa haru dan keindahan.
Sepanjang perjalanan, kita bersafari dunia.
Bertemu orang Asia, Afrika, Eropa. Semua dalam satu arah, satu misi menuju Mina, menuju tempat ujian selanjutnya.
Di antara pegal dan peluh, terselip tawa, doa, dan senyum.
Ada yang berbagi air, ada yang membantu membawakan tas, ada yang berbagi semangat, ada yang saling dorong, tapi bukan karena marah, melainkan agar tetap maju.
Inilah kebersamaan umat dalam skala global.
Bukan pamer kekuatan, tapi latihan kerendahan.
Bukan parade bendera, tapi parade hati yang menuju keikhlasan.
Malam di Muzdalifah dan perjalanan menuju Mina adalah sambungan spiritual dari Arafah.
Dari tangis, ke tenang, lalu ke tekad.
Siapapun yang bisa bersabar di malam Muzdalifah dan kuat melangkah ke Mina, insyaAllah akan kuat pula melontar semua keburukan dalam dirinya.
Mari lanjutkan perjalanan,
langkah demi langkah.
Karena ini bukan sekadar perjalanan fisik.
Tapi perjalanan menuju Allah.
#Haji2025
#HajiBahagia
#HajiArafahMahsyar
#RefleksiArafah
#ArafahTitikNol
#WukufDenganHati
#PerjalananMenujuAllah