![](https://menaramadinah.com/wp-content/uploads/2025/02/IMG_000000_000000-76.jpg)
Oleh Denny JA.
(Rotterdam, 1921-1932, Hatta tumbuh sebagai pejuang yang anti-korupsi. Tapi di era Reformasi, korupsi menggila) (1)
-000-
Ia tiba di negeri asing,
membawa mimpi yang lebih berat dari bumi.
Dan rindu yang tak bisa dikirim lewat surat.
Rotterdam dingin,
tetapi dalam dirinya ada api.
Ia tenggelam dalam buku, angka, teori,
tapi setiap halaman bersembunyi panggilan merdeka.
Angin Eropa membawa suara jauh:
tanahnya menangis,
bukan karena perang,
tapi karena ketidakadilan yang merayap pelan.
Aku di sana,
menyaksikannya gelisah.
Kutanya padanya:
“Tanahmu terbakar. Akankah kau biarkan jadi abu?”
Hatta menggenggam pertanyaan itu,
bukan sebagai beban, tapi sebagai janji.
-000-
Perhimpunan Indonesia membuka jalan.
Bukan lagi sekadar pelajar,
ia menjelma penyulut api.
Di antara hitam-putih halaman,
ia melihat warna kemerdekaan.
Tetapi angka di buku tak cukup.
Ia butuh suara,
perlu perkumpulan.
Sumpahnya lebih tajam dari baja.
Namun di balik semangat, ada wajah ibunya—
menunggu di batas senja,
dengan kebanggaan, juga kecemasan.
Ia tahu, langkahnya tak lagi milik dirinya.
-000-
Lalu, suatu malam, ia dijemput.
Belanda menyebutnya pemberontak.
Itu era mencintai tanah air sendiri adalah dosa.
Aku di dekatnya.
Melihatnya di ruang sidang.
Ia berdiri sendiri,
tanpa perisai, tanpa pasukan,
hanya dengan kata yang ia asah setajam pedang.
Serunya menembus dinding pengadilan.
“Indonesia berhak bebas, tanpa belenggu tangan asing!”
Ia tak hanya membela diri.
Ia menanam sumpah.
Ia menyalakan bara.
Dan di telinga yang mendengar,
kata-katanya menjadi takdir.
-000-
Tahun berlalu.
Ia kembali.
Di pelabuhan,
ombak menyambutnya dengan suara pilu,
tanahnya luka.
Tanah yang merintih.
Aku merapat di sampingnya.
Kusaksikan ia pulang, bukan sebagai sarjana.
Ia nyala yang tak hendak padam.
Hidup bukan lagi milik pribadi.
Merdeka bukan kata dalam pidato,
tetapi api yang terus dijaga.
Ia menyerahkan diri,
utuh seluruh.
Penjara dan pengasingan
hanyalah harga kecil bagi perjuangan.
Di dalam dirinya,
‘api merdeka’ terus berkobar.
-000-
Zaman berganti.
Di era merdeka,
Hatta duduk di singgasana.
Ia teringat sumpahnya di masa muda:
“Apa gunanya merdeka, jika para pemimpinnya ternoda?”
Aku mendengar sendiri.
Sebuah mobil negara menunggu, mengantar untuk mendatangi ibunya.
Hatta menolak.
“Jangan pakai fasilitas negara untuk urusan pribadi.
Pakai saja mobil teman,” katanya.
Ia tahu, korupsi tak datang dengan gebrakan,
hanya bisikan kecil di awal.
Lalu menjadi kebiasaan,
lalu menjadi sistem,
lalu menjadi bencana.
Dan kini, bencana itu telah datang.
Korupsi bukan lagi perbuatan gelap,
tetapi aturan tak tertulis.
Kejujuran adalah legenda,
diwariskan tanpa pewaris. (2)
Penjara tak lagi menakutkan—
dindingnya bisa dibeli.
Di meja-meja megah, janji berkilau seperti emas,
tapi bayangannya tak berwajah.
Negeri ini butuh satu nama,
tempat kata dan perbuatan tak lagi berpisah.
Para aktivis berseru,
“Kami rindu Hatta!”**
Jakarta, 8 Februari 2025
CATATAN
1. Puisi esai ini dramatisasi hidup Mohammad Hatta dan Perhimpunan Indonesia
Kompas.comhttps://www.kompas.comPerhimpunan Indonesia: Organisasi Pertama yang Pakai Istilah Indonesia
2.Korupsi menggila
Kompas.comhttps://nasional.kompas.comMahfud MD: Sekarang Korupsi Lebih Gila daripada Zaman Orde Baru