DERITA RAKYAT AKIBAT RUSAKNYA LINGKUNGAN HIDUP DI DALAM PUISI ESAI
– Pengantar Buku Puisi Esai Isbedy Stiawan Z. S.: Elegi Galian Tambang
Oleh Denny JA
“Tanah ini bernapas berat,
luka-lukanya terbuka oleh cakar baja,
darahnya mengalir ke kantong-kantong asing.
Apa yang tersisa?
Hanya tangis ibu kami,
terbungkus dalam debu yang kami hirup.”
Bait ini adalah jeritan dari Pablo Neruda dalam puisi “The Cry of the Earth,” bagian dari kumpulan karya monumentalnya, Canto General (1950).
Bait puisi ini teringat ketika membaca kumpulan 10 puisi esai Isbedy Stiawan dengan tema sama, berjudul Elegi Galian Tambang.
Neruda, seorang penyair besar dari Amerika Latin, menulis dengan kekuatan yang mengguncang jiwa. Ia bukan hanya berbicara untuk dirinya sendiri, tetapi menjadi suara kolektif bagi tanah yang terluka dan rakyat yang tertindas akibat eksploitasi besar-besaran oleh kekuatan pemilik modal asing di abad ke-20.
Puisi ini melukiskan penderitaan bumi dan manusia yang tinggal di atasnya. “Tanah yang bernapas berat” adalah metafora yang menyayat hati, menggambarkan bagaimana lingkungan alami dirobek. Sedangkan “cakar baja,” merujuk pada alat berat tambang yang melukai tanah.
Vitamin bumi, yang seharusnya menjadi kehidupan bagi rakyatnya, malah mengalir ke kantong asing. Dan yang tersisa bagi penduduk lokal hanyalah debu, simbol dari kehancuran dan kesia-siaan.
Pada pertengahan abad ke-20, Amerika Latin menghadapi gelombang eksploitasi sumber daya alam yang sangat intensif.
Tanah kaya mineral seperti emas, perak, dan tembaga menjadi sasaran korporasi-korporasi besar, terutama dari Amerika Utara dan Eropa.
Pemerintah lokal sering kali menjadi kolaborator dalam pengurasan kekayaan ini. Mereka memberikan izin eksploitasi tanpa memperhatikan dampak terhadap lingkungan maupun rakyat.
Neruda menulis dalam konteks tambang-tambang besar di wilayah seperti Chile, Peru, dan Bolivia menjadi medan perang tak terlihat.
Di Chile sendiri, tambang tembaga seperti Chuquicamata, yang dimiliki oleh perusahaan asing, menggambarkan ketidakadilan yang ia kritik.
Kekayaan tambang tersebut mengalir ke luar negeri, meninggalkan lubang menganga, pencemaran air, dan tanah yang tak lagi subur bagi komunitas lokal.
Namun, puisi ini tidak hanya bicara tentang kehancuran fisik, tetapi juga penderitaan manusia. Penduduk pribumi yang telah tinggal di tanah mereka selama berabad-abad dipaksa pergi, kehilangan hak atas tanah leluhur mereka.
Masyarakat hidup dalam kemiskinan ekstrem, meskipun mereka tinggal di atas kekayaan melimpah.
Pablo Neruda tidak sekadar menulis puisi. Ia menciptakan cermin yang memantulkan dosa-dosa kemanusiaan terhadap lingkungan.
-000-
Puisi Isbedy dalam buku ini menyampaikan ekspresi dan spirit yang sama. Yaitu pembelaan kepada The Voiceless, mereka yang tak berdaya. Mereka tak hanya masyarakat lokal, tapi juga lingkungan hidup di hadapan para pemilik modal besar.
Dalam puisi esai berjudul, “Gaduh di Malam Sunyi Itu,” Isbedy Stiawan ZS menggambarkan ketegangan sosial yang timbul akibat konflik tambang batubara di Way Kanan, Lampung.
Ini melibatkan benturan antara warga, aparat, dan perusahaan tambang. Melalui narasi penuh emosi dan refleksi, puisi ini mengkritik dampak destruktif eksploitasi sumber daya alam terhadap lingkungan, kehidupan sosial, dan moralitas manusia.
Pesannya adalah seruan untuk keadilan lingkungan dan solidaritas. Isbedy menyoroti bagaimana kerakusan manusia terhadap alam bisa menimbulkan konflik yang merusak nilai-nilai kemanusiaan.
“bagaikan luka tanah ini
oleh penggalian tambang; dibiarkan
menganga, menabung bencana
sedikit demi sedikit. sampai bom waktu:
Dorr!”
Sedangkan pada puisi esai “Wadas, Apakah Kita Satu Tanah Air?” Isbedy mengekspresikan suara perlawanan warga Desa Wadas terhadap ketidakadilan, eksploitasi tanah, dan kekerasan aparat.
Melalui narasi reflektif dan protes, puisi ini mengkritik keras bagaimana pemerintah dan pemegang kekuasaan melupakan prinsip-prinsip kemanusiaan, permusyawaratan, dan keseimbangan lingkungan demi proyek pembangunan.
Pesannya sederhana tetapi mendalam. Ini perjuangan atas tanah bukan hanya soal ekonomi, tetapi soal martabat, warisan, dan keberlanjutan hidup generasi mendatang.
“kami menolak tanah kami dibeli
sebab tahu risikonya nanti
28 titik sumber mata air mati
lalu, tetumbuhan akan kering dan lelayu”
Lain lagi dengan puisi esai: “Air Mata Duka di Lumbung Batubara.” Puisi ini adalah elegi terhadap ketidakadilan dan pengorbanan seorang guru, Ansah, yang berjuang melawan keserakahan pengusaha tambang batubara.
Ansah menjadi simbol perjuangan rakyat kecil yang terpinggirkan oleh kekuasaan dan kapitalisme. Pesan utamanya adalah pentingnya keberanian melawan kesewenang-wenangan demi keadilan sosial, meskipun perjuangan tersebut dapat berujung tragis.
“Langit jadi kelam
para bodyguard kepal tangan
hari itu 9 Februari 2004, suaminya dibantai.”
-000-
Aneka puisi yang dikutip di atas memiliki kesamaan tema: eksploitasi tambang bukan hanya merusak alam, tetapi juga menghancurkan kehidupan sosial dan moral masyarakat.
Mengapa Puisi Penting dalam Isu Tambang? Puisi tidak hanya menjadi medium estetika, tetapi juga alat kritik sosial yang efektif.
Kata-kata puitis memiliki kemampuan menggugah hati, memaksa pembaca untuk merenung, dan menciptakan empati yang mendalam terhadap korban eksploitasi tambang.
Dalam setiap metafora dan simbol, terkandung harapan bahwa perubahan masih mungkin terjadi jika masyarakat mulai melawan.
Puisi-puisi ini menjadi bukti bahwa seni memiliki kekuatan untuk melawan ketidakadilan. Mereka adalah pengingat bahwa tanah, gunung, dan sungai bukanlah sekadar sumber daya, tetapi bagian dari kehidupan yang harus dijaga.
Kita, sebagai pembaca, diajak untuk merenungkan: apakah kita cukup peduli terhadap mereka yang kehilangan segalanya demi keuntungan segelintir orang?
Tapi harus juga dikatakan. Di era modern, pertambangan bukan lagi sekadar eksploitasi sumber daya alam, melainkan bagian dari solusi keberlanjutan global.
Industri tambang telah bertransformasi, mengadopsi teknologi hijau dan prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance).
Banyak perusahaan tambang kini berkomitmen mengurangi emisi karbon, mereklamasi lahan pasca-tambang, dan melibatkan komunitas lokal dalam pembangunan berkelanjutan.
Sebagai contoh, banyak tambang kini menjadi pemain kunci dalam transisi global menuju energi terbarukan. Bahan baku ini esensial untuk baterai kendaraan listrik, yang berkontribusi pada pengurangan emisi global.
Beberapa perusahaan juga telah menjalankan praktik tambang berkelanjutan, seperti menggunakan teknologi limbah nol dan mendukung konservasi keanekaragaman hayati.
Pertambangan modern juga menciptakan lapangan kerja dan infrastruktur yang menopang ekonomi lokal. Dengan regulasi yang ketat dan kolaborasi dengan pemerintah, perusahaan tambang mampu menyeimbangkan kebutuhan pembangunan dan pelestarian lingkungan.
Dengan langkah-langkah proaktif, pertambangan dapat menjadi mitra strategis dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan tanggung jawab ekologis, membuktikan bahwa industri ini mampu menjadi bagian dari solusi, bukan masalah.
Tapi tentu saja, mayoritas dunia tambang saat ini masih dengan wajah tradisionalnya, yang merusak lingkungan.
Untuk tambang yang masih gelap itu, melalui kata-kata, para penyair ini telah membuka mata dunia, mengingatkan kita bahwa eksploitasi tambang tidak hanya menggali kekayaan, tetapi juga menggali luka yang dalam di tubuh bumi dan manusia.
“Ketika bumi retak dan angin menangis, penyair hanya punya kata-kata untuk menganyam protes. Dari sajak-sajak itu, dunia belajar: luka pada tanah adalah luka pada kemanusiaan.”**
Jakarta, 13 Januari 2025
CATATAN
(1) Para penyair dunia banyak yang menuliskan kegundahannya atas rusaknya lingkungan